Kisah Pemimpin Kemerdekaan Kosovo dan Deklarator Aceh Merdeka (2)

Konten Media Partner
4 November 2019 14:42 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Edita Tahiri (kiri) dan Munawar Liza saat berkunjung ke makam Tgk Hasan Tiro. Foto: Windy Phagta/acehkini
zoom-in-whitePerbesar
Edita Tahiri (kiri) dan Munawar Liza saat berkunjung ke makam Tgk Hasan Tiro. Foto: Windy Phagta/acehkini
Bagi Pemimpin Kemerdekaan Kosovo, Edita Tahiri, sosok deklarator Gerakan Aceh Merdeka (GAM), Tgk Hasan Muhammad Di Tiro, adalah teman sekaligus guru. Mereka kerap berdiskusi dalam berbagai pertemuan, untuk memperjuangkan kemerdekaan di daerah masing-masing dulunya.
ADVERTISEMENT
“Kami sama-sama pendiri UNPO,” kata Edita kepada acehkini, saat sama-sama mengunjungi makam Hasan Tiro di kompleks Makam Pahlawan Nasional, Tgk Chik Di Tiro, kawasan Gampong Manggra, Indrapuri, Aceh Besar.
UNPO adalah kepanjangan dari The Unrepresented Nations and Peoples Organization atau Organisasi rakyat dan bangsa yang tidak terwakili. Organisasi itu didirikan diusulkan pada 1990 di Tartu, Estpandaia. Selanjutnya dibentuk resmi pada 11 Februari 1991 di Den Haag, Belanda.
Edita Tahiri dan Hasan Tiro adalah bagian dari pendiri lembaga itu, Edita mewakili Kosovo dan Hasan Tiro mewakili Aceh. Selain mereka, tercatat sebagai pendiri lainnya adalah Wakil Dalai Lama dari Tibet, dan Ramos Horta dari Timor Leste, serta beberapa perwakilan bangsa tidak terwakili lainnya.
Foto kenangan (Alm) Tgk Hasan Tiro (kiri) dan Edita Tahiri. Dok. Edita Tahiri
Sejak saat itu, Edita, Hasan Tiro dan sejumlah anggota UNPO lainnya kerap mendiskusikan berbagai gagasan dalam meraih kemerdekaan.
ADVERTISEMENT
“Kami menjadi bagian dalam pergerakan yang sama dalam organisasi UNPO, di sana kita melakukan banyak diskusi, interaksi dan saling berbagi pengalaman, berbagi ide dan strategi bagaimana pergerakan ini, sehingga orang-orang kami bisa lebih dekat dengan kebebasan," paparnya.
Menurutnya, saat itu Kosovo memiliki kesulitan yang sama dengan Aceh. Mereka telah berjuang selama 100 tahun untuk mendapatkan kebebasan melawan Slovenia, selanjutnya Yugoslavia dan Serbia. Perlawanan semakin mencuat setelah deklarasi Republik Kosovo pada 2 Juli 1990, tetapi mereka tak berdaulat. Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) kemudian mengeluarkan Resolusi DK PBB Nomor 1244, pada 10 Juni 1999, menyatakan Kosovo di bawah perlindungan.
Kosovo baru benar-benar merdeka pada 17 Februari 2008. Setelah merdeka, Edita Tahiri sempat menjadi Wakil Perdana Menteri Kosovo, selanjutnya Menteri Dialog. Saat ini, dia sebagai Presiden Partai Reformis, Democratic Alternative of Kosovo (ADK), sekaligus Ketua Lobi Wanita Regional di Eropa Tenggara.
Edita menuliskan catatan kecil di buku tamu, saat mengunjungi makam Tgk Hasan Tiro. Foto: Windy Phagta/acehkini
Selama mengurus UNPO, Edita mengaku sangat tahu sejarah Aceh, didengarnya dari Hasan Tiro saat sama-sama memimpikan kemerdekaan.
ADVERTISEMENT
“Saya juga tahu sejarah panjang Aceh dalam tekanan. Entah bagaimana caranya, saya (merasa) telah menjadi bagian dari pergerakan dan upaya keras kalian (dulu),” ujarnya.
Perlawanan kemerdekaan di Aceh digelorakan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), sejak 4 Desember 1976. Hasan Tiro sebagai Wali Negara memimpin organisasi itu. Perlawanan berakhir, setelah perjanjian damai dengan Pemerintah Indonesia disepakati di Helsinki, Finlandia, 15 Agustus 2005. Aceh mendapat otonomi khusus.
Ziarah ke makam sahabatnya. Foto: Windy Phagta/acehkini
Uniknya, berakhirnya konflik di Aceh dan Kosovo, sama-sama melibatkan Martii Ahtissari, mantan Presiden Finlandia, yang kemudian meraih berbagai nobel perdamaian dunia.
Setelah Aceh damai dan Kosovo Merdeka, praktis hubungan Edita dan Hasan Tiro putus. Masing-masing disibukkan dengan berbagai agenda sendiri. Hasan Tiro kembali ke Aceh setelah puluhan tahun menetap di Swedia, pada 11 Oktober 2008. Beliau kemudian meninggal di Rumah Sakit Umum Dr Zainoel Abidin pada 3 Juni 2010.
Tgk Hasan Tiro saat kembali pulang ke Aceh, 11 Oktober 2008. Foto: Adi Warsidi
Edita mendengar kabar itu, tapi dia tak punya kesempatan untuk berkunjung ke Aceh. Juga tak punya jaringan dengan kerabat dan kawan-kawan Tgk Hasan Tiro. Mulailah dia memendam rindu terhadap Aceh yang sering didiskusikan dulu.
ADVERTISEMENT
***
Februari 2019, di Istambul Turki. Seorang perempuan menghampiri aktivis perdamaian dari Aceh, Shadia Marhaban. “Dia bertanya kepada saya, dari mana. Terus saya bilang dari Aceh, dia langsung memeluk,” kisah Shadia.
Shadia Marhaban (kiri) dan Edita Tahiri saat bertemu di Istambul. Dok. Shadia
Perempuan itu adalah Edita Tahiri. Lalu mereka akrab, Edita menceritakan kedekatannya dengan (Alm) Tgk Hasan Tiro, dan tentang kerinduannya mengunjungi Aceh untuk ziarah makam.
Pertemanan mereka terus berlanjut. Shadia, yang bekerja sebagai Konsultan di UNDP untuk perdamaian Bangsamoro di Mindanao, Filipina, malah mengajak Edita untuk sharing pengalaman perdamaian di Kosovo. Mereka kemudian bertemu kembali di Mindanao, pada pertengahan Agustus 2019 lalu, membicarakan berbagai pengalaman membangun perdamaian dengan para pemimpin Bangsamoro. Salah seorang mantan petinggi GAM, Munawar Liza juga hadir.
Edita Tahiri (kiri) bersama Al Hajj Murad Ibrahim, Pimpinan MILF (kedua kiri), Munawar Liza (tengah) dan Shadia Marhaban (kanan), saat berada di Mindanao, Filipina. Dok. Munawar Liza
Komunikasi semakin intens antara Edita, Shadia dan Munawar Liza. Lalu, akhir Oktober 2019, Edita Tahiri mengutarakan keinginannya ke Indonesia, mengikuti undangan sebuah acara di Bali. Kepada pihak pengundang, dia setuju datang, tetapi akan singgah di Aceh terlebih dahulu.
ADVERTISEMENT
Sabtu, 2 November 2019, Edita mendarat di Aceh. Sebelum berkunjung ke makam rekannya, Tgk Hasan Tiro, dia sempat dijamu oleh Wali Nanggroe Aceh, Tgk Malik Mahmud Al-Haythar di kediamannya.
"Ini kebahagian yang besar bagi saya bisa berada di Aceh, sebelumnya sudah berpikir sejak lama untuk datang kemari dan berkunjung,” kisah Edita.
Edita Tahiri bercerita tentang Tgk Hasan Tiro kepada acehkini saat wawancara. Foto: Windy Phagta/acehkini
acehkini sempat bertanya tentang Kosovo yang berhasil kemerdekaan, tetapi tidak untuk Aceh. Edita menjawabnya, "biar saya jelaskan tentang ini. Tujuan akhir kami bukan Kosovo merdeka, tetapi bergabung ke dalam Albania. Kami memimpikan adanya persatuan karena kami adalah negara yang terpisah. Saat ini masyarakat Albania terpisah dalam lima negara, sehingga mimpi kami adalah persatuan,” katanya.
“Bagaimana pun sebagai pemimpin dari pergerakan, kami menganalisa apa yang paling memungkinkan terjadi di dalam konteks Internasional. karena itu, kami berkompromi untuk menyatakan kemerdekaan. Jadi ini (kemerdekaan Kosovo) merupakan kompromi,” sambungnya.
ADVERTISEMENT
Kompromi ini juga didapatkan Aceh dalam perdamaian di Helsinki. “Seperti bagian otonomi yang kalian dapatkan sekarang, merupakan bagian dari kompromi atas kebebasan otonomi tapi tidak merdeka,” lanjut Edita.
Edita Tahiri bersama sejumlah rekan barunya di Aceh, saat berkunjung ke makam Tgk Hasan Tiro. Foto: Windy Phagta/acehkini
Menurut Edita, bagi Aceh tujuan sekarang adalah kekuatan ekonomi, penegakan hukum, kemakmuran tanpa korupsi, seperti yang diperjuangkan di Kosovo.
“Saya juga ingin melihat hal yang sama di Aceh, karena kalian mempunyai banyak sumber daya alam. Kalian harus punya kekuatan di pemerintahan untuk membuat ekonomi Aceh lebih kuat,” katanya.
Setelah belasan tahun memendam keinginan berkunjung ke Aceh, Edita Tahiri akhirnya datang dan berziarah ke makam sahabat dan gurunya, Tgk Hasan Tiro. Dia didampingi Shadia Marhaban dan Munawar Liza. Di sana, dia berdoa dan menjalani ritual cuci muka. [tamat]
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Note: Dilarang mengutip seluruh maupun sebagian isi tulisan ini, dan foto-foto tanpa izin redaksi.