Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten Media Partner
Kisah Perajin Rencong di Aceh: Saat Konflik Laku Banyak, Pandemi Bikin Sepi (27)
17 Februari 2022 12:09 WIB
·
waktu baca 5 menitADVERTISEMENT
Sudah berbilang tahun Abdullah bergelut dalam bidang membuat rencong. Pria 62 tahun ini telah melahirkan banyak senjata khas Aceh itu dari dalam bangunan tanpa sekat dinding di Gampong Baet Mesjid, Kecamatan Suka Makmur, Kabupaten Aceh Besar, Aceh. "Saya sudah mulai membuat rencong tahun 1972," katanya kepada penulis. Baginya, membuat rencong bukan sekadar pekerjaan, tapi juga demi merawat sejarah dan budaya.
ADVERTISEMENT
Keahlian Abdullah membuat rencong terwariskan dari sang ayah yang dulu juga perajin rencong. Ilmunya turun temurun. Dia termasuk perajin rencong generasi tua di Baet Mesjid. "Tersisa delapan orang saja yang seusia saya," ujarnya.
Gampong Baet Mesjid, bukan satu-satunya desa yang banyak menyimpan perajin rencong. Ada dua gampong lainnya yang bertetangga dengan Baet Mesjid, juga menyimpan sejumlah perajin rencong Aceh. Gampong Baet Meuseugoe, dan Gampong Baet Lampu-Ot adalah dua nama desa yang dihuni oleh para pewaris rencong Aceh. Lokasi ketiga wilayah bertetangga itu tidak jauh dari ruas jalan negara Banda Aceh-Medan. Selain itu, juga ada pengrajin lainnya yang tersebar di seluruh Aceh.
Meski di gampong itu banyak pandai besi yang bisa membuat senjata tajam seperti parang, tapi tidak semua orang dapat membuat rencong. Ada keahlian khusus yang harus dimiliki agar dapat menempa rencong. Bagian paling sulit itu, kata Abdullah, adalah membentuk bak rencong atau batang rencong berbentuk bulat.
ADVERTISEMENT
Bak rencong menjadi besi pembatas sekaligus penghubung bagian rencong yang tipis nan tajam dengan gagang. "Sering kali pada bagian itu orang gagal membuat rencong. Kalau membuat bagian ujungnya yang tajam siapapun bisa, seperti membuat pisau," tutur Abdullah.
Pembuatan rencong dilakukan dengan meletakkan besi sebagai bahan utama ke dalam api yang menyala-nyala. Besi itu dibakar sampai memerah. Setelahnya, besi diangkat untuk diletakkan di atas tumpuan dan harus bergegas ditempa sekeras mungkin dengan palu. Ketika sudah dingin, besi kembali dilempar dalam bara api.
Pukulan itulah yang akan membentuk besi itu menjadi rencong. Misalnya, besi awal berbentuk tebal akan ditempa sehingga tipis. Proses penempaan inilah yang Abdullah sebut tidak bisa dilakukan semua orang pada bagian bak rencong. Namun bagi Abdullah bagian itu bukan lagi perkara sulit. "Saya sudah biasa," katanya.
ADVERTISEMENT
Dulu proses membakar besi butuh perjuangan keras. Karena, api pembakarannya harus dikipas menggunakan pemompa. Alat itu digunakan secara manual oleh pekerja menggunakan tangan. Angin hasil pemompaan baru kemudian mengibas arang sehingga api membesar. Kalau pemompaan tak lancar, api tak membesar, dan besi pun tak kunjung bisa ditempa.
Sekarang, Abdullah sudah memakai mesin listrik seperti kipas angin. Saat alat itu dihidupkan, baling-baling berputar, lalu mengibas angin ke lubang yang bagian ujungnya terdapat bara api. Api lantas menyala dan membesar. Dengan bantuan alat itu, pekerja kini tak sibuk lagi untuk membesarkan api. "Pekerjaan kini sudah lebih mudah," ujar Abdullah.
Besi yang telah ditempa sehingga sudah berbentuk rencong selanjutnya direndam dalam air agar suhu panas bekas pembakaran hilang. Setelah itu, rencong kemudian diasah supaya tajam. Dulu penajaman rencong menggunakan batu asah atau kikir. Tapi sekarang Abdullah sudah menggunakan gerinda listrik. Pekerjaan pun lebih cepat selesai.
ADVERTISEMENT
Sembari Abdullah menempa rencong, di dalam pondok yang sama, Farid Husaini terus memotong tanduk kerbau atau lungkee. Pria berusia 28 tahun ini adalah anak kandung Abdullah. Dia membantu sang ayah meneruskan usaha perajin rencong sejak kelas empat sekolah dasar. "Saya memang suka membuat rencong," ujarnya. Selain Farid, ada dua lagi anak Abdullah yang membantu di sana.
Tanduk kerbau tersimpan sekitar satu karung di sana sebagai stok. Barang itu akan diolah menjadi sarung dan gagang rencong. Farid memotong lungkee sesuai panjang rencong. Potongan juga mengikuti gaya lekukan rencong. Dia melubangi bagian dalam tanduk dengan menggores memanjang dari atas memakai alat yang bagian ujungnya tajam dan bengkok.
Farid juga mencongkel isi gading kerbau itu. Lubang memanjang itu dicongkel sama dengan ukuran rencong. Sesekali mencoba memasukkan rencong ke bagian dalam gading tersebut. Jika dianggap sudah sesuai, berikutnya Farid mengelem dinding congkelan bagian atas hingga menyatu.
ADVERTISEMENT
Setelahnya, sisi luar gading diperhalus dengan kikir, kertas canai, atau gerinda. Kalau sudah halus, terakhir sarung disemprot pengilat hingga membuat warna asli tanduk keluar. Sarung rencong pun kelar. "Membuat gagang rencong juga begitu, cuma bentuk saja berbeda," tutur Farid.
Selain tanduk kerbau, dulu perajin rencong menggunakan gading gajah untuk sarung dan gagangnya. Namun kini gajah sudah termasuk satwa liar dilindungi negara. Perburuan gajah untuk pengambilan gading pun dilarang. Abdullah mengakui, sekitar tahun 1980-an sering membuat gagang dan sarung rencong berbahan gading gajah. "Saya tak pakai gading gajah lagi ketika gencar pelarangan," ujarnya.
Keahlian Abdullah menempa rencong terbukti ketika dia memenangkan lomba pembuatan rencong seluruh Aceh pada 1995. Digelar Dewan Kerajinan Aceh, Abdullah memperoleh juara pertama atas karya terampil tangannya berupa rencong meupucok. "Diberi hadiah Rp600 ribu masa itu, rencong saya pun dibeli panitia," tuturnya.
ADVERTISEMENT
Dalam sehari, Abdullah sejatinya dapat menghasilkan dua rencong. Tapi kini dia tidak lagi rutin membuat rencong berbahan besi setiap hari, melainkan kalau ada pemesan saja. Peminat rencong sudah berkurang. Terlebih karena rencong tidak lagi digunakan sebagai senjata. Sedangkan rencong berbahan kuningan yang tidak tajam diproduksi sebagai suvenir. Dia menjualnya ke pengepul, selanjutnya dipasarkan ke sejumlah toko penjual cendera mata di Banda Aceh.
Menurut Abdullah, penjualan rencong tercatat paling banyak ketika Aceh masih konflik (1976-2005) dan usai Tsunami Aceh pada 26 Desember 2004. Kala itu banyak orang luar yang berkunjung ke Aceh dan berminat membeli rencong.
Pandemi COVID-19 sejak Maret 2020 di Aceh turut berdampak pada Abdullah. Produksi rencong untuk suvenir pun berkurang karena tidak ada lagi wisatawan. Dampak penjualan rencong yang meredup, membuat Abdullah juga memproduksi parang, pisau, dan benda tajam sejenisnya yang lain.
ADVERTISEMENT
Hal ini dia lakukan agar pada saat pemesan rencong sepi, dia masih punya pendapatan dari pembuatan pisau. "Kalau pisau dan parang masih digunakan sehari-hari sehingga banyak pemesan, kalau rencong kan tidak lagi seperti dulu," ujarnya. []