Kisah Perempuan Penghuni Terakhir Penjara Lhoknga, Aceh (3)

Konten Media Partner
27 Januari 2020 10:11 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Reruntuhan di kawasan Lhoknga, Aceh Besar, usai tsunami, 4 Januari 2005. Dok. acehkita/Dhandy DL
zoom-in-whitePerbesar
Reruntuhan di kawasan Lhoknga, Aceh Besar, usai tsunami, 4 Januari 2005. Dok. acehkita/Dhandy DL
Untuk kesekian kalinya, aku kembali masuk ke Lembaga Pemasyarakat (LP) Lhoknga pada 20 September 2004, saat Pemilu Presiden putaran kedua digelar. Saat itu, aku meliput pemilihan di sana, seorang diri. Tak ada kendala, beberapa aparat keamanan telah mengenalku. Pengamanan longgar, hanya pintu depan penjara yang ditutup rapat dijaga aparat dari kesatuan Brimob.
ADVERTISEMENT
Aku dikenal sebagai saudara dari Cut Nurasyikin, tokoh perempuan Aceh yang sedang mendekam di sana, karena dituduh melakukan makar dengan vonis 11 tahun penjara. Aceh masih konflik, mediaku saat itu, Majalah ACEHKITA memberi tugas meliput keberadaan para perempuan di sana, umumnya narapidana politik dengan tuduhan makar terlibat dalam membantu Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
Saat pemilihan berlangsung, para tahanan lebih cantik dari biasanya. Mereka berhias, sambil menuju ke ruang aula, satu buah kota suara dan segala kelengkapannya telah disiapkan petugas pemilihan. Hanya dua pasangan calon presiden/wakil presiden yang berhak dipilih, Susilo Bambang Yudhoyono berpasangan dengan Jusuf Kalla, dan Megawati Soekarnoputri berpasangan dengan Hasyim Muzadi.
Menurut Ketua KPPS rutan tersebut, Khairullah, penghuni LP tersebut berjumlah 104 orang. Di antaranya 51 wanita dan 53 laki-laki. Ada sebagian tahanan yang tidak terdaftar. “Tahanan titipan yang baru masuk, tidak terdaftar,” sebutnya kepadaku saat itu.
ADVERTISEMENT
Pemilih yang memberikan suara hanya 97 orang di TPS VI, masuk dalam Desa Mon Ikeun, Lhoknga, Aceh Besar. Proses berlangsung cepat, penghitungan suara pun selesai dilakukan sekitar pukul 11:00 WIB.
Di LP Wanita itu, pasangan SBY-Jusuf Kalla menjadi presiden pilihan mereka dengan memperoleh 72 suara, sementara pasangan Mega-Hasyim, hanya mendapatkan 4 suara. Selebihnya dinyatakan suara rusak.
Kala itu, Cut Nurasyikin yang telah menjadi ‘ibu’ bagi para narapidana perempuan, mengatakan kalau tidak ada pilihan di antara dua calon presiden tersebut. “Kalau kita pilih SBY mungkin kekuatan militernya lebih ganas, kalau kita pilih Mega, bisa tambah parah terus Indonesia ini, jadi macam mana ini,” sebutnya.
Walau begitu, dia punya penilaian lain. SBY belum terbukti bagaimana sikapnya bila menjadi pemimpin, sementara Mega sudah pernah dirasa oleh rakyat Aceh. Menurut Cut Nur, para tahanan perempuan di rutan tersebut mengharapkan SBY sebagai presiden. Karena, selama Mega menjadi presiden, mereka melihat tidak ada perubahan bagi rakyat Aceh. Baca bagian 2 di bawah ini:
ADVERTISEMENT
Harapannya Aceh bisa lebih aman, damai dan tercapai cita-cita rakyat. Sementara untuk dirinya sendiri, Cut tidak berharap banyak dari siapa pun yang menjadi presiden nantinya, “Dibebaskan pun boleh, tidak pun boleh,” sebutnya.
Hal yang sama juga dikatakan hampir oleh seluruh tahanan wanita lainnya. Mutia (19 tahun), yang dipenjara di rutan tersebut, hanya karena istri Tgk Nasrul, Panglima Operasi GAM wilayah Trieng Gadeng, Pidie, juga menjagokan SBY. Dia mengharapkan, akan ada kembali dialog di Aceh, supaya Aceh aman dan damai. Dan, “Tahanan politik mestinya harus dibebaskan,” sebut Mutia tentang harapannya.
Mutia menjadi salah satu tahanan yang hidup sampai kini. Dia bebas Oktober 2004, dua bulan sebelum tsunami menghantam seluruh Penjara Lhoknga pada 26 Desember 2004 silam.
Sebuah helikopter dari kapal angkatan laut Prancis Jeanne d'Arc melayang pada 14 Januari 2005 di atas kawasan Lhoknga, Aceh Besar. Foto AFP PHOTO/Joel Saget
***
ADVERTISEMENT
Di antara sekian banyak perempuan di sana, hukuman paling berat dijatuhkan kepada Elit Baleno alias Salbiah dengan vonis 18 tahun penjara. Perempuan keturunan Demak, Jawa Tengah, itu dituduh sebagai Panglima Inong Balee Gajah Keng Wilayah IV Teumon. Dia lahir berasal dari keluarga Jawa, yang pindah ke Aceh dalam program transmigrasi di tahun 80-an.
Dia ditangkap di Lamno, 5 Maret 2004 dalam sebuah sweeping aparat keamanan, saat perjalanan pulang dari Banda Aceh, tempatnya bekerja ke Teunom, Aceh Jaya. Tuduhannya sebagai panglima berat, bahkan Elit Baleno tak bisa bahasa Aceh. Saat itu, dia berumur 18 tahun.
Entah karena kemiripan atau faktor lain, Elit Baleno tak tertolong saat persidangan. Tanpa didampingi pengacara, akhir Maret 2004, Pengadilan Negeri Calang, Aceh Jaya memberikan vonis untuknya, 18 tahun penjara. “Saya tidak pernah terlibat GAM itu. Tahu pun nggak,” katanya kepada ku saat itu.
ADVERTISEMENT
Banyak perempuan seperti Elit Baleno yang dituduh terkait GAM kemudian ditahan, dari Inong Balee sampai memberikan sepiring nasi untuk gerilyawan.
(Alm) Elit Baleno alias Salbiah. Foto: Adi Warsidi
Seorang lainnya, Nilawati (saat itu 22 tahun), mengaku telah melewati kehidupan di rutan sejak 14 bulan lalu, dari tiga tahun hukuman yang harus dijalaninya. Dia berasal dari Desa Tui Kareng, Kecamatan Panga, Kabupaten Aceh Jaya. Perjalanannya ke penjara dimulai sejak ditangkap aparat keamanan pada 17 Juli 2003 atau dua bulan setelah Jakarta mengumumkan status Darurat Militer di Aceh. Dia ditangkap saat bersama warga desanya, mengungsi ke Kuala Manusi, Aceh Jaya, menyusul situasi keamanan yang semakin memburuk.
Sebagaimana halnya Salbiah, tuduhan yang dilontarkan kepada Nila pun seputar keterlibatannya sebagai pasukan Inong Balee (laskar perempuan Gerakan Aceh Merdeka/GAM). Berbeda dengan Salbiah yang telak-telak membantah, Nilawati mengakui pernah mengikuti latihan GAM selama seminggu di Desa Meureuhom Daya, Lamno. “Itupun kerena terpaksa,” katanya.
ADVERTISEMENT
Pada pertengahan 2000, saat TNI menggelar Operasi Cinta Meunasah (OCM), pihak GAM masih sangat berpengaruh di desa-desa. Dari pengakuan Nila, saat itu pasukan GAM sedang mencari anggota masyarakat untuk dilatih menjadi sayap militer. Setiap keluarga harus menyediakan satu orang untuk mengikuti latihan, selebihnya boleh secara sukarela.
Nila yang merupakan anak tertua dari dua bersaudara yang juga perempuan, harus rela mengikuti panggilan ‘wajib militer’ itu. “Sebenarnya ayah saya tidak mau kasih. Tapi karena takut terjadi apa-apa dengan keluarga, saya terpaksa ikut,” sebutnya.
Berangkatlah Nila ke sebuah pusat latihan GAM yang berlokasi di Desa Meureuhom Daya. Di sana dia berlatih baris berbaris, peragaan senjata dan segala macam taktik perang lainnya. Latihan itu pun tak lama dijalaninya, hanya satu minggu. Setelah itu, Nila kembali ke desanya dan hidup normal seperti biasa.
Cover Majalah ACEHKITA, Oktober 2004.
Nila mengisahkan, latihan baris-berbaris ala GAM hampir sama dengan yang dilakukan oleh TNI/Polri. Hanya saja menurutnya, perintah yang digunakan adalah bahasa Arab. “Alimin untuk hadap kiri, Arisan untuk kanan, dan Aliwara untuk ke belakang,” sebut Nila sambil tertawa mengenang masa lalu.
ADVERTISEMENT
Nila disidang di PN Aceh Jaya pada bulan September 2003 sebelum akhirnya majelis hakim mengganjarnya dengan tiga tahun penjara. Sebelum dipindahkan ke Rutan Lhok Nga pada April 2004, Nila ditahan di Polres Meulaboh, Aceh Barat.
Harapannya sama, dibebaskan lalu Aceh damai. Seperti halnya para penghuni rutan lainnya, dalam pemilihan presiden tahap II ini, Nila mengaku memilih Susilo Bambang Yudhoyono, karena berharap ada perubahan. “Mega tidak bisa diharap lagi,” sebut Nilawati pada akhirnya.
Ada juga Rahmaniah (saat itu 38 tahun), warga Desa Cot Buket, Kecamatan Peusangan, Kabupaten Bireuen. Dia ditangkap aparat keamanan di desanya pada tanggal 5 November 2003, saat mereka mencari abang dan adiknya yang dituduh terlibat GAM di rumahnya. Tak ditemukan, dia lantas menjadi tertuduh, menyimpan dan menyembunyikan GAM serta tidak memberitahukan keberadaan mereka.
ADVERTISEMENT
Sejak saat itu, Rahmaniah menjadi tahanan titipan polisi di LP Bireuen, hingga disidangkan. Hakim menetapkan hukuman 1,5 tahun penjara bagi wanita ini. Maret 2004, Rahmaniah dipindahkan ke Rutan Lhak Nga, dengan membawa serta dua anaknya. Seorang perempuan yang masih berumur 2 tahun dan seorang laki-laki usia 4 tahun.
Keduanya dibawa karena tak ada lagi sanak keluarga yang bisa mengasuh dan membesarkan mereka. Jadilah kedua bocah kecil itu menghabiskan masa bermainnya di penjara. “Om, om, di sini aja, jangan pulang ya...” seru bocah umur 4 tahun itu memanggilku, lalu tertawa. Mata ibunya nampak berkaca-kaca, terharu.
Sementara suami Rahmaniah sendiri, sejak istrinya dipindahkan ke Lhoknga, harus rela pindah ke Banda Aceh dan bekerja sebagai kuli bangunan di Lampriet, Bandar Baru, Kota Banda Aceh. Rahmaniah mengaku suaminya tabah dan sering berkunjung, menjenguk dirinya dan anak-anak.
ADVERTISEMENT
***
Tsunami menggulung LP Lhoknga pada 26 Desember 2004. Hampir semua penghuninya meninggal dalam tragedi tersebut. Beberapa masih hidup, seperti Mutia yang bebas dua bulan sebelum tsunami, dan beberapa lainnya yang berhasil lari ke bukit di sekitar penjara.
Kak Nur adalah salah satu yang selamat dari penjara Lhoknga usai tsunami. Aku tak sengaja bertemu dengannya pada April 2008 lalu di rumahnya, di sebuah desa di Kabupaten Aceh Besar.
ADVERTISEMENT
Kak Nur mengaku ditangkap karena punya abang seorang petinggi GAM Aceh Besar kala itu. Nur mengaku tak terlalu mengenalku saat meliput di penjara dulunya. Sempat kuhubungi Mutia lewat handphone dan memintanya bicara berdua, kudengar mereka akrab dan saling berjanji untuk bertemu. Lalu kubagi nomor kontak Mutia kepadanya.
“Ada delapan orang yang lolos dari Penjara Lhoknga saat tsunami terjadi, termasuk saya,” katanya. Artinya ditambah Mutia, ada sembilan orang yang punya kenangan tentang penjara untuk perempuan tahanan politik itu.
Usai tsunami, LP Lhoknga tak dibangun lagi di tempat semula. Pemerintah membangun kembali penjara untuk perempuan dan anak di Desa Nusa, Lhoknga, sekitar 3 kilometer dari lokasi itu. [tamat]
Note: sebagian isi artikel tayang di Majalah ACEHKITA, berjudul ‘Perempuan Aceh di Bawah Status Darurat’, terbitan Oktober 2004.
ADVERTISEMENT