Konten Media Partner

Kisah Pilu Veteran di Aceh: Tak Diberi Makan Kala Ikut Kerja Paksa Jepang

17 Agustus 2021 19:21 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Muhammad Daud Agam, veteran yang kini berusia 91 tahun pada upacara HUT ke-76 RI di halaman Kantor Bupati Aceh Barat. Foto: Siti Aisyah/acehkini
zoom-in-whitePerbesar
Muhammad Daud Agam, veteran yang kini berusia 91 tahun pada upacara HUT ke-76 RI di halaman Kantor Bupati Aceh Barat. Foto: Siti Aisyah/acehkini
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
17 Agustus 1945 menjadi tonggak sejarah baru bagi Indonesia. Ketika itu Indonesia memproklamasikan kemerdekaan dari penjajahan Belanda dan Jepang. Kemerdekaan Republik Indonesia direbut dengan perjuangan berdarah-darah. Kisah pilu dan pengorbanan nyawa tentu mewarnai detik-detik kemenangan 76 tahun silam itu.
ADVERTISEMENT
Kisah pilu itu sebagaimana Muhammad Daud Agam alami di Kabupaten Aceh Barat, Aceh. Veteran 91 tahun ini begitu bersemangat menceritakan pengalaman kelam masa lalu. Dengan suara terbata-bata, dia mengaku pernah menjadi pekerja paksa di bawah tentara Jepang pada 1942.
Cerita demi cerita mengalir dari pria yang akrab disapa Ayah Agam ini. Ingatannya terantuk pada perlakuan penjajah terhadap masyarakat pada masa itu. Mulai dari tidak diberikan makan hingga bekerja paksa tanpa menggunakan celana dan baju--hanya sehelai handuk menutup kemaluan.
Muhammad Daud Agam, veteran di Aceh Barat mendayung sepeda untuk menunjukkan tempatnya bekerja paksa di benteng pertahanan bekas tentara Jepang. Foto: Siti Aisyah/acehkini
“Kami orang kerja ini memang cukup sedih, pada masa itu cukup pedih, bekerja tanpa berhenti di tengah terik matahari, tidak dibayar, jarang diberi makan.” kata Ayah Agam kepada acehkini di halaman Kantor Bupati Aceh Barat, Selasa (17/8).
ADVERTISEMENT
Ayah Agam lahir di Desa Drien Rampak, 1 Juli 1930. Dia masih bocah 12 tahun ketika tentara penjajah memaksanya bekerja bersama masyarakat membangun benteng pertahanan pasukan Jepang di Desa Drien Rampak, Kecamatan Johan Pahlawan, Aceh Barat.
Ayah Agam dipaksa mengangkut pohon kelapa sepanjang 8 meter. Menurutnya, pada masa itu tidak ada yang berani menolak suruhan tentara Jepang. "Perlakuan mereka kasar, mana ada yang berani membantah, kami kerja saja diawasi ketat, kalau ada yang istirahat langsung dipukul,” ujarnya.
Muhammad Daud Agam, veteran yang kini berusia 91 tahun saat menerima santunan dan penghargaan dari Bupati Aceh Barat pada HUT ke-76 RI. Foto: Siti Aisyah/acehkini
Mengenakan baju dan peci kuning, Ayah Agam menjejakkan kaki di Kantor Bupati Aceh Barat, pada Selasa (17/8) pukul 08.00 WIB. Pemerintah Kabupaten Aceh Barat mengundangnya mengikuti upacara peringatan HUT ke-76 RI bersama beberapa veteran lain. Seusai upacara, veteran itu mendapat santunan dan penghargaan dari Bupati Aceh Barat, Ramli MS.
ADVERTISEMENT
Kelar rangkaian kegiatan di sana, Ayah Agam mengajak acehkini bersama sejumlah jurnalis melihat tempat dia bekerja paksa di Desa Drien Rampak. Lokasi itu terletak sekitar 300 meter dari Kantor Bupati Aceh Barat. Di sana, ada satu benteng pertahanan bekas tentara Jepang.
Dari benteng itu kami bergeser ke benteng pertahanan lain di Desa Rundeng. Ayah Agam mengayuh sepedanya menuju ke sana. Dia juga pernah bekerja paksa di benteng itu.
Veteran yang akrab disapa Ayah Agam menunjukkan benteng pertahanan bekas tentara Jepang yang masih kokoh di Aceh Barat. Foto: Siti Aisyah/acehkini
Berbentuk bundar, dinding benteng itu berkelir hitam pekat. Letaknya di pinggir Jalan Nasional Banda Aceh-Tapak Tuan. Ayah Agam menyebut bentuknya sudah berubah. Misalnya, bagian depan benteng terkikis bangunan rumah toko warga. Benteng itu dulu berfungsi sebagai pos tentara Jepang.
Ayah Agam lantas masuk dalam benteng seluas 4x4 meter itu. Konstruksinya berupa beton dengan ketebalan dinding dan atap mencapai 40 sentimeter. Sisi kiri dan kanan terdapat lubang kecil berbentuk segi empat. Terdapat dua lobang di bagian atap.
ADVERTISEMENT
“Kalau lobang di dinding itu untuk menaruh senjata tentara Jepang, sementara di atap itu untuk udara agar yang di dalam bisa bernapas. Karena pintunya itu terbuat dari besi padat tanpa lubang dulunya,” Ayah Agam menjelaskan.
Menurutnya, dulu sekeliling benteng tanahnya lebih rendah. Tapi kini sudah ditimbun.
Veteran yang akrab disapa Ayah Agam melihat benteng pertahanan bekas tentara Jepang yang masih kokoh di Aceh Barat. Foto: Siti Aisyah/acehkini
“Benteng pertahanan ini banyak dibuat di Aceh Barat, kami kerjakannya (bersama masyarakat) satu kampung, yang saya rasakan penjajahan dengan Belanda itu tidak sesusah saat Jepang. Kalau (kerja masa) Belanda kami masih dikasih uang setengah sen, paling besar dikasih 5 rupiah. Kalau Jepang memang kerja paksa tidak ada uang,” ujarnya.
Ayah Agam menyebut, benteng pertahanan Jepang itu menjadi saksi bahwa masyarakat Aceh pernah diperlakukan tidak manusiawi oleh penjajah. Benteng itu juga pengingat generasi muda untuk terus mempertahankan kemerdekaan Indonesia agar kisah pahit masa lalu tidak dirasakan kembali pada masa mendatang.
ADVERTISEMENT
“Untuk pemuda sekarang harus menjaga (kemerdekaan) janganlah sampai merasakan lagi hal begini. Masyarakat Indonesia harus terus merdeka,” sebutnya.