Kisah Ranger Perempuan di Aceh: Mengusir Pembalak, Menanam Pohon (2)

Konten Media Partner
2 September 2022 10:32 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Laki-laki dan perempuan saling mengisi dalam menjaga hutan di Bener Meriah, Aceh. Para ranger ini mengusir pembalak, merekrut ranger muda, sambil menanam kembali pohon-pohon.
Lingkungan Desa Damaran Baru, Bener Meriah. Foto: Siti Aisyah/acehkini
Jauh sebelum keberadaan ranger di Desa Damaran Baru, Kecamatan Timang Gajah, Bener Meriah, pembalakan di hutan sekitar kawasan itu berjalan bebas tanpa pengawasan aparat penegak hukum. Sugito tergerak menghentikan aksi miris tersebut, meski tak segampang yang dibayangkan.
ADVERTISEMENT
“Waktu awal jumpa pembalak, belum terlibat ranger, hanya beberapa orang ikut bapak, bapak marah dan senggol. Terus saya kasih tau bapak pakai bahasa gayo, jangan cepat kali marah,” ceritanya kepada acehkini, Rabu (10/8/2022).
Sugito mulai mengajak pembalak untuk berbicara, mereka terus diperingatkan dari waktu ke waktu. Bahkan ia sempat memberitahukan tentang hukum dan aturan tertentu jika masih melakukan hal serupa. “Kami memperlihatkan (aturan) hukum, setelah diperingatkan tiga kali, saya foto minta KTP, berapa isi batang kopi (yang mereka tanam), sejak kapan dia di sini, dengan demikian mereka gemetar,” terangnya.
Pada 2017, Yayasan Hutan Alam dan Lingkungan Aceh (HAkA) kemudian memberikan support pada aktivitas para ranger hutan. Kehadiran mereka membuat pengetahuan para relawan penjaga hutan ini semakin membaik. “Dari HAKA ada support dana sedikit, namun pada Juni 2022 kemarin, HAkA sudah berhenti karena limit waktu,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
Sumini mengakui, bahwa saat ini begitu sulit mengajak para generasi muda untuk terlibat, terlebih perempuan. Karena menurut mereka, pekerjaan menjadi ranger ini sangat berisiko, ditambah dengan adat di daerah tersebut yang mengharuskan perempuan untuk bekerja di rumah, menjaga anak-anak dan lainnya.
“Kendala mengajak teman-teman lain, sekarang terbatasnya anggaran sudah enggak semangat, karena meninggalkan pekerjaan. Sempat, empat malam lima hari anak-anak di rumah (demi merawat hutan),” sebutnya.

Ranger Muda Penuh Semangat

Risky adalah salah satu ranger seperti Sumini. Dia masih muda, 28 tahun, ikut mengambil peran dalam merawat hutan lindung di desanya sejak 2019. “Hutan kami harus dijaga, kalau tidak takutnya habis,” katanya.
Tenda ranger di dalam hutan. Foto: Siti Aisyah/acehkini
Tak pernah bosan, perempuan satu anak ini memiliki semangat kuat untuk meneruskan tekad ranger perempuan lain. Belum lagi, ada kelebihan yang didapat dari aktivitas tersebut.
ADVERTISEMENT
“Aktivitasnya penanaman, mendata pohon. Kami ada pembibitan juga, pernah jumpa langsung dengan pembalak, kami melihat mereka membersihkan lahan, kami tegur secara pelan-pelan, (seperti) ajak ngopi dulu,” katanya.
“Pak kenapa ditebang hutan ini? kita tanya, itu orang luar yang datang, mau buka lahan. Respons mereka cerita-cerita. Sudah cukup sampai di sini ya pak, jangan sampai ke kawasan lain,” jelasnya menirukan pesan yang pernah disampaikan.
Respons dari keluarga yang mendukung juga membuat Rizky menjadi lebih bersemangat untuk ikut dalam aksi sosial yang selama ini dilakoni Sumini. “Karena suami pun ikut sebagai ranger, aktivitas lain di kampung tidak ada selain ibu rumah tangga, masalah terberat penilaian orang banyak, dicaci-maki orang untuk apa pergi ke hutan, tapi kami tidak mau dengar. Cuek aja, kita jaga bukan untuk sendiri, tapi untuk masyarakat,” katanya sembari tertawa.
ADVERTISEMENT
Jatuh karena licin melewati jalan terjal hingga terjun ke bawah menjadi pengalaman baru bagi Rizky, meski terkadang harus menahan sakit, itu membuat mentalnya lebih baik. “Tetap semangat jaga hutan. Saya tekuni sampai habisnya kemampuan saya, selama ini sudah kurang pembalak liar,” lanjutnya.
Begitu pula dengan ranger perempuan lainnya, Sintia (25 tahun). Mulanya ia coba menggantikan peran suami untuk berpatroli, karena kala itu suaminya menjabat sebagai kepala dusun.
“Hari pertama jadi ranger, berjumpa perambah (hutan), saya lihat semangat ibu-ibu lain dan tergerak. Saya sebagai anak muda tertampar, karena selama ini santai aja tidak tau masalah ada perambahan (hutan). Ibu-ibu aja bisa semangat, masak yang muda diam saja,” katanya.
Para ranger perempuan ini lebih melakukan penanganan secara pendekatan persuasif terhadap para pembalak. Bagaimana tidak, untuk naik ke atas gunung bukanlah hal yang mudah, jika langsung ditegur secara keras, bisa saja mereka hutan tersulut emosi dan mengancam keselamatan tim ranger yang berpatroli.
ADVERTISEMENT
“Kekhawatiran jumpa perambah (hutan), kalau tidak terima kita tegur, apalagi dia ada senjata tajam. Soalnya mereka kerja keras, sehingga kita harus pakai perasaan lakukan pendekatan agar tidak terjadi hal tak diinginkan,” sebutnya.

Menanam Kembali untuk Masa Depan Hutan

Menjaga keberadaan hutan, para ranger perempuan kerap memanfaatkan pengujung agar mau ikut menanam meski hanya sebatang. “Kalau ada tamu mereka wajib menanam, bibitnya kami sediakan, boleh ditandai, boleh dinamai,” kata Sugito, ranger tertua di sana.
Sugito, ranger tertua di Damaran Baru. Foto: Siti Aisyah/acehkini
Sugito sendiri sudah berkecimpung dalam menangkal perambahan hutan sejak tahun 2009, dirinya kerap menyempatkan waktu di balik kesibukannya sebagai mekanik kendaraan bermotor, untuk masuk ke hutan.
“Dulu asal kami pergi ibu-ibu merepet, gak bolehin kami pergi, ngapain ke gunung aja, jadi kami ini harus melibatkan ibu-ibu ini,” jelasnya.
ADVERTISEMENT
“Sejak 2009 sudah mulai ngumpul dan mulai kayak gini, ngimbau para perambah. Intinya yang sudah digarap (lahan) ya udah, gimana kita usir. Respons mereka sadar gak sadar, pande tapi pura-pura bodoh,” ucap Sugito.
Menurutnya, para pembalak mengetahui lokasi hutan lindung dan bukan. Namun, diduga sebab keterbatasan ekonomi hidup, menebang pohon dan menjualnya menjadi mata pencaharian yang cukup menjanjikan. Saat ditemui perambah lain, dirinya mempunyai alternatif agar pohon yang sudah ditebang tanpa sepengetahuannya, diminta untuk ditanami kembali.
Bibit pohon akan ditaman kembali. Foto: Siti Aisyah/acehkini
Menyisir 251 hektare kawasan hutan bukanlah perkara yang mudah bagi mereka, apalagi berjalan kaki tanpa bantuan teknologi. Ada beberapa kali perambah yang lolos dari pantauan para ranger yang berpatroli.
“Warga kami sudah tahu kalau untuk menebang tidak boleh, ada satu orang warga kami yang menebang tapi pindahan dari desa lain, intinya dia belum sadar, belum terketuk harinya, ditebangnya di atas itu,” sebutnya menunjuk hutan.
ADVERTISEMENT
Mereka menyebut, jika ada perambahan hutan dilakukan oleh warga yang diketahui identitasnya, aparat penegak hukum tak bisa diharapkan untuk mengambil tindakan. Meski telah dilaporkan, tak mendapat perhatian lebih lanjut dari petugas.
“Misalnya ke Polhut atau KPH tidak ada solusi, tidak berani ngusir dia, mereka bayar pajak tidak, hasilnya besar. Pembalak ini ada (dari) desa tetangga, bisa kami deteksi berapa KK, kami kumpulkan orang itu kami data, bahkan dari Kabupaten lain juga ada, kalau luar Aceh tidak ada,” kata Sugito.
Para ranger juga mengabdikan diri untuk membuka akses secara swadaya menuju eko wisata pemandian air panas di sana. Selain itu, mereka juga membuka lahan yang bukan di kawasan hutan lindung untuk pembibitan pohon yang akan ditanam di dalam hutan.
ADVERTISEMENT
Mereka berharap pemerintah bisa melirik sedikit jerih payah mereka di sana, sebab para ranger harus selalu menanggung logistik mereka saat berpatroli secara mandiri. Setidaknya pihak eksekutif bisa mengamprah untuk operasional mereka kala menginap di dalam hutan saat melakukan aktivitas lainnya dalam menjaga hutan.

Ranger Harapan Masa Depan Hutan

Kegigihan ranger dari beberapa desa tersebut cukup mencuri perhatian, mereka dicap sebagai pahlawan hutan yang selama ini menjaga tanpa meminta imbalan. Sebab, aksi mereka yang melarang pembalakan kerap didengar, namun jika pihak lain bisa saja dilawan.
Seperti disampaikan Lembaga Pendampingan Hutan Desa (LPHD), Amiruddin. Meski berperan sebagai pendamping, namun pihaknya tak mempunyai kekuatan untuk bisa menindak para pembalak. Nyatanya teguran mereka dianggap angin berlalu dan tak pernah digubris
ADVERTISEMENT
“Selama orang ini patroli jika ada pembalakan, si pembalak tidak berani lawan, kalau kami yang datang jadi lawan. Sekarang mereka sedang melakukan penghijauan kembali,” jelas Amiruddin.
Ranger berpatroli di hutan. Foto: Siti Aisyah/acehkini
Dia mengatakan, dari data yang dimiliki pelaku pembalakan liar merupakan warga dari tetangga, seperti dari Kabupaten Aceh Utara dan Kabupaten Bireuen. Namun menurutnya, masyarakat yang melakukan pembalakan liar tersebut hanyalah pekerja.
Pemberdayaan para ranger masih tetap saja menarik perhatian Amiruddin, sebab tak ada yang mensupport pendanaan rutin untuk mereka bertugas di hutan. Dari kehutanan sendiri hanya mensupport dan mendampingi jika ada kegiatan dan permasalahan.
“Rencananya mereka mandiri, dibentuk beberapa kelompok usaha kehutanan sosial, masing-masing bidang, ekowisata, lebah madu dan pembibitan. Untuk menjaga hutan, di Bener Meriah sudah agak reda pembalakan liar, banyak dari kabupaten tetangga,” ungkapnya.
ADVERTISEMENT
Amiruddin berharap, para ranger tetap bertahan meski kondisi mereka tidak mendapat support yang baik dari pemerintah. Kehadiran mereka berdampak positif bagi keberlangsungan lingkungan dan alam. Apalagi sejak mereka hadir, bencana bisa ditanggulangi hingga tak membahayakan banyak jiwa. []
Artikel ini merupakan hasil beasiswa peliputan "Perempuan Berdaya di Media" yang diadakan oleh Project Multatuli dan Yayasan Hivos dalam kemitraan program We Lead yang didukung oleh Global Affairs Canada.