Kisah Ranger Perempuan di Aceh: Semangat Lindungi Hutan Sumber Kehidupan (1)

Konten Media Partner
2 September 2022 10:13 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Tentang perempuan penjaga hutan di Bener Meriah, Aceh. Keluar masuk rimba untuk menjaganya tak gundul, tanpa melupakan aktivitas sehari-hari di rumah dan lingkungan desa.
Ranger perempuan di Bener Meriah, Aceh. Foto: Siti Aisyah/acehkini
Pukul lima pagi, kokok ayam terdengar. Sumini segera bangun dari tidur lelapnya dan bergegas melakoni kegiatan rumah tangga seperti mencuci piring dan membereskan rumah. Selepas salat Subuh, perempuan 46 tahun itu berjalan menuju pabrik pembuatan tempe tempatnya bekerja sebagai buruh dari pagi sampai siang.
ADVERTISEMENT
Pabrik itu berjarak 500 meter dari rumahnya di Desa Damaran Baru, Kecamatan Timang Gajah, Kabupaten Bener Meriah, Aceh.
Tak banyak bicara, tangan Sumini bergerak cepat mengambil keranjang kedelai untuk dicuci. Tumpukan bahan dasar tempe itu lalu ia tuang ke dalam drum di atas bara api untuk dimasak, proses pembuatan tempe pun dimulai. Sekitar 2 jam, 200 kilogram kacang kedelai kelar dicuci. Sumini lalu pulang untuk mengerjakan pekerjaan lainnya di rumah.
Selain bekerja di pabrik tempe, Sumini punya aktivitas sebagai ranger di hutan. Ibu lima anak ini hidup dalam kesederhanaan bersama suaminya yang juga bekerja sebagai relawan penjaga hutan lindung.
“Namanya kita perempuan gimana, waktu itu penting, urus anak pun iya, cara rezeki juga iya, ke hutan juga iya,” kisah Sumini dengan saat dijumpai acehkini, Rabu (10/8/2022) lalu. Biasanya Sumini akan pergi ke hutan kalau semua pekerjaannya sudah selesai, tak lupa membawa peralatan dan bekal selama di hutan.
ADVERTISEMENT
Menempuh perjalanan bersama rombongan sekitar 1 jam menggunakan sepeda motor. Medan curam, berbatu-batu di dalam hutan di Kawasan Ekosistem Leuser sudah tak asing lagi, bagi Sumini tentu itu bukan kendala berat untuk tiba di tempat singgah yang digunakan sebagai lokasi menginap. Namun, bagi orang lain, sedikit saja tak sigap saat berkendara bisa terjatuh.
Setelah memarkirkan sepeda motornya di pinggiran tebing gunung. Kami masih harus melanjutkan perjalanan menembus hutan belantara dengan perjalanan sekitar 1 jam. Selama trekking melewati perbukitan, jalan terjal, licin dan bebatuan, kondisi badan harus dipastikan fit karena ayunan kaki harus berhati-hati berpijak, melangkahi akar-akar pohon yang licin dan curam.
Tak seberapa jauh sebelum masuk ke dalam hutan, terdapat beberapa embung yang digali secara swadaya oleh Ranger untuk mencegah banjir. Jika hujan turun, embung tersebut digunakan sebagai penampung air, agar tak segera merembes ke desa. Itu pula yang membuat belasan tahun desa aman dari bencana alam.
ADVERTISEMENT
Berseragam hijau dengan ransel di punggung, tangan Sumini memegangi sebilah parang. Mereka dikenal sebagai Ranger yang bertekad memerangi deforestasi dan perburuan satwa liar di kawasan hutan lindung Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL). Jika laki-laki yang dianggap sebagai garda depan, para perempuan di kawasan pegunungan memiliki kelompok sendiri bergerak menjaga dan merawat hutan. Mereka dikenal dengan nama MpU Uteun.
Sumini, Ranger Perempuan. Foto: Siti Aisyah/acehkini
Kawasan yang dijaga berada di bagian tengah Aceh, berada di ketinggian 1.000-2.500 meter dari atas permukaan laut. Kawasan Aceh bagian tengah memiliki hutan asri. Sumini sendiri merupakan ketua Lembaga Pelindung Hutan Kampung Mpu Uteun.
Ada sekitar 251 hektare area hutan lindung yang berada di bawah tanggung jawab mereka. Para ranger juga bertugas menjaga Daerah Aliran Sungai (DAS) Wih Gile yang menjadi sumber mata air untuk enam desa tetangganya.
ADVERTISEMENT
“Sukanya, kalau namanya naik turun bukit bagus juga untuk kesehatan, dukanya, di kala hujan tidak tau berteduh di mana dengan suara petir menggelegar, kita hanya berdoa, ditambah angin yang kencang,” kata Sumini.
Banjir yang kerap melanda desanya saban tahun, menjadi motivasi bagi Sumini dan beberapa perempuan lain menjaga alam, walau beragam hambatan yang datang itu tak pernah menjadi buah pikir, apalagi disepelekan dan tak dianggap.
“Kita pernah tidak tidur semalaman, kondisi kami buat camp miring dan memang harus terpaksa buat di situ, karena kalau geser jatuh ke jurang. Jadi pas hujan kami tetap bertahan terus, kami masuk ke dalam karung dan plastik, tidur pun udah numpuk satu tenda 8 orang. Kalau sekarang mending kita sudah ada bantuan tenda, kalau dulu pakai terpal,” ujarnya.
ADVERTISEMENT

Bencana sebagai Pemicu Awal

Sebelum 2015, kerap terjadi perambahan hutan yang berjarak lima kilometer dari kampung Sumini. Hutan rusak dan berdampak buruk, terjadi bencana banjir dan tanah longsor. Sebanyak 11 rumah di bawah kaki Gunung Burni Telong, hanyut.
Pada 2017, petani Damaran Baru berkumpul dan membentuk Lembaga Pengelola Hutan Kampung (LPHK) Damaran Baru. Pada 2019, mereka mengajukan perizinan pengelolaan kawasan hutan melalui perhutanan sosial kepada KLHK. “November 2019, kami mendapat izin pengelolaan,” kata Sumini.
Sumini bersama anaknya. Foto: Siti Aisyah/acehkini
Kini, selain menjaga hutan mereka juga terus pembibitan dan penanaman aneka jenis pepohonan guna menahan laju tanah longsor. Pohon-pohon itu antara lain, aren, jambu biji, dan nangka. Juga aneka pohon buah seperti pepaya, nangka, sirsak untuk pakan satwa seperti monyet ekor panjang (Macaca fascicularis). “Agar monyet tak turun merusak kebun di kampung karena pakan alami hutan habis,” katanya.
ADVERTISEMENT
Ranger LPHK Damaran Baru beranggota 24 orang, sekitar 10 orangnya adalah perempuan. Secara bersama-sama, perempuan dan laki-laki menjaga hutan dari aksi perambahan. Kendala mereka, jalur licin, naik turun dan berisiko. Meski begitu, mereka telap menjalankan tugas sebagai penjaga hutan guna merawat warisan anak cucu.
Sejak 2015 mereka bergelut dengan hutan. Meski kerap mendapat ejekan, namun itu tak merobohkan niat tulus para ibu di Damaran Baru. “Jarang ada yang mau (jadi ranger perempuan), makanya diulok-ulokin (lelucon) karena (dianggap) kurang kerjaan, hutan diurus,” katanya.
Walau tanpa kucuran dana dari pemerintah, semangat ibu-ibu yang menjadi ranger di Bener Meriah terus jalan. Mereka terus berupaya mengurangi aktivitas illegal di kawasan hutan dengan pendekatan persuasif dan penyadaran, semenjak hal itu dilakukan, semakin minim pula penebangan liar yang terjadi.
ADVERTISEMENT
“Yang mengacu makin semangat, ada pengunjung dari Jepang dan Jerman, kenapa mereka jauh jauh mau ke hutan kita, sementara kita yang dekat tidak peduli. Kemudian mereka cerita hutan ini penting, menyelamatkan orang banyak, kegiatan luar biasa tanpa pamrih, keren,” cetusnya.
Patroli dilakukan dalam waktu 10 hari dalam sebulan. Dengan jadwal acak, ranger MpU Uteun dibagi dalam dua tim. Siapa pun bisa bergabung asal mendapatkan izin dari suami atau orang tua. Menurut Sumini, izin dari keluarga sangat penting, apalagi bagi seorang ranger perempuan yang harus meninggalkan rumah dan keluarga.
“Ya kendala kita memang izin itu, karena kita kan meninggalkan anak, jadi harus memang kasih pengertian ke anak terkait pentingnya kegiatan ranger ini. Karena kalau anak saja tidak memberi izin, kita sedang kerja juga berpikiran di rumah,” jelasnya.
Patroli di hutan. Foto: Siti Aisyah/acehkini
Sumini menjelaskan, satu regu itu terdiri 8 orang, lima laki-laki dan tiga perempuan. Menyisir hutan sudah menjadi kebiasaan. Hutan bagi mereka sudah menjadi rumah kedua, tidak terkecuali. Jika hendak hidup dengan tenteram maka dengan merawat alam juga menjadi bagian mencegah terjadinya kehancuran alam.
ADVERTISEMENT
Banyak pengalaman yang didapat kala ia mulai bekerja untuk melindungi hutan lindung, ia harus menghafal nama pohon dan mengetahui manfaat dan fungsi pohon yang tumbuh di dalam hutan.
Kala bertemu pembalak saat berpatroli di dalam hutan, peringatan diberikan tak berlaku sekali, perlu diperingatkan secara berulang agar penebang pohon itu bisa sadar. Hasilnya kini terasa, dengan upaya tersebut masalah teratasi perlahan.
“Hal negatif tidak ada, hanya saja orang-orang penasaran, kenapa kami suka kali ke hutan dan ke gunung. Insyaallah setelah kita jalani, sampai saat ini aman-aman aja. Ranger perempuan, ini masih dalam masa proses regenerasi, bisa dikatakan kami hanya beberapa hari lagi sanggup naik turun gunung,” ujarnya. [bersambung]
Note: artikel ini merupakan hasil beasiswa peliputan "Perempuan Berdaya di Media" yang diadakan oleh Project Multatuli dan Yayasan Hivos dalam kemitraan program We Lead yang didukung oleh Global Affairs Canada.
ADVERTISEMENT