Kisah Rencong Hasan Tiro Kala GAM Melawan Indonesia (26)

Konten Media Partner
15 Februari 2022 12:50 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Rencong terbatas digunakan warga sejak pemberontakan DI/TII meletus di Aceh. Sama halnya kala Gerakan Aceh Merdeka (GAM) menyatakan perang dengan Indonesia untuk memerdekakan Aceh. Tapi, pimpinan tertinggi GAM, Tgk Hasan Muhammad Di Tiro selalu membawa rencong untuk kepentingan lain.
Tgk Hasan Muhammad Di Tiro (depan) bersama pasukan militer GAM di Libya. Foto repro: Suparta dari dokumen pribadi
Pemberontakan DI/TII di Aceh di bawah pimpinan Tgk Daud Beureueh berhasil diredam lewat perdamaian bermartabat dengan Pemerintah Indonesia pada 9 Mei 1962. Masyarakat Aceh beberapa tahun kemudian hidup tanpa konflik dengan status Daerah Istimewa.
ADVERTISEMENT
Perdamaian belum membawa dampak kesejahteraan yang berarti bagi rakyat Aceh. Termasuk saat ditemukannya gas alam pada 1970 di ladang Arun, Aceh Utara. Sebagian warga menilai, hasil sumber daya alam itu lebih menguntungkan pemerintah pusat.
Alasan memperjuangkan keadilan dan kesejahteraan rakyat Aceh, pada 4 Desember 1976 atau 14 tahun setelah Tgk Daud Beureueh turun gunung, Tgk Hasan Muhammad Di Tiro memimpin kembali pemberontakan, memproklamirkan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), di Tiro, Pidie.
Konflik terus berlangsung di Aceh sampai 29 tahun. Beberapa kali jalan penyelesaian konflik dirancang, tapi gagal. Hingga bencana dahsyat tsunami melanda Aceh pada 26 Desember 2004, dengan korban jiwa melebihi 200 ribu. Setelahnya, upaya mengakhiri konflik serius dibahas dan berhasil mencapai kesepakatan lewat sebuah perundingan di Helsinki pada 15 Agustus 2005. Kesepakatan itu dikenal dengan Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki.
ADVERTISEMENT
Di masa konflik 1976-2005, senjata tradisional seperti rencong dan pedang benar-benar tidak lagi digunakan dalam perang antara tentara GAM dengan TNI/Polisi. Perang lebih modern dengan senjata api, laras panjang dan pistol.
Tapi, rencong kerap digunakan Tgk Hasan Tiro untuk membangkitkan semangat para militer GAM ketika berlatih di camp Maktabah Tazzura, Libya, pada 1986-1988. Demikian dikisahkan oleh Wali Nanggroe Aceh, Paduka Yang Mulia (PYM) Tgk Malik Mahmud Al Haythar.
Tgk Hasan Tiro mempunyai rencong indah dengan balutan perak di gagangnya serta berhias permata. Senjata pusaka itu kerap ditaruh di meja kerja, saat bermukim di Norsborg, Stockholm, Swedia. “Rencong itu kerap dibawa kemana-mana di dalam tasnya,” kisah Tgk Malik Mahmud kepada penulis. Beliau juga mantan Perdana Meuntroe GAM.
Tgk Hasan Tiro semasa muda dengan rencongnya. Foto repro: Suparta dari dokumen pribadi
Tgk Malik melanjutkan, suatu ketika saat menjenguk personel militer GAM di Libya, Tgk Hasan Tiro berpidato untuk membangkitkan semangat para tentara Aceh. Lalu, rencong diambil sambil dijatuhkan di atas meja. “Dengan ini (rencong), para pejuang dulu berperang melawan Belanda,” katanya dalam bahasa Aceh seperti dikisahkan Tgk Malik.
ADVERTISEMENT
***
Tgk Hasan Tiro lahir di Gampong Tiro, Pidie, 25 September 1925. Berasal dari keluarga ulama, beliau ikut dalam perang melawan Belanda, saat Indonesia baru merdeka. Beliau sempat kuliah di Universitas Islam Indonesia, Yokyakarta. Pada awal 1948, menjadi anggota staf Wakil Perdana Menteri II Syafruddin Prawiranegara
Melanjutkan pendidikan ke Amerika Serikat, Tgk Hasan Tiro sempat bekerja paruh waktu di Perwakilan Indonesia untuk Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB). Selanjutnya konflik terjadi di Aceh, Tgk Hasan Tiro bergabung ke dalam Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) Aceh, di bawah pimpinan Tgk Daud Beureueh. Beliau menjadi Duta Besar Aceh untuk perjuangan di PBB, tahun 1953. Pemerintah Indonesia mencabut kewarganegaraannya.
Setelah pemberontakan DI/TII Aceh, Tgk Hasan memilih tetap tinggal di Amerika Serikat menjadi pengusaha di bidang minyak, emas, timah, dan permukiman.
ADVERTISEMENT
Tgk Hasan Tiro kemudian pulang ke Aceh, mendeklarasikan GAM di Gunung Halimun, Pidie pada 4 Desember 1976. Sejak itu, beliau menjadi buruan kelas wahid aparat keamanan, dicap pemberontak yang merongrong stabilitas keamanan Indonesia. Tiga tahun lamanya, Tgk Hasan Tiro bergerilya, memimpin pasukannya di belantara Aceh.
Pada 28 Maret 1979, beliau meninggalkan Aceh melalui sebuah pelabuhan kecil di pesisir Jeunieb, Bireuen. Ia kembali ke Amerika Serikat, hingga akhirnya menetap di Alby, Norsborg, Swedia. Memimpin pemerontakan GAM dari luar negeri.
Usai damai, Tgk Hasan Tiro kembali pulang ke Aceh pada 11 Oktober 2008. Saat itu puluhan ribu orang dari berbagai kabupaten/kota berbondong-bondong datang ke Banda Aceh, memenuhi Bandara Sultan Iskandar Muda dan Masjid Raya Baiturrahman. Wali Hasan Tiro pulang melalui Malaysia, dijemput sejumlah sahabatnya.
ADVERTISEMENT
Di Masjid Raya Baiturrahman, Wali Hasan Tiro menyampaikan amanahnya, dibacakan Tgk Malik Mahmud. “Biaya perang mahal, biaya memelihara perdamaian juga lebih mahal. Maka dari itu, peliharalah damai untuk kesejahteraan kita semua.”
Tgk Hasan Tiro bersama Tgk Amir Mahmud (duduk) saat pulang kembali ke Aceh usai perjanjian damai. Foto: Suparta
Beliau meninggal dunia di tanah kelahirannya dalam usia 84 tahun pada Kamis siang, 3 Juni 2010. Tgk Hasan Tiro dikuburkan di sebelah makam leluhurnya, Pahlawan Nasional dari Aceh, Tgk Chik Di Tiro, kawasan Mureu, Kecamatan Indrapuri Aceh Besar.
Konon, rencong peninggalan Tgk Hasan Tiro masih disimpan hingga kini oleh ahli warisnya. Rencong sebagai benda pusaka yang menjadi indentitas Aceh sejak lama; dalam perang dan damai. []