Kisah Rubama, Penggagas Desa Wisata di Gampong Nusa, Aceh

Konten Media Partner
3 Mei 2019 13:49 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Penari tradisional Aceh di Gampong Nusa, desa wisata di Aceh Besar. Foto: Ahmad Ariska/acehkini
zoom-in-whitePerbesar
Penari tradisional Aceh di Gampong Nusa, desa wisata di Aceh Besar. Foto: Ahmad Ariska/acehkini
ADVERTISEMENT
Rubama asik bercakap bersama seorang pria yang satu meja dengannya di sebuah warung kopi di Banda Aceh, Aceh. Sesekali, pria itu mengangkat dan mendekatkan buku notes miliknya--yang berisi tulisan-tulisannya--dengan agak mendekat ke wajah Rubama.
ADVERTISEMENT
"Dia dari event organizer. Dia ingin menggelar kegiatan pada Juni nanti di Gampong Nusa," kata Rubama, perempuan 34 tahun itu, kala berbincang dengan Acehkini, Senin (29/4/2019).
Gampong Nusa adalah sebuah desa wisata di Kecamatan Lhoknga, Kabupaten Aceh Besar, yang berjarak 30 kilometer dari pusat Kota Banda Aceh. Kendati pernah luluh lantak diterjang tsunami pada 26 Desember 2004 silam, Gampong Nusa lalu mampu bangkit dan mencoba mandiri dengan konsep wisata berbasis masyarakat.
Sejak tahun 2015 hingga Desember 2017, terhitung 7.000 turis dari mancanegara menyambangi Gampong Nusa. Sebagian besar pelancong ialah orang Melayu dari Malaysia. Mereka menginap di rumah warga setempat, sembari dikenalkan kebudayaan Aceh secara lebih dekat, sehingga itulah yang menjadi nilai jual bagi wisatawan.
ADVERTISEMENT
Meski telah ramai dikunjungi turis, pada awalnya sangat sulit mengubah pemikiran warga setempat agar lebih terbuka. Sejak mula dirancang, konsep wisata berbasis masyarakat mendapat cibiran. Namun, Rubama, sosok utama penggagas desa wisata itu, tetap teguh dengan pendiriannya.
Rubama. Foto: Suparta/acehkini
Membangun Gampong Nusa, bagi Rubama, seperti sudah diwariskan sejak kecil. Ayahnya seorang guru pengajian dan imam masjid, yang membentuk karakter Rubama kecil untuk sering bersosial. Dari SMP hingga SMA, perempuan kelahiran 17 Agustus 1985 itu sering terlibat dalam kegiatan-kegiatan yang digelar di balai pengajian sang ayah.
Ketika tsunami melanda Aceh pada 26 Desember 2004, Rubama berada di Gampong Nusa, letaknya tidak jauh dari laut. Ia kemudian berlari ke dataran yang lebih tinggi bersama keluarga. "Keluarga kandung tidak ada yang menjadi korban," tutur Rubama. Sedikitnya, 18 warga Gampong Nusa meninggal saat tsunami.
ADVERTISEMENT
Pasca-tsunami, Rubama yang sedang menyelesaikan pendidikan di Jurusan Biologi, Fakultas Tarbiyah, Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ar-Raniry, ini ingin membangkitkan kampungnya dari keterpurukan. "Kami coba bangkit dari keterpurukan. Tentu setelah tsunami banyak persoalan. Salah satunya adalah pesimisnya masyarakat,” katanya.
“Saya sering kasih semangat ke pemuda di sana, ayo terus bergerak jangan terlalu lalai dan terkubur dalam bencana itu karena ini adalah bagian dari kita untuk bergerak," ujar Rubama, yang saat ini telah menyelesaikan pendidikan pasca-sarjananya.
Pada tahun 2005, Rubama diajak oleh salah satu Non-Governmnet Organization (NGO)--organisasi dari luar negeri yang membantu Aceh pasca-tsunami--untuk bergabung dalam proyek pengelolaan sampah berbasis masyarakat.
Menjaga adat dan budaya, KPPS di Gampong Nusa mengenakan pakaian adat Aceh saat pemungutan suara Pemilu 2019. Foto: Adi Warsidi/acehkini
Rubama mendapat ilmu pengelolaan sampah dari pelatihan di Calang, Kabupaten Aceh Jaya, selama dua hari. Sepulang dari sana, Rubama membentuk kelompok masyarakat di Gampong Nusa untuk pengelolaan sampah bernama Nusa Creation Comunity (NCC). Kala itu, anggota NCC mencapai 180 orang.
ADVERTISEMENT
"Tapi seleksi alam, tinggallah sampai hari ini yang berkomitmen dalam pengelolaan sampah berbasis masyarakat itu 15 orang," ujarnya.
Menurut Rubama, program serupa juga dilakukan di desa lain. Namun, selepas tidak ada lagi NGO, program ini tidak dilanjutkan. "Tapi kita di Gampong Nusa tetap berpikir bahwa program ini harus terus jalan. Di samping media belajar kita bersama, juga untuk meningkatkan ekonomi," lanjutnya.
Gelisah Hilangnya Nilai Sosial
Alasan paling kuat yang mendorong Rubama bergerak membangun kampung kelahirannya karena ia melihat rasa solidaritas dan jiwa sosial masyarakat mulai runtuh pasca-tsunami. Apalagi, saat itu ada program cash for work atau setiap pekerjaan dibayar dari NGO. Sehingga masyarakat tidak mau lagi bergotong-royong jika tidak dibayar.
ADVERTISEMENT
"Ketika project internasional cash for work masuk pasca-tsunami, itu mengikis jiwa sosial masyarakat kita yang belum siap. Karena itu banyak tempat yang melupakan nilai gotong royong. Kalau ada rapat, pasti ditanya berapa dibayar," ujar Rubama.
Rubama, anak petani yang ingin memajukan desanya. Dok. Pribadi
Agar hal itu tidak terus berlanjut, Rubama dengan kelompok NCC-nya menggunakan media sampah untuk mengajak masyarakat berkumpul setiap hari Rabu. Sampah-sampah didaur ulang dibikin berbagai kreasi, sehingga punya harga untuk dijual.
Meski untuk berkumpul saat itu warga dibayar oleh NGO Rp 10 ribu bagi setiap orang yang datang sebagai uang konsumsi. Namun, di tangan Rubama, uang itu tidak sepenuhnya dibagi kepada masyarakat. Ia hanya memberikan setengah, sedangkan sisanya diambil sebagai kas NCC.
"Karena kita punya mimpi besar, bagaimana Nusa ke depan akan menjadi Gampong berdaulat. Ini yang membuat kita menjadi solidaritas. Sehingga apa yang dikasih oleh NGO tidak kita telan secara mentah-mentah," jelas Rubama.
ADVERTISEMENT
Media sampah yang dicanangkan di NCC hanya menjadi alasan agar masyarakat berkumpul dan tetap solid. Menurut Rubama, jika warga sudah berkumpul, berbagai informasi, keluhan, dan lainnya akan tersampaikan, dan sama-sama itu akan didengarkan.
"Ketika sampah itu dibikin produk bernilai ekonomi, seperti menjadi bunga dan tas, maka persoalan ekonomi akan terjawab. Oleh karenanya, orang akan tertarik untuk berkumpul," sebutnya.
Kegiatan parade memanfaatkan sampah plastik sebagai pakaian di Gampong Nusa. Foto: Juen JR untuk acehkini
Dua tahun NCC berjalan, pengelolaan sampah tidak cukup untuk menyatukan semua kalangan masyarakat. Apalagi anggota NCC hanya perempuan. Pada tahun 2007, ia kemudian mendirikan sebuah grup tarian tradisional, dinamakan komunitas Al Hayah.
Ide membangun Al Hayah itu muncul karena Rubama menilai banyak tarian tradisional Aceh yang sudah dilupakan. Dengan membentuk komunitas tarian itu, pelatihnya juga warga Gampong Nusa secara turun-temurun.
ADVERTISEMENT
"Misalnya dia sudah bisa, dia harus melatih adiknya lagi. Dengan segala yang ada, kita melihat ini sebuah potensi desa yang harus kita garap," kata Rubama.
The Power of Village dari Nusa
Setelah terbentuk NCC dan Al Hayah, tahun 2005-2013, Gampong Nusa terus dikunjungi wisatawan. Banyak pelancong yang mengunjungi Gampong Nusa karena ingin belajar pengelolaan sampah dan melihat tarian tradisional.
Oleh karena itu, Rubama ingin menawarkan segala potensi di Gampong Nusa, sehingga menjadi desa wisata. Kala ia pertama mengusung konsep itu kepada masyarakat, banyak yang menertawakan dan mengutarakan rasa pesimis kepadanya.
"Banyak yang pesimis ketika mendengar konsep desa wisata. Ada yang bilang tidak mungkin. Karena orang masih melihat wisata itu hanya air terjun dan pantai. Sedangkan budaya dan semacamnya itu orang melihat bukan sebuah wisata," ujarnya.
Rubama dan rekannya promosi wisata di Gampong Nusa. Dok. Pribadi
Meski ada yang pesimis, tekadnya kuat. Ia mencari tahu konsep homestay atau penginapan untuk wisatawan. Pada tahun 2013, pencarian itu pun berbuah hasil, Rubama menemukan konsep Community Base Tourism (CBT) atau pengelolaan wisata berbasis masyarakat.
ADVERTISEMENT
CBT itu secara perdana menerima tamu dari Malaysia. Ada 7 keluarga yang mau menjadikan rumahnya sebagai homestay. "Jadi bukan rumah yang dibangun oleh investor," ujar dia.
Tamu dari Malaysia itu hanya membayar Rp 60 ribu per orang per malam. Seiring dibukanya homestay, angka kunjungan pelancong ke Gampong Nusa semakin menanjak. Per 2019, jumlah homestay bertambah menjadi 43 rumah.
Pada tahun 2015, Gampong Nusa kemudian secara resmi meluncurkan Saweu Nusa, desa wisata yang bergeraknya dari masyarakat, bukan pemerintah. Saweu Nusa dikelola oleh Lembaga Pariwisata Nusa (LPN) yang diketuai Rubama. Lembaga ini hanya bermodalkan surat keputusan (SK) dari keuchik (kepala desa).
Wisata yang dijual kepada pelancong adalah retro Aceh, misalnya makanan-makanan dan tarian tradisional Aceh. Selain itu, setiap Desember, kampung itu juga menggelar Nusa Festival. Dalam perjalanannya, Nusa Festival menjadi media kampanye Gampong.
ADVERTISEMENT
Wisata di Gampong Nusa fokus pada dua bidang yaitu meningkatkan ekonomi masyarakat, dan menjaga lingkungan. Salah satu konsep menjaga lingkungan seperti tidak boleh menggunakan air conditioner (AC).
"AC itu bukan budaya kita dan juga tidak ramah lingkungan. Kalau ingin ke kampung ayo rasakan panas dingin suasana Gampong," tuturnya.
Kelompok tari Al Hayah, menjaga budaya di Gampong Nusa. Foto: Ahmad Ariska/acehkini
Rubama punya harapan besar. Dengan tangan dinginnya, ia ingin membangkitkan konsep the power of village di Gampong Nusa, yaitu kedaulatan ada pada tangan masyarakat Gampong. "Saya ingin membangkitkan gerakan-gerakan itu," ujarnya.
Dia belum beruntung, tidak mendapatkan awards dari Astra dalam program Satu Indonesia Awards 2017. Meski Rubama meraih apresiasi SATU Indonesia Awards tahun 2017 tingkat provinsi, tapi ia tetap semangat menjadi penggerak wisata Gampong Nusa.
ADVERTISEMENT
“Tapi yang penting bagi saya adalah terus bekerja memajukan daerah, mewujudkan cita-cita memandirikan Gampong,” ujarnya
Pro dan Kontra Wisata Nusa
Saweu Nusa sudah 4 tahun, hingga kini program desa wisata itu masih disambut pro, dan kontra di kalangan masyarakat. Misalnya pada tahun 2016, Rubama membuka Nusa Berkemah, yaitu camping di Gampong Nusa. Itu disambut sangat baik oleh pelancong.
Namun, kondisi itu berbanding terbalik dengan masyarakat setempat yang menganggap camping banyak maksiat. Bahkan saat itu, tuha peut (penasehat gampong) menggelar rapat di meunasah untuk membahas Nusa Berkemah.
Berkemah di Gampong Nusa, gagasan Rubama. Foto: Ahmad Ariska/acehkini
"Dalam rapat, mereka bilang kami membuat maksiat di dalam Gampong. Karena bercampur antara laki-laki dan perempuan akan terjadi hal-hal yang tidak kita inginkan. Sehingga saat itu pengurus LPN menjelaskan, coba kasih kesempatan ke kami," terang Rubama.
ADVERTISEMENT
Pengurus LPN menjelaskan dengan baik kepada masyarakat Gampong. Misalnya di bidang keamanan, menyerahkannya kepada pemuda Gampong, sehingga terhindar dari maksiat. "Akhirnya dikasih kesempatan. Meski sampai saat ini masih ada juga yang menganggap itu maksiat," ujarnya.
Hingga kini, masih banyak kendala dalam mengubah pemikiran masyarakat terbuka. Rubama masih punya mimpi, yaitu menjadikan Gampong Nusa mandiri dari budaya, wisata, ekonomi, dan lainnya.
Menurut Rubama, jika semua sumber daya alam dikelola dengan baik, maka Gampong Nusa tidak perlu dana desa.
[]
Parade pakaian dari sampah koran dan plastik, kreasi Gampong Nusa menarik wisatawan. Foto: Juen JR untuk acehkini
---
Seiring dengan semangat Sumpah Pemuda, PT Astra International Tbk mempersembahkan 10th Semangat Astra Terpadu Untuk (SATU) Indonesia Awards 2019 bagi generasi muda yang tak kenal lelah memberi manfaat bagi masyarakat di seluruh penjuru tanah air.
ADVERTISEMENT
Apresiasi diberikan kepada anak bangsa atas setiap perjuangan di bidang: Kesehatan, Pendidikan, Lingkungan, Kewirausahaan, Teknologi serta satu kategori yaitu kelompok yang mewakili kelima bidang tersebut.
Anda dapat mendaftarkan kandidat peraih penghargaan ini dengan cara klik di sini.
Reporter: Habil Razali, Adi W