Kisah Smong Simeulue 1907, Meredam Kematian di Bencana Berikutnya

Konten Media Partner
4 Januari 2020 19:40 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Kepulauan Simeulue. Foto: Adi Warsidi
zoom-in-whitePerbesar
Kepulauan Simeulue. Foto: Adi Warsidi
Hari ini tepat 113 tahun lalu, tak ada peringatan apa pun untuk mengenang bencana yang mewariskan ilmu siaga kepada seluruh warga Simeulue. “Tidak ada peringatan, mungkin sebagian sudah lupa waktu persis bencana smong itu. Tetapi yang pentingnya bagi warga Simeulue, sudah paham terkait kesiagaan bencana gempa dan Smong,” kata Abdul Karim, Kepala Dinas Pariwisata Simeulu kepada acehkini, Sabtu (4/1/2020).
ADVERTISEMENT
Menurutnya, sampai kini masyarakat Simeulue menjaga kearifan lokal itu. Secara turun-temurun sejak Smong 1907, warga membuat syair dan cerita-cerita yang menjadi pengantar tidur anak-anak. Syair nandong (dendang) sebagian dimainkan dengan alat musik, masuk dalam kegiatan seni budaya masyarakat.
Kearifan lokal tentang smong mulai dibangkitkan kembali secara besar-besaran, setelah tsunami melanda Aceh, pada 26 Desember 2004. Saat terjadinya gempa 9,2 Skala Richter yang berpusat tak jauh dari Kepulauan Simeulue, orang-orang di sana berlari ke bukit.
Salah satu kawasan di Simeulue. Foto: Adi Warsidi
Tsunami kemudian ikut menghantam Simeulue, tapi hanya 6 orang yang menjadi korban. Itu pun karena terkena reruntuhan bangunan saat gempa. Padahal sebanyak 2.000 lebih rumah hancur disapu gelombang smong.
Abdul Karim menjelaskan, Smong 1907 telah menjadi pelajaran berharga bagi warga Simeulue. Banyak pihak kemudian meneliti dan menuliskan kearifan lokal tersebut usai Tsunami 2004. Di Simeuleu, kisah-kisah ini telah ditulis menjadi bahan pembelajaran bagi siswa-siswa di Sekolah. “Semua sekolah di Simeulue dibagikan buku smong, untuk dipelajari. Bagian dari membangun kesadaran bencana,” sebutnya.
Kantor Bupati Simeulue. Foto: Adi Warsidi
Kendati masuk wilayah Aceh, karakter sosial budaya dan politik di Simeulu berbeda dengan wilayah Aceh daratan. Bahasa yang digunakan di sana juga berbeda. Saat tsunami 2004, siaga berlatar smong dan tsunami purba di Aceh lainnya, tak menjadi kearifan lokal di sebagian besar wilayah Aceh daratan. Tsunami 15 tahun lalu kemudian mengakibatkan sebanyak 200 ribu lebih warga menjadi korban.
ADVERTISEMENT
Bertemu Saksi Smong 1907 Pertengahan Maret 2013, aku berkesempatan bertemu dengan seorang saksi Smong 1907. Nek Rukiah namanya, warga Desa Salur, Kecamatan Teupah Barat, jaraknya sekitar 20 kilometer Kota Sinabang, Ibukota Simeulu.
Aku sempat bertanya kepada Abdul Karim, apakah beliau masih hidup. “Nek Rukiah, saksi smong masih ada hingga kini,” katanya. Umurnya saat ini sekitar 119 tahun.
Bersama Nek Rukiah, Maret 2013. Dok. Pribadi
Saat aku menemuinya Maret 2013 lalu, Nek Rukiah masih berbicara lancar, matanya awas mengenali tamu yang datang. Kulitnya sudah keriput tapi masih kuat berjalan. Terbungkuk-bungkuk tanpa tongkat,
Aku ditemani seorang kerabatnya, Nurliani, yang tinggal seratusan meter dari rumah Nek Rukiah, serta seorang warga setempat, Samsuar. Rukiah tinggal seorang diri di rumah kayu yang berbatas bukit dan hamparan sawah di depannya.
ADVERTISEMENT
“Ingatan saya tak kuat lagi, saya masih kecil mungkin lima atau enam tahun," katanya saat bercerita tentang Smong 1907. Tapi, dia masih ingat betul kala dibawa lari oleh orangtuanya ke bukit, waktu tsunami menggada tempat kawasannya.
Lokasi rumah Nek Rukiah di Desa Salur, Simeulue. Foto: Adi Warsidi
Dalam bahasa Simeulu, Rukiah menjelaskan saat itu gempa besar melanda. Orang-orang panik, tapi tak berusaha menjauh dari laut. Malah mendekat mengambil ikan-ikan yang menggelepar. Lalu, air naik, dia yang masih anak-anak digendong bapaknya berlari ke bukit. Mereka selamat.
Kata Rukiah, dari cerita yang didengar saat beranjak remaja, ribuan orang menjadi korban waktu itu. “Kisah-kisah itulah kemudian yang diceritakan dan menyebar kepada anak-anak,” ujarnya. Rukiah sendiri tak lupa menurunkan kisah kepada anak-cucunya.
Dia juga mengingat, saat itu seekor paus besar terdampar masuk ke aliran sungai. Oleh warga, setelah air surut ikan besar itu dikembalikan ke laut. “Kami dulu sangat menghormati ikan itu, dulu paus diyakini suka menolong manusia.”
Nek Rukiah di rumahnya. Foto: Adi Warsidi
Kata ‘smong’ dan kejadian tsunami 1907, pernah ditulis dalam buku Martinusnijhof, S-Gravenhage, tahun 1916, oleh penulis Belanda. Saat itu Simeulue masih di bawah kekuasaan kolonial Belanda. Nek Rukiah juga masih mampu mengingat masa kolonial Belanda dan Jepang di Simeulu. “Saat itu kami masih makan sagu,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
Nurliani, kerabatnya mengakui mendengar kisah-kisah tsunami 1907 dari kecil. Karenanya, saat gempa besar yang disusul tsunami pada 26 Desember 2004 lalu, seluruh warga Simeulu berlari ke bukit. Lebih dari 2.000 ribu rumah hancur, tapi hanya 6 orang yang meninggal di sana. “Cerita smong dulu sempat kami tak hiraukan, baru saat smong 2004, kami mempercayainya,” ujar Nurliani.
Nurliani mengakui melahirkan anak bungsunya saat tsunami 2004. Anak itu diberi nama Putra Smong. “Neneknya (Rukiah) yang memberi nama itu,” ujarnya.
Kisah dua kejadian smong, 1907 dan 2004, masih diceritakan di Simeulu hingga kini. Pulau seluas 199.502 hektar dengan gugusan 40 pulau kecil yang mengitarinya, dihuni oleh sekitar 85 ribu penduduk. Bencana gempa biasa dialami warga di sana, karena wilayahnya terletak pada pertemuan lempeng Asia, Australia dan Samudera Hindia.
Batu coral laut yang terbawa Smong 1907 di persawahan warga Simeulue. Foto: Adi Warsidi
Satu bait cerita yang kerap terdengar di Simeulue, diturunkan ke anak-cucu sebagai kearifan lokal dalam mitigasi bencana; Anga linon ne mali, uwek suruik sahuli, Maheya mihawali fano me singa tenggi, Edesmong kahanne (Jika gempanya kuat, disusul air yang surut, segeralah cari tempat kalian yang lebih tinggi, Itulah smong namanya).
ADVERTISEMENT
Syair Nandong Pengingat Smong Alunan gendang bertalu bersautan mengalahkan ombak siang yang bergerak malas menepuk bibir pantai Desa Dihit, Simeulu Tengah. Belasan lelaki dewasa bergantian bernyanyi dengan irama naik turun, melafalkan syair nandong (dendang), sarat pesan tentang kearifan lokal yang berlaku di pulau itu. Puluhan anak-anak menonton sesekali menyahut.
Mendendangkan syair nandong tentang Smong di Simuelue. Foto: Adi Warsidi
Alunan syair itu ikut kudengarkan saat berada di Simeuleu, Maret 2013, dinyanyikan oleh sebuah sanggar seni Maredem Maso, yang digagas kepada Desa Dihit saat itu, Labuan Sani. “Ini bagian dari merawat kisah turun temurun tentang smong, setelah tsunami besar Desember 2004 silam,” katanya.
Dengan sanggar seni, sosialisasi tentang siaga bencana disalurkan lebih luas saat pesta dan pentas-pentas, tak hanya sekadar dendang penidur anak.
Ber-nandong mengingatkan siaga bencana. Foto: Adi Warsidi
Diiringi gendang, Labuan Sani dan rekan-rekannya menggeleng-geleng kepalanya dengan urat leher membesar, ber-nandong dalam bahasa Simeulue.
ADVERTISEMENT
Aher tahon duo ribu ampek (Akhir tahun dua ribu empat) Akduon mesa singa mangila (Tak seorang pun yang mengetahui) Pekeranta rusuh masarek (Pikiran kita kalut semua) Aceh fulawan nitimpo musibah (Aceh emas ditimpa musibah)
Sumeneng bano tandone linon (Senyap alam tandanya akan gempa) Huru-hara ata bak kampong (Huru hara orang dalam desa) Mataot ata mangida smong (Takut akan datang tsunami) bakdo nga tantu bano humoddong (Tidak tentu arah berlarian)
Huru-hara ata bak kampong (Huru hara orang dalam desa) Mataot ata smong ne mali (Takut orang tsunami besar) Molo ngang tantu bano humoddong (Sudah tentu tempat berlari) Delok sibau rok tanggo basi (Gunung Sibao di tangga besi).
Simeuleu tak hanya kisah bencana. Wilayah itu juga memiliki pesona luar biasa, dengan ombak-ombak tinggi dan pantai-pantai berpasir putih, yang menarik para peselancar serta wisatawan. Wilayah ini, menjadi salah satu kawasan wisata andalan di Aceh. []
ADVERTISEMENT