Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten Media Partner
Kisah Srikandi Aceh Cut Nurasyikin, Curhat Terakhir dari Penjara (2)
21 Januari 2020 14:44 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
ADVERTISEMENT
Setelah 15 Tahun Tsunami, aku tak bisa membuang kenangan tentang Cut Nurasyikin, salah satu tokoh perempuan paling berpengaruh di Aceh saat konflik masih mendera . Dikenal sebagai ‘Srikandi Aceh’ beliau vokal bicara soal menghentikan perang, juga kerap mendorong gerakan referendum, memberikan kesempatan kepada rakyat Aceh menentukan nasibnya sendiri.
ADVERTISEMENT
Kerenanya, Cut Nurasyikin ditangkap pada 20 Mei 2003, divonis 11 tahun penjara dengan tuduhan makar, dianggap terlibat Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Beliau menghembuskan nafas terakhir di Lembaga Pemasyarakat (LP) perempuan di Lhoknga, Aceh Besar, saat tsunami Aceh 26 Desember 2004 meratakan kawasan itu.
Aku kerap berjumpa dengannya saat konflik Aceh mendera, bahkan selama beliau di penjara. Kami rutin bertemu sepanjang Juni-September 2004, 3 bulan sebelum tsunami menghumbalang Aceh. Saat itu, aku mendapat tugas melakukan investigasi ke sana, untuk laporan Majalah ACEHKITA, yang dipimpin Dandhy Dwi Laksono.
Meliput di penjara semasa konflik bukan perkara mudah. Mengurus izin sangat sulit, belum lagi embel-embel pengawasan yang dilakukan para sipir dan aparat keamanan yang berjaga di sana. Salah satu cara masuk adalah diam-diam menyamar, dan ini memungkinkan dari sisi jurnalistik.
Aku kenal dekat dengan sepupu Cut Nurasyikin, bernama Cut Asmaul Husna, seorang aktivis dan jurnalis. Maka setelah menyusun strategi, kami masuk ke sana rutin dua kali sebulan pada akhir pekan laiknya kerabat beliau. Membawa oleh-oleh, roti, buah-buahan atau apa pun yang dipesan. Cut Nur bisa berhubungan ke luar dengan telepon selular yang dipakainya diam-diam.
ADVERTISEMENT
Saban masuk ke penjara, melihat para penghuninya melakukan aktivitas. Tempat tersebut terbagi dua, satu untuk laki-laki dan satu lagi untuk perempuan. Sebuah tembok tinggi memisahkan mereka.
Di ruang tahanan perempuan, aku telah cukup dikenal oleh mereka. “Bang, makan di sini ya. Hari ini kami memasak,” kata seorang tahanan, saat aku dan Cut Husna menyapa mereka menjelang siang, Minggu, 1 Agustus 2004.
Memasak dilakukan sebagian perempuan yang tidak doyan terhadap menu yang disediakan di penjara. Sebagian yang lain terlihat sedang bercanda sambil merajut sulaman dan juga membaca koran-koran dan buku-buku.
Saat itu, ada seorang bayi 5 bulan yang disayangi semua penghuni. Anak itu bernama Raja, yang lahir dari rahim Mutia, seorang narapidana yang dijerat dengan pasal makar. Dia salah satu yang tak tersentuh tsumami, karena masa tahanannya berakhir pada Oktober 2004. Baca kisah berikut:
ADVERTISEMENT
Perempuan penghuni penjara saat itu tercatat 51 orang, 80 persen di antaranya adalah tahanan politik yang berasal dari berbagai daerah di Aceh. “Mereka ada yang istri GAM, Pasukan Inong Balee, dan ada yang terlibat dengan narkoba,” kisah Cut Nur, yang dianggap sebagai ibu bagi para penghuni lainnya.
Di awal Agustus 2004 itu, Cut Nur terlihat bugar, sedang mempersiapkan makan siangnya. Berbaju biru dipadu dengan celana dan jilbab hitam, Cut Nur menyambut ku ramah. Gaya bicaranya bersemangat, bahasa Indonesia diselingi bahasa Aceh begitu tegas. Kadang-kadang, canda jadi selingan untuk melepaskan ketegangan.
Untuk kesekian kalinya, dia menyampaikan perasaannya. Dia mengaku puas dengan apa yang dialaminya sekarang. Hal itu diakuinya karena yang dia perjuangkan adalah rakyat. Walaupun begitu, Cut Nur merasa tidak bersalah dan dilecehkan oleh hukum.
ADVERTISEMENT
Cut Nur mengatakan tidak pernah terlibat GAM, tidak pernah sebagai pasukan di lapangan dan juga bergabung dengan Inong Balee (pasukan perempuan GAM). Dia hanya berkecimpung sebagai salah seorang aktivis LSM untuk kemanusiaan. “Saya bukan sebagai pasukan Inong Balee, satu pun dari mereka tidak kenal saya, bagaimana saya disebut sebagai Inong Balee,” sebut Cut Nur.
“Dengan hukuman ini, saya ambil hikmahnya saja dan saya akan lebih keras menyuarakan tentang kemanusiaan di Aceh. Mungkin kalau tidak mendekam di penjara, saya sudah bergabung dengan GAM,” sebutnya menggebu-gebu.
Menurutnya, penahanannya adalah sebagai upaya untuk membuat rakyat Aceh dan para aktivis ‘shock’ dalam usaha mereka memperjuangkan nasib rakyat Aceh. Cut Nur menilai, itu adalah salah satu upaya Indonesia untuk mematikan aspirasi rakyat Aceh.
ADVERTISEMENT
“Kalau dihukum mati pun, saya tidak masalah. Hidup untuk perjuangan dan mati untuk surga,” sebut Cut Nut berfilsafat.
Cut Nur juga menilai kalau Darurat Militer (DM) yang pernah dilaksanakan di Aceh adalah lebih parah dari masa DOM (Daerah Operasi Militer) dulu. Dia menilai DM dan DS (Desentralisasi Asimetris) adalah proyek pemerintah untuk memperkaya pejabat di Aceh.
“Lihat berapa banyak korupsi di Aceh selama itu, Indonesia memang tidak punya niat baik terhadap Aceh,” sebutnya kala itu.
Mengenai niat baik tersebut, Cut Nur juga menuntut janji Presiden Indonesia pada masa itu, Megawati Soekarnoputri, dulunya ketika ia belum naik sebagai presiden. Mega pernah berkata, kalau menjadi presiden, tidak akan membiarkan satu tetes darah pun tumpah di bumi Aceh.
ADVERTISEMENT
Kata itu disampaikan Ibu Megawati saat berkampanye jelang Pemilu 1999 di hadapan ribuan masyarakat Aceh di Blang Padang, Banda Aceh, 30 Juli 1999. Seraya menangis, beliau berkata “Untuk rakyat Aceh, percayalah, jika Cut Nyak menjadi presiden, tak akan membiarkan setetes pun darah tumpah di Tanah Rencong.”
Di Rumah Tahanan tersebut, Cut Nur mengisi hari-harinya dengan menjahit, mengikuti pengajian dan juga bermain. “Saya masih kuat bermain voli”.
Dia merasa kesepian dengan kehidupan di sana. “Merindukan hidup bebas seperti dulu, bisa kemana suka, bisa menyuarakan aspirasi rakyat Aceh,” kisahnya.
Sebagai seorang manusia biasa, dia mengatakan sering sangat merindukan anak-anaknya dan cucunya. “Mereka kadang-kadang kemari dan di situlah saya melepaskan kerinduan,” sebutnya.
ADVERTISEMENT
“Kalau kita pikir ini adalah kepentingan rakyat, saya puas sekali, walaupun jengkel untuk pribadi,” tambahnya. Beliau mengakui sangat menginginkan masalah Aceh selesai dengan baik, tanpa perang, dan masyarakat dapat meraih kesejahteraan serta kemakmuran.
Konflik Aceh benar berhenti saat Pemerintah Indonesia dan GAM mencapai kesepakatan di Helsinki, Finlandia, 15 Agustus 2005. Harapan Cut Nurasyikin terkabul, kendati ia tak sempat menikmatinya karena tsunami menjemputnya lebih awal.
Siapa saja penghuni lain di LP Lhoknga, dan bagaimana kisah mereka? Simak kelanjutannya. [bersambung]