Kisah Tragedi Idi Cut, Aceh: Mereka yang Mengingat Pembantaian (3)

Konten Media Partner
10 Februari 2020 9:04 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Peringatan 21 tahun Tragedi Idi Cut di Yokyakarta. Dok. #DarahArakundo Jogja
zoom-in-whitePerbesar
Peringatan 21 tahun Tragedi Idi Cut di Yokyakarta. Dok. #DarahArakundo Jogja
Rafsanjani masih 6 tahun saat diajak ayahnya berkumpul di Jembatan Arakundo, Aceh Timur, 21 tahun lalu. Mereka berangkat dari tempat tinggalnya di Kabupaten Bireuen, menuju ke sana untuk memastikan Abdul, salah seorang kerabat dalam Tragedi Idi Cut atau dikenal juga sebagai Tragedi Arakundo.
ADVERTISEMENT
Mereka berkumpul bersama ribuan warga yang telah memenuhi Jembatan Arakundo, dua hari setelah Rabu dinihari laknat itu, 3 Februari 1999. Orang-orang ditembaki, lalu sebagian korban dibuang ke sungai. “Mayat paman saya itu salah satu yang ditemukan di Sungai Arakundo,” kisah Rafsanjani kepada acehkini, Minggu (9/2/2020).
Usianya masih anak-anak, tak terlalu paham apa yang terjadi sebenarnya. Di depan matanya, orang-orang menangis, begitu mayat ditemukan. Suasana histeris, orang-orang berteriak gaduh, kalimat takbir bergema di mana-mana.
Rafsanjani paham Tragedi Idi Cut setelah belasan tahun kemudian. Dia yang kuliah di salah satu kampus di Banda Aceh, tak bisa melupakan begitu saja peristiwa tersebut. “Saya ikut aksi kemarin karena alasan tersebut,” katanya.
Aksi yang dimaksud berlangsung pada 3 Februari 2020, digelar aktivis dan mahasiswa Aceh mengatasnamakan dirinya Daulat Rakyat Aceh untuk Arakundo (#DarahArakundo). Berlangsung serentak di empat kota; Banda Aceh, Lhokseumawe, Padang dan Yokyakarta untuk peringatan 21 tahun Tragedi Idi Cut. Rafsanjani terlibat dalam aksi di Banda Aceh.
Pencarian mayat di Krueng Arakundo, Februari 1999. Dok. Koalisi NGO HAM Aceh
“Saya hanya berharap kejelasan terhadap kasus tersebut, untuk penegakan HAM dan pengusutan kasus. Ini harus dilakukan pemerintah untuk mengungkap kekerasan dan pelanggaran HAM masa lalu Aceh,” katanya.
ADVERTISEMENT
Koordinator KontraS Aceh, Hendra Saputra, mengatakan status penegakan hukum atas kasus Arakundo, tidak jelas sampai sekarang. Padahal kasus ini sudah sangat jelas, terjadi penembakan, pembantaian dan pembuangan mayat warga di sungai Arakundo. “Harapannya, pemerintah dalam mengusut kasus ini sampai tuntas dan membukanya ke publik, juga mendorong dibuatkan tugu memorialisasi, untuk mengenang peristiwa berdarah itu,” katanya.
Dalam catatan KontraS dan Amensty International, Tragedi Idi Cut merupakan salah satu dari lima kasus yang direkomendasikan untuk diadili dengan segera oleh Komisi Independen untuk Pengusutan Tindak Kekerasan di Aceh, pada Juli 1999. Komisi itu dibentuk semasa Presiden BJ Habibie memimpin Indonesia. Walaupun Jaksa Agung kemudian melakukan investigasi terhadap kasus itu pada November 1999, namun sampai kini tidak ada satu pun anggota pasukan keamanan yang sudah dihadapkan ke pengadilan karena kejahatan serius yang terjadi kala itu.
ADVERTISEMENT
Bagaimana tragedi itu sebenarnya terjadi?
Cover buku Fakta Bicara, Akmal Van Roem/Dok. Koalisi NGO HAM Aceh

Kesaksian Ketiga

Zarkasyi bersama adiknya Usman, saat itu masih duduk di kelas 2 dan 3 Sekolah Menengah Pertama (SMP). Malam itu mereka pulang dari lokasi dakwah agam dengan menggunakan sepeda. Ia juga melihat masyarakat yang rumahnya jauh dari lokasi ceramah sedang menunggu kendaraan.
Di Simpang Kuala, tiba-tiba masyarakat diserang dari arah Komando Rayon Militer (Koramil) Idi Rayeuk. Mendengar suara tembakan, Zarkasyi panik, masuk ke parit menyelamatkan diri. Tapi aparat yang melakukan penembakan menarik paksa beberapa masyarakat yang bersembunyi di parit, termasuk Zarkasyi.
ADVERTISEMENT
Setelah keluar dari parit, kepalanya ditendang. Tentara melemparnya ke jalan. Tentara juga menembak kendaraan di jalan. Serpihan peluru yang ditembakkan mengenai Zarkasyi. “Keunong serpihan jih bak punggong lon. Nyankeuh nyan gadoh asoe punggong lon (Kena serpihannya di pantat saya, itu sebabnya luka di pantat saya).”
Kemudian ia dipukuli, ditampar dan diinjak-injak. Tulang rusuknya patah. Setelah dianiaya, tentara melemparnya ke dalam truk. Zarkasyi sempat melihat warga lain yang masih bersembunyi di dalam parit dipaksa keluar dan dilempar ke dalam truk. Di dalam mobil, mereka masih mendapat pukulan dengan tali pinggang dan popor senjata.
Sedangkan Usman tidak sempat dimasukkan ke truk. Setelah dipukul dan diijak-injak, Usman dilempar ke sebelah parit. Sebelumnya Usman sempat berteriak memanggil Zarkasyi karena ia melihat abangnya diangkut tentara.
ADVERTISEMENT
Zarkasyi yang kondisinya sudah sangat lemah hanya dapat memandang Usman dari balik truk. Melihat abangnya dibawa, Usman tidak dapat berbuat apa-apa. Ia kemudian lari ke dalam hutan. Keesokan harinya Usman baru berani pulang ke rumah. Di rumah, ia menceritakan semua yang mereka alami dan mengatakan abangnya dibawa tentara.
Abang ka hana le (abang sudah tidak ada),” ujar Usman waktu itu kepada orang tuanya.
Malam itu Zarkasyi dibawa ke kantor Komando Rayon Militer (Koramil). Keesokan harinya ia baru dibawa ke kantor Polisi Resort (Polres) Langsa. Zarkasyi dimintai keterangan mengenai keikutsertaannya mendengar ceramah.
Kemudian ia dibebaskan dan pulang sendiri ke rumahnya. Usai konflik Aceh, dia merantau ke Aceh Besar bersama sang adik. Dia pernah mengikuti beberapa pertemuan terkait korban yang diadakan Koalisi NGO-HAM Aceh
ADVERTISEMENT
***
Malam kejadian, Tgk Dahlan alias Abu Panton, mengisi ceramah agama. Dia mengatakan bahwa dakwah yang mereka lakukan waktu itu memang untuk perjuangan Aceh Merdeka. Kegiatan tersebut untuk memberitahu masyarakat tentang perjuangan tersebut. “Dasar kegiatannya, meupeuget dakwahnya kareuna na saboh reuncana untuk meuprang (dasar kegiatan tersebut, membuat dakwah karena ada rencana berperang).”
Kegiatan tersebut yang keempat kalinya dilakukan di desa berbeda. Pertama di Desa Kaseh Sayang, Desa Pulo, Alue Meurebo, Kemuneng dan tragedi tersebut terjadi ketika ceramah di Desa Matang Ulim, Meunasah Blang.
“Isi ceramahnya ingin bebas, ingin pisah dari Indonesia. Apalagi kita tahu sejarah, bahwa Aceh memang negara merdeka. Otomatis kami masuk dalam struktur GAM, itu kami lakukan tanpa paksaan, atas inisiatif sendiri,” ujar Syukri Budiman, salah seorang panitia acara.
ADVERTISEMENT
Menurut Syukri, selain yang meninggal dan dibuang ke Arakundo, malam itu aparat membawa 59 orang untuk diperiksa ke Polres Langsa. Keesokan harinya, tentara kembali membawa 12 orang lagi, mereka semua ditanyai keikutsertaan dalam ceramah tersebut.
Aktivis mengusung spanduk saat peringatan 21 tahun Tragedi Arakundo, di Simpang Lima, Banda Aceh. Foto: Suparta/acehkini
Setelah semua dibebaskan, hanya tinggal tiga orang yang memang terlibat dalam penyelenggaraan acara, yaitu Rizzaman alias Tengku Bagok, Tgk Dahlan alias Abu Panton dan Syukri Budiman.
Mereka kemudian diproses dan diajukan ke pengadilan. Namun proses tersebut terhalang karena konflik yang terus memanas. Selanjutnya, Presiden BJ Habibie mengeluarkan kebijakan pembebasan tahanan politik. Mereka bebas. [tamat]