Kisah Tragis Letnan Luske, Hidup Cacat Berbekas Luka Bacok Kelewang Aceh (12)

Konten Media Partner
14 November 2021 10:20 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Dalam kisah-kisah perang gerilya di Aceh untuk mengusir penjajah kolonial Belanda, senjata tajam untuk bertempur jarak dekat seperti pedang, kelewang dan rencong hampir tak terpisahkan, selalu dibawa serta.
Seorang pejuang Aceh (tengah) dengan kelewang. Dok. KITLV
Kelewang hampir tak bisa dibedakan dengan pedang. Senjata ini juga disebut pedang panjang khas Aceh, mirip golok dan pedang Turki dengan bagian ujung yang sedikit lebih besar dari bagian pangkalnya. Kelewang tak memakai sarung. Pejuang Aceh biasanya menyelipkan di balik tali atau kain pengikat pinggang.
ADVERTISEMENT
Sejarah penggunaan kelewang saat invasi Belanda ke Aceh banyak tertulis. Salah satunya dalam cerita perang jarak dekat di kawasan Blang Bintang, Aceh Besar. Seorang perwira Belanda, Letnan Schoemaker menyaksikan langsung peristiwa itu. Senapan, kelewang dan rencong menjadi senjata andalan orang Aceh saat menyerang. Korban dari kedua pihak muncul, kelewang pejuang Aceh telah membuat Letnan Luske cacat seumur.
Schoemaker dalam Tjerita-Tjerita dari Atjeh (1891) menulis, berawal dari suatu pagi, 29 Juni 1882, dari benteng di Tungkop, keluar satu datasemen dengan kekuatan dua opsir dan 70 serdadu. Serdadu-serdadu bersenjata itu harus menjaga 200 kuli Cina yang bekerja membuka jalan dari Tungkop hingga ke kawasan Blang Bintang.
Sejak jalan itu mulai dikerjakan, setiap hari ada saja penyerangan terhadap pekerja dan serdadu Belanda. Karena itu, satu datasemen pasukan Belanda melakukan patroli di sana. Pembukaan jalan oleh kuli Cina sudah sampai ke Cot Rang, selanjutnya akan diteruskan sampai ke pasar kampung itu hingga ke Gampong (desa) Bong Djala (Bueng Cala), tempat sering berkumpulnya pejuang Aceh dari kelompok Teuku Nyak Hasan.
ADVERTISEMENT
Letnan Everst yang memimpin pasukan Hoofdtroep ditugaskan untuk melakukan pengamanan berlapis dengan tiga kelompok. Di muka jalan ada pasukan Voorhoede yang dipimpin oleh Letnan Dua Luske. Di belakang pasukan itu kuli bekerja dan diawasi secara ketat oleh para mandor, di kiri kanan serdadu-serdadu Belanda melakukan patroli hilir mudik.
Sampai kira-kita setengah jam pekerjaan dimulai, tiba-tiba patroli sebelah kiri ditembaki oleh pejuang Aceh dari pinggir kampung. Letnan Luske memerintah pasukannya untuk sembunyi, dan merapat. Suasana panik.
Kelewang koleksi Museum Aceh. Foto: Suparta/acehkini
Satu tembakan dari pejuang Aceh mengenai lengan kiri Letnan Luske, kemudian tembakan lainnya mengenai lengan kanannya. Ia tetap berdiri, dan terus memberi aba-aba kepada pasukannya, namun tembakan ketiga mengenai pahanya, ia jatuh.
Pasukan Aceh terus maju, melihat itu, serdadu Kompeni Belanda dari barisan Hoofdtroep datang membantu Letnan Luske. Begitu juga dengan Letnan Everst yang bertindak sebagai komandan, melihat Letnan Luske rebah ditembak pejuang Aceh, ia berlari untuk menyelamatkannya dan membawa ke belakang pasukan.
ADVERTISEMENT
Pejuang-pejuang Aceh terus maju dan semakin banyak jumlahnya, melihat itu para serdadu Belanda ketakutan, para opsir (perwira) mencoba meyakinkan mereka untuk bertahan dan membalas tembakan, tapi karena para kuli Cina yang terus berteriak minta tolong dan lari kocar-kacir, serdadu-serdadu juga ikut melarikan diri.
Kepanikan terus melanda pasukan Belanda, Letnan Luske yang terkena tiga tembakan semakin lemah, ia banyak kehilangan darah, tapi terus mencoba berjalan di belakang pasukan untuk menyelamatkan diri. Tapi ia tertinggal di belakang, semua pasukannya sudah lari.
Letnan Luske ditangkap pejuang Aceh, kepalanya dihamtam dua kali dengan kelewang. Dia memakai helm membuat kepalanya tidak luka. Ia jatuh di sebelah kiri jalan, menyandarkan badannya di pagar berduri. Ia tidak dipedulikan lagi, pejuang Aceh terus mengejar para serdadu kompeni dan kuli Cina yang lari dari kancah perang itu.
ADVERTISEMENT
Petaka benar-benar melanda Letnan Luske, badannya dibacok berkali-kali dengan kelewang. Ia mencoba meraih pistol, tapi kedua tangannya yang sudah kena tembak tak mampu digerakkan lagi. Melihat usaha Letnan Luske untuk meraih pistol itu, seorang pejuang Aceh membacok tangannya.
Kuburan penulis kisah tersebut, Letnan Schoemaker di Kompleks Kerkhof Peucut Banda Aceh. Foto: Suparta/acehkini
Tentang peristiwa itu Letnan Schoemaker menulis: “Orang Aceh tidak berhenti pukul dan bacok letnan itu. Tiga luka terkena tembak, 23 luka dari kelewang. Begini rupa orang Aceh kasih tinggal dia.”
Letnan Luske dibiarkan tergeletak begitu saja, orang Aceh sengaja tidak membunuhnya hingga mati, mereka lebih suka meninggalkan korbannya dalam keadaan sekarat, untuk memberi contoh kepada para serdadu Belanda, agar mentalnya jatuh.
Selanjutnya, selama 11 bulan Letnan Luske dirawat di Benteng Tungkop, dan selama tiga bulan pertama ia tidak sadarkan diri. Tubuhnya yang dibalut perban menjadi perhatian prajurit Belanda seisi benteng itu, banyak mereka yang menangis.
ADVERTISEMENT
Setelah 11 bulan perawatan di sana, Letnan Luske dikirim kembali ke Belanda untuk menjalani perawatan yang lebih baik. Setelah dua tahun, ia sudah bisa berjalan kembali, meski harus memakai tongkat. Trauma dari kelewang Aceh tak pernah hilang dari benaknya. []
Penyumbang bahan: Is Norman