Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten Media Partner
Kuah Beulangong, Penjaga Gizi dan Silaturahmi di Ujung Ramadan
31 Mei 2019 19:52 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:18 WIB
ADVERTISEMENT
Jelang siang, warga Gampong Gla Meunasah Baro, Kecamatan Krueng Barona Jaya, Aceh Besar, telah berkumpul di meunasah (surau). Mereka sibuk menyiapkan delapan belanga besar, untuk memasang daging lembu yang telah dibersihkan sebelumnya.
ADVERTISEMENT
Bumbu-bumbu telah disiapkan sedari pagi. Tak lama kemudian, bumbu, nangka muda, dan daging telah bersatu di belanga. Serbuk kayu menjadi tungku pemanas. Kuah Beulangong sedang disiapkan dan mereka tak sekadar memasak tapi juga menjaga tradisi yang telah berlangsung lama di Aceh.
“Ini tradisi saban penghujung Ramadan. Salah satu alasannya, biar warga makin kuat berpuasa sampai lebaran, setelah memakan daging bergizi,” kata Syarifudin, tokoh warga Gla Meunasah Baro kepada acehkini, Minggu (26/5).
Pak Din, sapaan akrab Syarifudin, mengatakan selama Ramadan mereka hanya satu hari memasak Kuah Beulangong. Jadwal juga disepakati dengan desa tetangga, agar pesta tak bentrok. “Karena ada saling mengundang untuk berbuka, antardesa tetangga,” katanya.
“Misalnya hari ini memasak di tempat kami, nanti kami undang tokoh desa tetangga untuk buka puasa bersama. Besok, desa tetangga yang buat akan mengundang kami,” jelasnya.
ADVERTISEMENT
Praktis selama sepuluh hari akhir Ramadan, para tokoh desa disibukkan dengan makan Kuah Beulangong tanpa henti. Saling mengunjungi menguatkan silaturahmi.
Pak Din menyebutkan, Kuah Beulangong dimasak dalam delapan belanga. Enam belanga dibagikan kepada warga, sementara dua lagi untuk berbuka bersama di meunasah. “Ada satu lembu yang disembelih,” katanya.
Tradisi memasak Kuah Beulangong di akhir Ramadan mudah ditemui di Aceh Besar dan Banda Aceh. Bersamaan dengan Gampong Gla di Aceh Besar, tradisi ini berlangsung di Gampong Lamglumpang, Kecamatan Ulee Kareng, Banda Aceh.
Di Lamglumpang warganya lebih banyak, sehingga harus disiapkan 24 belanga. “Selain untuk dibagi kepada warga berbuka di rumah, juga untuk berbuka di meunasah,” kata Antoni, Sekretaris Gampong Lamglumpang.
ADVERTISEMENT
Dinamakan Kuah Beulangong karena proses memasaknya dilakukan dalam belanga atau kuali besar. Tradisi umumnya berlangsung saat memperingati hari-hari besar agama, selain Ramadan, maulid serta pesta-pesta perkawinan. Di hari lain, Kuah Beulangong sebagai kuliner andalan Aceh mudah dijumpai di warung-warung makan umumnya di Banda Aceh dan Aceh Besar.
Kuah Beulangong, berbahan utama daging sapi atau kambing yang dipotong kecil, kemudian nangka muda atau pisang kapok dipotong sesuai selera. Bumbunya lumayan banyak, dari mulai kelapa gongseng, kelapa giling, cabai merah, cabai kering, cabai rawit, bawang putih, jahe, kunyit, ketumbar gongseng, kemiri, hingga lengkuas. Semuanya dihaluskan menjadi satu.
Jika bumbu sudah ada, memasaknya tak sukar. Daging dimasukkan dalam kuali, kemudian diaduk bersama bumbu dan garam hingga merata. Lalu air ditambahkan secukupnya sampai setengah matang. Selanjutnya potongan nangka muda dimasukkan dan air kembali ditambahkan sampai benar-benar masak. Yang perlu dijaga selanjutnya adalah pengadukannya, agar masaknya merata.
ADVERTISEMENT
Menjelang salat Asar, warga berbondong-bondong ke meunasah membawa wadah untuk menampung Kuah Beulangong. Berbuka di rumah, demi menjaga gizi di ujung Ramadan. Para tokoh dan pemuda berbuka di meunasah, sambil jalin silaturahmi. []
Reporter: Adi W