Kutukan Perang pada Sumur Minyak Warisan Belanda yang Meledak Lagi di Aceh Timur

Konten Media Partner
12 Maret 2022 17:35 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Sejarah mencatat, sumur minyak yang meledak dan terbakar lagi di Aceh Timur adalah warisan Belanda sejak masa kolonial. Dulu, penjajah mengambil minyak mentah sambil berperang.
Sumur minyak tradisional meledak dan terbakar di Rantau Peureulak, Aceh Timur. Dok, BPBA
Sebuah sumur minyak tradisional yang dikelola warga di Kecamatan Rantau Peureulak, Aceh Timur meledak dan terbakar lagi, Jumat kemarin. Api berhasil dipadamkan Sabtu dini hari (12/3/2022). Korban bermunculan, sementara dilaporkan satu meninggal dunia, dan dua lainnya dalam perawatan akibat luka bakar serius.
ADVERTISEMENT
Ledakan serupa yang lebih besar pernah terjadi pada 22 April 2018. Kala itu, insiden menewaskan 22 orang, puluhan lainnya luka-luka. Kejadian serupa juga terjadi berulang kali di tahun-tahun sebelumnya pada sumur-sumur minyak yang dikelola secara ilegal oleh warga.
Sumur-sumur minyak di sana punya riwayat panjang, sebuah warisan Belanda semasa perang kolonial. Belanda mengelolanya di tengah perlawanan pejuang kemerdekaan. Dalam buku De Atjeh Oorlog karya Paul Van’t Veer, soal sumur minyak di Aceh Timur ditulis dalam satu bagian tulisan berjudul “Minyak Bumi di Peureulak”.
Dulu, Kecamatan Rantau Peureulak (Ranto Peureulak) tempat sumur minyak terbakar itu tak dikenal. Wilayah itu masuk dalam peta Peureulak yang telah lama dicatat Belanda. Kecamatan Rantau Peureulak baru dikenal sejak 1991, setelah dimekarkan dari Kecamatan Peureulak sesuai Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 49 Tahun 1991.
ADVERTISEMENT
Kala Belanda berkuasa, sumur minyak awalnya dikenalkan seorang pengusaha tembakau di Langkat berdasarkan cerita penduduk Peureulak, tahun 1883. Minyak keluar begitu saja dari tanah, sementara warga belum paham menggunakan dan menggolahnya. Cerita itu menyebar terus sampai ke perusahaan minyak Belanda yang ada di Langkat, Maastchappij Koninklijke.
Salah satu sumur minyak diperkirakan di kawasan Rantau Peureulak sekarang, 1916. Dok. KITLV
Sultan Peureulak yang berkuasa di sana menjual konsesi area tersebut kepada Holland Perlak Petrolum Maatschappij pada 1895. Perusahaan kecil yang sengaja didirikan untuk maksud mengadu untung. Sementara untuk menggali sumur masih mimpi, di tengah perlawanan kaum pejuang.
Pada masa itu, sumur-sumur minyak di Langkat habis dan mengering. Saham perusahaan koninklijke jatuh dan mereka terancam bangkrut. Ini menjadi perhatian oleh Pemerintah Belanda untuk membantu mencari sumber baru di Tamiang, Langsa dan Peureulak.
ADVERTISEMENT
Setahun kemudian, Koninklijke mengutus salah seorang direkturnya, A Kessler untuk melobi Holland Maatschappij dan Sultan Peureulak menjual konsesi atas lokasi sumber minyak. Mereka berhasil mengambil alih dengan perjanjian mendapat sejumlah persenan jika sumur telah digali.
Perusahaan besar tersebut belum bisa berbuat banyak, karena perlawanan muncul di mana-mana. Lalu militer campur tangan mengirimkan kapal perang ke Peureulak, meminta Sultan membuka diri kepada Belanda memberdayakan dan menggali sumur minyak.
Ahli bor J.A.W. Zegelink dengan mesinnya di kawasan Peureulak, Aceh Timur, sekitar tahun 1920-an. Dok, KITLV

Perang dan Lobi-lobi Ekonomi

Kekacauan perang masih berlangsung. Pada Juli 1898, diadakan ekspedisi oleh Koloni Militer di bawah pimpinan Gubernur Van Heustz, yang datang sendiri dari Pidie ke Idi, lokasi dekat Peureulak. Di Idi, Van Heustz mendapat serangan dari pasukan Aceh yang dipimpin oleh ulama terkenal yang kebal peluru, Teungku Tapa. Belanda berhasil mematahkan serangan itu, pasukan Teungku Tapa mundur setelah korban muncul dari kedua pihak.
ADVERTISEMENT
Serangan itu membuat berang Van Heustz, menyalahkan Sultan Peureulak dan rekannya di Idi serta Simpang Ulim. Belanda mengenakan denda sejumlah 150.000 ringgit atau wilayah Peureulak direbut paksa. Sultan mengalah, baginya denda tak seberapa setelah mendapat bayaran konsesi dari perusahaan Koninklijke. Sebuah markas militer Belanda kemudian didirikan di Peureulak.
September 1899, Pemimpin Lapangan Maastchappij Koninklijke, Ir Hugo Loundon melakukan penyelidikan geologis di sana setelah mendapat izin Van Heustz. Lokasi sumur didapat jauh dari barak militer, selalu mendapat gangguan dari para pejuang. Perang Aceh bagi Belanda adalah sebuah kutukan.
Kilang minyak di Peureulak, 1916. Dok. KITV
Loundon melakukan lobi-lobi ekonomi, berjumpa para pejuang dan mengatakan bahwa perusahaan swasta tersebut beda dengan Pemerintah Militer Belanda, ini berhasil dan muluslah mereka. Dan pada Desember 1899, pengeboran dilakukan dan keluarlah minyak mentah, tinggal memikirkan pengolahannya saja.
ADVERTISEMENT
Kisruh sempat terjadi antara perusahaan swasta itu dengan Van Heustz. Perusahaan menginginkan dibangun pipa untuk mengalirkan minyak ke pabrik pengolahan di Langkat, sementara Van Heustz menginginkan pabrik pengolahan dibangun di sana untuk mengembangkan ekonomi Aceh.
Perusahaan Koninklijke menang atas kisruh itu, karena mereka mempunyai relasi baik dengan Batavia (Jakarta) dan Denhaag (Belanda). Dan pipa kemudian dipasang untuk mengolah minyak dengan cepat di Langkat, di pabrik minyak milik mereka sebelumnya. Koninklijke pada 1900 juga berhasil mengajak kerjasama perusahaan besar lainnya di dunia. Perusahaan itu kaya raya, konsesi juga diberikan kepada Sultan Peureulak dalam jumlah sedikit.
Van Heustz terus meyakinkan Pemerintah Belanda di Denhaag untuk membangun pabrik pengolahan minyak di Peureulak, tapi selalu gagal. Karena itu pula, sampai akhir jabatannya sebagai Gubernur Aceh, dia tidak diangkat menjadi Komisaris di perusahaan Koninklijke. Padahal itu sebuah tradisi sejak lama.
ADVERTISEMENT
Setelah Jepang menduduki Aceh, sumur-sumur minyak dikuasai mereka, sampai Kemerdekaan Indonesia. Begitulah awal kisah keberadaan sumur minyak di Peureulak, yang kemudian sempat dikelola beberapa perusahaan dalam negeri, dan sebagian sumur dikelola ilegal oleh warga. []
Note: sebagian materi tulisan ini pernah tayang di blog steemit saya, April 2018.