Konten Media Partner

Lapangan Blang Padang dan Tsunami Aceh: Mayat-mayat Bergelimpangan

25 Desember 2019 18:05 WIB
clock
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
comment
15
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Lapangan Blang Padang dengan pemandangan lau kawasan Ulee Lheu, Banda Aceh. Foto: Abdul Hadi/acehkini
zoom-in-whitePerbesar
Lapangan Blang Padang dengan pemandangan lau kawasan Ulee Lheu, Banda Aceh. Foto: Abdul Hadi/acehkini
Bunyi krak… kruk… mengirimkan sinyal kepada para kru dan jurnalis Radio Prima FM di kawasan Jalan K.H. Ahmad Dahlan, Banda Aceh, tepat pukul 07.58 WIB. Gempa pada Minggu pagi 26 Desember 2004 itu membuat guncangan hebat, membangunkan mereka yang terlelap di studio lantai dua, sebagian lagi di lantai tiga.
ADVERTISEMENT
Safri, jurnalis muda kala itu masih sempat memungut beberapa kaset lagu-lagu andalan yang berserakan, kaset lagu yang kerap mereka putar saat jeda menyiarkan berita-berita konflik Aceh. Radio Prima FM, jaringan 68H, menjadi salah satu radio favorit warga untuk mendengarkan berita-berita perang di Aceh. Maklum, para krunya kerap mewawancarai langsung sejumlah tokoh Gerakan Aceh Merdeka (GAM) saat itu.
Seluruh krunya turun ke luar gedung. “Kami ada beberapa orang yang menginap di studio, selain aku, ada Didin, Wak Gel dan lainnya,” kisah Safri, yang saat ini sebagai Kepala Stasiun Metro TV di Aceh.
Mereka beruntung keluar cepat. Guncangan gempa berkekuatan 9,2 Skala Richter, terasa sekitar 8-10 menit meruntuhkan pertokoan tempat Radio Prima FM berkantor. Rata tanah, seluruh perlengkapan radio, beberapa sepeda motor di lantai pertama hancur.
Pembersihan Kota Banda Aceh usai bencana, Rabu 29 Desember 2004. Dok. acehkita.com/dandhy
Safri, Didin dan Wak Gel berada di luar gedung menatap kosong kantor mereka yang remuk. Tak lama kemudian, orang-orang berlarian sambil meneriakkan, “air laut naik, air laut naik.” Safri kaget, tak percaya, masih berusaha melihat beberapa aset di bekar reruntuhan gedung. “Saya lalu melihat air keluar dari got, memenuhi jalan, ini serius,” kisahnya kepada acehkini, Kamis (25/12/2019).
ADVERTISEMENT
Mereka lalu berlari menyusuri jalan ke arah Lapangan Blang Padang, hanya 200 meter dari sana bersama warga lainnya. Wak Gel berada di depan, dia bekas mahasiswa pecinta alam dan hobi sepak bola, larinya kencang, meninggalkan Safri dan Didin di belakang. Mereka terpisah.
“Aku berhenti di sudut lapangan Blang Padang yang mulai dimasuki air. Ada pohon asam besar di bagian halaman Dinas Kesehatan Aceh. Orang-orang sudah naik ke sana saling tolong-menolong,” kata Safri.
Dia merapat ke pohon itu, membantu orang yang sudah duluan memanjat. Saat itu, air sudah di atas lututnya. Perlahan dia mencapai ke atas pohon bersama puluhan warga lainnya. Dari sana lah, Safri melihat bagaimana tsunami mengirim rumah-rumah, mobil, sepeda motor dan mayat-mayat ke Lapangan Blang Padang.
ADVERTISEMENT
Permukaan lapangan yang rendah dan terbuka, membuat air berkumpul di sana, mengirim apa pun yang diterjangnya. Lapangan itu berjarak sekitar 4 kilometer dari Laut Ulee Lheu. “Aku menyaksikan semua, terus berdoa,” katanya.
Monumen Pesawat Seulawah 001 di Blang Padang. Foto: Adi Warsidi/acehkini
Dia mengingat detail setinggi mana air di lapangan itu. “Ekor monumen Pesawat Seulawah 001, hanya nampak bagian ekornya saja, sesekali tampak bagian badan atas. Gedung RRI di samping lapangan, hanya terlihat sedikit lantai dua dan atap,” kisahnya.
Saat tsunami Aceh, Lapangan Blang Padang sedang ramai. Sebuah acara olahraga digelar di sana, Maraton Banda Aceh 10 K, yang dibuka langsung Plh Wali Kota Banda Aceh saat itu, Syarifuddin Latief. Bencana membuat sejumlah pelari meninggal, termasuk Plh Wali Kota. Jenazah Syarifuddin Latief ditemukan tiga pekan kemudian, di antara reruntuhan bangunan tak jauh dari Blang Padang. Jasad beliau dikenali oleh keluarga dengan beberapa ciri-ciri, lalu dimakamkan di kampung halamannya, Kabupaten Aceh Tamiang.
Gedung Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh (PDIA) yang hancur total akibat tsunami, foto diambil 22 Januari 2005. Dok. Adi Warsidi
Safri masih di atas pohon saat matahari mulai di atas kepala, air perlahan surut. Setelah merasa aman, dia turun melihat lebih jelas kondisi lapangan. Mayat-mayat berserakan. mobil-mobil, motor dan papan-papan rumah, bercampur pohon-pohon dan segala sampah lainnya.
ADVERTISEMENT
Dia berjalan tak tentu arah, mencari rekan-rekannya ke tempat yang lebih aman, yang tak tersentuh tsunami. Pikirannya kosong, sambil terus mengingat janjinya kepada Allah yang diucapkan di atas pohon asam. “Jika selamat, tak akan lagi meninggalkan salat.”
Lalu kemana Wak Didin dan Wak Gel? Mereka juga selamat dan hidup hingga kini. “Saya berlari kencang, memanjat pagar belakang rumah dinas Wakil Gubernur, terus ke Taman Sari, terus ke Pendopo Gubernur,” kisah Wak Gel.
Di sana, Wak Gel bertemu mobil truk TNI yang mengangkut orang-orang berlari ke arah Mata Ie, Aceh Besar. Dia menumpang mobil itu. Sementara Didin, kelelahan berrusaha memanjat sebuah tugu di Taman Putroe Phang, memeluk erat tugu itu. Air tsunami hanya menjilat bagian bawah tugu itu.
ADVERTISEMENT
***
Minggu pagi (1/12/2019), aku bergerak ke Lapangan Blang Padang bergabung bersama sekitar 3.000 warga lainnya. Sebuah agenda sedang berlangsung, ‘Rally Tsunami Pole” yang digelar Badan Penanggulangan Bencana Aceh (BPBA). Rute bersepeda dimulai dari sana, melintasi sejumlah situs tsunami di kawasan Kecamatan Meuraksa, lalu kembali ke lapangan itu.
Lapangan itu bersejarah, menjadi saksi banyak agenda besar, dari pameran, upacara peringatan hari besar nasional, latihan prajurit, sampai konser-konser pernah berlangsung di sana. Saban Sabtu dan Minggu, lokasi ramai dengan warga berolahraga.
Selain monumen Pesawat Seulawah 001, Lapangan Blang Padang mempunyai tugu ‘Thanks to the World’ yang dibangun sebagai ucapan terima kasih Aceh kepada para relawan yang membantu Aceh di masa rekontruksi dan rehabilitasi pascatsunami.
Tugu Thanks to the World. Foto: Suparta/acehkini
Bahkan tugu-tugu kecil juga dibangun khusus di sepanjang rute pejalan kaki di seliling lapangan. Tugu-tugu itu masing-masing berisikan ucapan terima kasih, nama dan bendera negara sahabat yang telah terlibat membantu Aceh usai tsunami.
ADVERTISEMENT
Lapangan Blang Padang telah dikenal sejak zaman Kesultanan Aceh di bawah Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Dalam buku berjudul ‘De Inrichting van het Atjehsche Staats- bestuur onder het Sultanaat’ yang merupakan catatan pegawai Belanda, K.F.H Van Langen sekitar tahun 1888, disebutkan awalnya lapangan tersebut merupakan areal persawahan rakyat. Lalu, Sultan mengambil alih dengan membeli lokasi persawahan tersebut. Sultan Iskandar Muda kemudian mewakafkannya kepada imam Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh, untuk mengusahakan kebun dan sawah dalam memenuhi kebutuhannya.
Tugu kecil di lapangan Blang Padang. Foto: Suparta/acehkini
Museum tsunami dari Lapangan Blang Padang. Foto: Suparta/acehkini
Semasa Belanda, lapangan tersebut menjadi tempat barak dan lokasi peralatan militer lainnya. Lalu setelah merdeka, menjadi lapangan bersejarah untuk berkumpul massa dan pejuang, serta memperingati hari-hari besar nasional.
Kini, lapangan padang selalu ramai dengan aktivitas warga, siang dan malam hari. Lapangan terletak strategis di tengah Kota Banda Aceh. Di sekelilingnya sejumlah rumah dinas pejabat tinggi Aceh berdiri, seperti rumah dinas Panglima Kodam Iskandar Muda, rumah dinas Kapolda Aceh, rumah dinas wkil Gubernur Aceh, rumah dinas Ketua DPR Aceh, rumah dinas Wali Kota Banda Aceh, dan sejumlah bangunan lainnya penting lainnya.
ADVERTISEMENT
Sebuah museum juga berdiri megah di sisinya untuk mengenang bencana 15 tahun silam, Museum Tsunami Aceh. []
Tugu kecil terimakasih untuk negara yang membantu pemulihan Aceh pascatsunami. Foto: Suparta/acehkini
Lapangan Blang Padang, Banda Aceh. Foto: Abdul Hadi/acehkini