Laporan Saksi Korban Penyiksaan Masa Konflik Diserahkan ke KKR Aceh

Konten Media Partner
26 Juni 2019 15:18 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ketua KKR Aceh, Afridal Darmi menerima laporan kesaksian korban penyiksaan masa konflik Aceh, hasil investigasi sejumlah lembaga. Foto: Adi Warsidi/acehkini
zoom-in-whitePerbesar
Ketua KKR Aceh, Afridal Darmi menerima laporan kesaksian korban penyiksaan masa konflik Aceh, hasil investigasi sejumlah lembaga. Foto: Adi Warsidi/acehkini
ADVERTISEMENT
Memperingati Hari Dukungan Internasional untuk Korban Penyiksaan, Tim Submisi Penyiksaan di Aceh, terdiri dari KontraS, KontraS Aceh, LBH Apik Aceh, Pusat Kegiatan Sosial Ekonomi Aceh (PASKA), dan Asia Justice and Rights (AJAR), menyerahkan secara formal laporan submisi dengan tema khusus penyiksaan, kepada Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh, Rabu (26/06/2019).
ADVERTISEMENT
Laporan diserahkan oleh Faisal Hadi (KontraS Aceh), Indria Fernida (AJAR), Samsidar (LBH Apik), dan Faridah (Paska) kepada Ketua KKR Aceh, Afridal Darmi, dan anggotanya Masthur Yahya, serta Evi Narti Zein.
Afridal Darmi mengatakan submisi ini merupakan bentuk partisipasi masyarakat untuk memperkuat proses pengungkapan kebenaran yang sedang dijalankan oleh KKR Aceh, khususnya berkaitan dengan peristiwa pelanggaran HAM berupa penyiksaan dan perlakuan tak manusiawi. “Ini merupakan data-data kesaksian warga Aceh yang pernah mengalami penyiksaan semasa konflik dulu,” katanya.
Menurutnya, mekanisme submisi untuk mengumpulkan kesaksian korban penyiksaan oleh sejumlah lembaga, dilakukan sesuai aturan di KKR Aceh. Sehingga nantinya, dokumen tersebut dapat menjadi dokumen resmi.
Sebelum ditetapkan sebagai dokumen resmi, laporan tersebut nantinya akan diverifikasi kepada para korban penyiksaan. KKR Aceh tidak perlu lagi melakukan investigasi ulang. “Hanya mengecek, untuk bertanya apakah benar meraka telah menyampaikan kesaksiannya,” jelas Afridal.
ADVERTISEMENT
Dokumen kesaksian itu sangat berguna untuk mengungkap kebenaran, dan kekerasan yang pernah terjadi di Aceh semasa konflik antara Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Selama ini, banyak korban yang terus didatangi sejumlah lembaga untuk ditanya kesaksiannya, berulang-ulang, bahkan mereka sampai bosan.
Nantinya, korban kekerasan di Aceh tidak perlu lagi ditanya kesaksiannya, karena semua pernyataan mereka telah terdokumentasi dengan baik di KKR Aceh. “Kami rencananya akan mendokumentasikan kesaksian dari 10.000 orang, yang pernah mengalami kekerasan selama konflik Aceh,” katanya.
Spanduk di kantor KKR Aceh, berisikan sejumlah kegiatan pengambilan kesaksian para korban konflik Aceh. Foto: Adi Warsidi/acehkini
Perwakilan dari KontraS Aceh, Faisal Hadi mengatakan Hak untuk bebas dari penyiksaan dan tindakan tidak manusiawi lainnya merupakan salah satu hak asasi yang tidak bisa dikurangi atau dibatasi dalam situasi apapun [non-derogable rights], termasuk dalam kondisi perang. Penyiksaan merupakan salah satu tindak kejahatan atau pidana yang diakui dalam prinsip internasional dan diatur oleh hukum HAM, humaniter maupun pidana internasional. Penyiksaan yang dipraktekkan secara sistematis atau meluas menjadi salah satu unsur kejahatan terhadap kemanusian [crimes against humanity], yang merupakan salah satu kejahatan paling serius dalam hukum internasional.
ADVERTISEMENT
Materi Laporan Penyiksaan
Faisal Hadi menyebutkan penelitian dan pendokumentasian yang terverifikasi dalam laporan submisi ini, dilakukan sejak 2013 sampai 2018, dengan metode wawancara dan penelitian partisipatif kepada korban penyiksaan.
Laporan yang diserahkan kepada KKR Aceh berisikan 91 kesaksian para penyintas konflik Aceh yang terdiri dari 64 orang laki-laki dan 27 orang perempuan. Mereka berasal dari 8 kabupaten/kota Provinsi Aceh, yaitu: Aceh Besar, Pidie, Pidie Jaya, Bireun, Lhoksumawe, Aceh Utara, Aceh Timur dan Aceh Jaya.
Temuan-temuan kunci termasuk di antaranya adalah periode waktu terjadinya penyiksaan, lokasi penyiksaan, korban penyiksaan, pola dan bentuk penyiksaan, motif penyiksaan pelaku penyiksaan serta dampak dari penyiksaan. Dalam proses pembuatan submisi ini, dua orang penyintas telah meninggal dunia, salah satunya akibat peristiwa penyiksaan yang dialaminya. “Tim Submisi menyimpulkan bahwa terdapat bukti permulaan yang kuat yang menunjukkan bahwa telah terjadi tindakan penyiksaan dan perlakuan kejam dan merendahkan martabat secara luas dan sistematis, yang mencapai titik batas sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan,” kata Faisal.
ADVERTISEMENT
Menurutnya, penyiksaan semasa konflik Aceh, menjadi salah satu cara yang kerap dilakukan kepada warga sipil untuk menebar ketakutan demi penguasaan politik terhadap rakyat Aceh. Secara khusus, penyiksaan digunakan untuk mendapatkan informasi, untuk menghukum, mengancam atau mempermalukan korban.
Pada umumnya, penyiksaan terjadi setelah korban mengalami penahanan sewenang-wenang dan dibawa ke sebuah tempat penahanan, atau gedung, ataupun lokasi rahasia yang digunakan sebagai tempat penahanan oleh militer dan polisi. Dalam beberapa kasus, penyiksaan dilakukan di ruang publik, misalnya di lapangan, dengan tujuan menyebarkan teror terhadap masyarakat sekelilingnya.
Faisal Hadi (tengah) bersama Afridal Darmi (kedua kiri) menyampaikan pernyataan kepada media terkait penyerahan laporan kesaksian korban kekerasan masa konflik Aceh. Foto: Adi Warsidi/acehkini
Perwakilan dari AJAR, Indria Fernida mengungkapkan dokumen tersebut adalah rahasia, tak bisa diakses publik, karena memuat seluruh indentitas korban penyiksaan. “Laporan juga memuat sejumlah lokasi yang digunakan untuk penyiksaan,” katanya.
ADVERTISEMENT
Pelaku umumnya adalah aparat keamanan Pemerintah Indonesia, sebagian lagi adalah milisi. Sementara korban umumnya adalah keluarga GAM, maupun warga yang dinilai berhubungan dengan para anggota GAM pada saat itu.
Dampak penyiksaan juga tercatat dalam laporan, baik secara fisik, mental maupun ekonomi. Sementara kekerasan seksual terhadap warga Aceh berkaitan dengan motif konflik, juga dianggap sebagai dianggap penyiksaan. “Khusus korban penyiksaan seksual. Perlu dilakukan upaya-upaya pemulihan, agar mereka merasa tidak dilemahkan martabatnya sebagai manusia,” kata Indria.
Sementara itu, Anggota KKR Aceh, Evi Narti Zein mengatakan sejauh ini ada sebanyak 2.000 formulir kesaksian korban kekerasan masa konflik Aceh yang telah, dan sedang dikumpullkan. Pekerjaan itu dilakukan oleh sejumlah relawan, di bawah koordinasi Komisioner KKR Aceh.
ADVERTISEMENT
Direncanakan KKR Aceh akan mengumpulkan 10.000 kesaksian korban sampai 2021 mendatang, dalam dalam periode kerja Komisioner KKR Aceh sekarang, yang dilantik 24 Oktober 2016 lalu. Diperkirakan ada 35.000 kasus kekerasan masa konflik Aceh. “Laporan ini sangat bermakna bagi KKR Aceh,” kata Evi.
Dalam rekomendasi laporan hasil kesaksian korban penyiksaan di Aceh, Tim Submisi juga memberikan rekomendasi sejumlah rekomendasi kepada KKR Aceh dan para pihak lainnya, sebagai berikut:
• KKR Aceh terus memprioritaskan pengungkapan kebenaran tentang penyiksaan serta tindakan tidak manusiawi lainnya, dan bekerjasama dengan seluruh instansi terkait mengumpulkan informasi, data dan dokumen tentang mereka yang menjadi korban penyiksaan, pola dan pelaku penyiksaan bagi upaya pengungkapan kebenaran.
• Pemerintah segera memberi pemulihan korban sebagai bentuk dari reparasi mendesak, bekerja sama dengan KKR Aceh dan masyarakat sipil bagi korban penyiksaan, dalam bentuk konseling, dukungan ekonomi, skema perbaikan rumah dan upaya rehabilitasi lainnya.
ADVERTISEMENT
• KKR Aceh untuk menyiapkan sebuah usulan program reparasi jangka-panjang bagi korban penyiksaan, dengan berkonsultasi dengan para korban penyiksaan serta para pendamping korban penyiksaan.
• KKR Aceh dan Pemerintah bekerja sama dengan masyarakat sipil untuk segera mendaftar dan melestarikan tempat-tempat penahanan dan penyiksaan di seluruh wilayah Aceh, sebagai bentuk memorialisasi dalam semangat tidak membiarkan penyiksaan terjadi lagi.
• KKR Aceh merujuk kasus-kasus kunci yang telah diinvestigasi kepada Komnas HAM untuk dilanjutkan sebagai penyelidikan pro-justicia.
• Lembaga keamanan dan penegak hukum di Aceh dan di seluruh Indonesia mengakui pola penyiksaan di masa konflik, dan menjamin bahwa penyiksaan tidak akan terjadi lagi.
• Besar harapan kami agar submisi ini dapat berkontribusi pada proses pengambilan pernyataan dan dengar kesaksian serta laporan akhir KKR Aceh, sebagai fondasi dari proses perdamaian dan rekonsiliasi yang menjadi impian kita bersama. []
ADVERTISEMENT
Reporter: Adi Warsidi