Larangan Salat Jumat di Musala Jabir: Dituding Wahabi, Kata Jemaah Sesuai Sunnah

Konten Media Partner
14 Februari 2022 20:21 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Surat Bupati Aceh Barat tentang larangan salat Jumat (sudut kiri) tertempel di papan nama rumah ibadah Jabir Al-Ka'biy. Foto: Siti Aisyah/acehkini
zoom-in-whitePerbesar
Surat Bupati Aceh Barat tentang larangan salat Jumat (sudut kiri) tertempel di papan nama rumah ibadah Jabir Al-Ka'biy. Foto: Siti Aisyah/acehkini
ADVERTISEMENT
Aparat gabungan terdiri atas tentara, polisi, dan polisi syariat menghentikan salat Jumat di Musala Jabir Al-Ka’biy, Desa Drien Rampak, Johan Pahlawan, Aceh Barat, pada Jumat (11/2) lalu. Salah satu sebabnya adalah ada surat dari Bupati Aceh Barat untuk menyetop pengajian paham Wahabi Salafi di tempat ibadah itu.
ADVERTISEMENT
Surat bernomor 300/72/2022 itu dikeluarkan pada 25 Januari 2022. Poin lainnya, meminta pelaksanaan salat Jumat ditunda di Jabir Al-Ka'biy. Surat tersebut dirilis menyikapi rekomendasi ulama dan masyarakat Desa Drien Rampak, Johan Pahlawan.
Status Jabir Al-Ka’biy pun ada dua versi. Pemerintah menganggapnya sebagai musala karena belum ada izin pendirian masjid. Jemaah Jabir menyebutnya masjid sesuai dengan papan nama yang dipasang di sana.
Sampai Senin (14/2/2022) acehkini terus berusaha menghubungi pengurus Jabir Al-Ka’biy, Arham untuk meminta keterangan terkait aktivitas di tempat tersebut pasca-penghentian salat Jumat. Tetapi, Arham masih enggan memberikan keterangan lebih lanjut.
acehkini juga berusaha mendatangi rumah ibadah itu, warga sekitar belum mau memberikan keterangan apapun terkait larangan salat Jumat di sana.
ADVERTISEMENT
Para jemaah di dalam Musala Jabir Al-Ka'biy saat penghentian salat Jumat. Foto: Siti Aisyah/acehkini
Sebelumnya saat peristiwa penghentian salat Jumat terjadi, Arham sempat memberikan keterangannya soal tudingan pengajian Wahabi Salafi. Dia tidak ingin menjawab isu tersebut benar atau tidak. Namun apa yang mereka lakukan dan kaji disebut sudah sangat sesuai dengan aturan Pemerintah Aceh.
"Bahwa ajaran Islam boleh diterapkan di Aceh dengan ketentuan harus dengan Mazhab Syafi'i, jika ada mazhab lainnya tentu itu tidak sesuai dengan koridor, kita melaksanakan di sini tentu tidak keluar dari ketentuan Al-Qur’an dan Sunnah,” kata Arham.
Jika ragu, Arham mengajak pihak lainnya tabayyun ke Jabir untuk melihat apakah mereka melenceng dari ajaran yang ada atau tidak. Jika pun salah dirinya mengaku siap ditegur dan mengikut ajaran yang benar.
Paat jemaah diam saat diterpa kabar tak baik karena tidak ingin menyalahkan siapa pun. “Karena kami tidak bisa membenarkan diri kami sendiri, yang bisa membenarkan adalah orang lain. Jumlah jemaah kita di sini setidaknya ada 200 orang, kalau dilihat dari perkembangan maka jemaah semakin bertambah,” ujarnya.
ADVERTISEMENT

Aturan Mazhab Syafi’i di Aceh

Pemerintah Aceh mengatur pelaksanaan ibadah Islam di Aceh dengan memprioritaskan mazhab Syafi'i dalam Qanun Nomor 8 Tahun 2014 tentang Pokok-Pokok Syariat Islam. Ibadah yang tidak mengacu ke mazhab Syafi'i dibolehkan selama dalam bingkai mazhab Hanafi, Maliki, dan Hambali.
"Dalam hal ada kelompok masyarakat di Aceh yang sudah mengamalkan mazhab Hanafi, Maliki, atau Hambali tidak dapat dipaksakan untuk mengamalkan mazhab Syafi’i," bunyi ayat 4 pasal 14 qanun tersebut.
Ayat 5 pasal itu menyebutkan bahwa dalam hal kelompok masyarakat yang mengamalkan ibadah mengikuti paham organisasi keagamaan yang sesuai dengan Al-Qur'an dan Hadist serta diakui secara sah oleh Negara tetap dibenarkan/dilindungi.
Musala (jemaah menyebutnya masjid) Jabir Al-Ka'biy di Aceh Barat. Foto: Siti Aisyah/acehkini

Musala akan Diurus menjadi Masjid

Soal status Jabir Al-Ka’biy, para jemaah akan melakukan pengurusan kembali atas peningkatan status izin dari musala ke masjid. Pada 2019, mereka telah mengurus izin. Namun, syarat yang dilampirkan disebut tidak mencukupi dan tidak mendapat rekomendasi dari Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh Barat.
ADVERTISEMENT
“Secara hati nurani dan mengikuti kaidah kita sedih, tapi demi kemaslahatan umat dan kebersamaan, kita rela mengorbankan itu,” jelas Arham.
Sebelumnya, Ketua Pemuda Desa Drien Rampak, Zulkarnain, menuturkan agar tidak terjadinya konflik berkepanjangan terkait dugaan adanya penyebaran ajaran Salafi Wahabi di Musala Jabir, pemerintah dan pihak jemaah disarankan untuk duduk bersama guna mencari jalan tengah agar tidak ada yang terdikriminasikan.
Ia menyebut, pascakejadian pelarangan kemarin, tidak berdampak pada aktivitas jemaah, pelaksanaan salat lima waktu dan hal lainnya masih terlihat normal di Musala tersebut.
“Karena yang dihentikan hanya pelaksanaan salat Jumat, kalau aktivitas lain masih normal seperti biasa. Cuma setelah saya pelajari surat-surat mereka, persoalannya masalah izin pelaksanaan salat Jumat saja yang belum keluar dari SIMAS (Sistem Aplikasi Mesjid),” jelas Zul kepada acehkini. []
ADVERTISEMENT