LBH soal Hukuman Guru yang Cabuli Santri di Aceh: Jangan Dicambuk

Konten Media Partner
18 Juli 2019 14:14 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Kapolres Lhokseumawe, AKBP Ari Lasta, melakukan konferensi pers terkait dugaan pencabulan santri, Kamis (11/7). Foto: Agus/acehkini
zoom-in-whitePerbesar
Kapolres Lhokseumawe, AKBP Ari Lasta, melakukan konferensi pers terkait dugaan pencabulan santri, Kamis (11/7). Foto: Agus/acehkini
ADVERTISEMENT
Kepolisian Resor (Polres) Kota Lhokseumawe, Aceh, menangkap dua guru pengajian di sebuah pesantren setempat. Mereka diduga melakukan pelecehan seksual terhadap 15 santri laki-laki.
ADVERTISEMENT
Kedua guru ngaji tersebut berinisial AI (45 tahun) selaku pimpinan pesantren dan MY (26) berstatus pengajar. Akibat perbuatan tersebut, keduanya kini harus mendekam di sel Polres Lhokseumawe.
Informasi yang dihimpun acehkini, penangkapan kedua guru ngaji tersebut dikembangkan dari hasil penyelidikan yang dilakukan aparat kepolisian, berdasarkan laporan keluarga santri yang menjadi korban, yakni R (13) dam L (14).
Kepolisian menjerat pelaku dengan pidana Pasal 47 Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Hukum Jinayat, yakni dengan ancaman paling banyak 90 kali cambuk atau denda paling banyak 900 gram emas murni atau penjara paling lama 90 bulan.
Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Banda Aceh, Syahrul, mengatakan menjerat tersangka pelecehan seksual terhadap santri dengan Qanun Jinayat membuktikan aparat kepolisian kurang komitmen terhadap penerapan hukuman yang seberat-beratnya terhadap pelaku.
Direktur LBH Banda Aceh, Syahrul. Foto: Dok. Pribadi
"Jika kita ikuti beberapa pernyataan pihak polisi, mereka masih menggunakan pasal pelecehan seksual sebagaimana terdapat dalam pasal 47 Qanun Jinayat yang hukumannya cuma 90 kali cambuk, atau 90 bulan kurungan atau denda 900 gram mas murni. Padahal jika dikenakan Undang-undang Perlindungan Anak, hukuman untuk pelaku bisa mencapai 20 tahun penjara," kata Syahrul kepada acehkini, Kamis (18/7).
ADVERTISEMENT
Sebagai pendidik ilmu agama, sebut Syahrul, tersangka seharusnya dihukum dengan hukuman seberat-beratnya agar menjadi contoh bagi yang lain jika hendak berbuat perbuatan tercela tersebut.
Syahrul mencontohkan sejumlah kasus di daerah lain di Aceh yang sudah diputuskan oleh hakim. Misalnya beberapa hari lalu, Pengadilan Negeri Blang Pidie, Aceh Barat Daya, memutuskan 20 tahun penjara dan harus membayar denda Rp 800 juta akibat perbuatan pencabulan ayah terhadap anak tiri.
"Mestinya ini menjadi preseden baik bagi Polres Lhokseumawe untuk menjerat aturan mana yang lebih membuat jera para pelaku," imbuh Syahrul.
Selain itu, pada November 2018, hakim Pengadilan Negeri Pidie juga memvonis 20 tahun penjara terhadap salah seorang petani yang melakukan kekerasan seksual terhadap delapan anak di bawah umur.
ADVERTISEMENT
"Kedua kasus ini, aparat penegak hukum menggunakan Undang-undang Perlindungan Anak, tidak bermasalah dan dianggap tidak bertentangan dengan asas lex specialis derogat legi generali," tutur dia.
Menurut Syahrul, hukuman yang sepantasnya digunakan aparat penegak hukum dalam kasus pelecehan seksual terhadap santri tersebut adalah Undang-Undang Perlindungan Anak.
Ia menyebut, penyidik bisa menerapkan Pasal 76D Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.
Pasal itu menekankan setiap orang dilarang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.
"Terkait dengan ancaman hukuman terhadap orang yang melanggar pasal ini diancam dengan pidana sampai dengan 15 tahun penjara sebagaimana diatur pada Pasal 81 ayat 1, 2, dan 3," kata Syahrul.
ADVERTISEMENT
Bahkan, kata Syahrul, UU Perlindungan Anak menyebut detail hukuman untuk pelaku yang berprofesi tenaga pendidik. Seperti dalam Pasal 81 ayat 3 yang menegaskan pidana tambahan jika perlakuan kekerasan terhadap anak dilakukan oleh orang tua, wali, pengasuh anak, pendidik, atau tenaga kependidikan, maka pidananya ditambah 1/3 (sepertiga).
"Jadi kalau mau berbicara aturan khusus, maka Undang-undang Perlindungan Anak adalah undang-undang khusus untuk menghukum 'predator' kekerasan terhadap anak, terutama 'predator' kekerasan seksual," kata Syahrul.
Sementara Qanun Jinayat, lanjut Syahrul, tidak mengatur sedetail Undang-Undang Perlindungan Anak.
"Makanya dalam beberapa kasus kekerasan seksual yang diadili di Aceh malah menggunakan Undang-Undang Perlindungan Anak," ujar Syahrul.
Reporter: Habil