Konten Media Partner

Literasi Bencana tak Boleh Terputus Antar Generasi

24 April 2019 19:29 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi Museum Tsunami Aceh untuk merawat pengetahuan tentang bencana tsunami Aceh pada 2004 lalu. Foto: Husaini/acehkini
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Museum Tsunami Aceh untuk merawat pengetahuan tentang bencana tsunami Aceh pada 2004 lalu. Foto: Husaini/acehkini
ADVERTISEMENT
Badan Penanggulangan Bencana Aceh (BPBA) bekerja sama dengan Forum Aceh Menulis (FAMe) menyelenggarakan forum ilmu kebencanaan, Rabu (24/4) di Aula BPBA, Banda Aceh. Tema 'Literasi Bencana dari Masa ke Masa' diusung berkaitan Hari Kesiapsiagaan Bencana yang diperingati pada 26 April 2019.
ADVERTISEMENT
Forum ini menghadirkan tiga narasumber Hermansyah Dosen Fakultas Adab dan Humaniora di UIN Ar-Raniry, Alfi Rahman peneliti Tsunami and Disaster Mitigation Research Center (TDMRC) Unsyiah, dan Yarmen Dinamika Redaktur Pelaksana Harian Serambi Indonesia.
Hermansyah yang tampil pertama menyatakan, berdasarkan tinjauan manuskrip kebencanaan, gempa disertai tsunami tahun 2004 lalu di Aceh-Nias dan sekitarnya bukanlah yang pertama kali atau hal baru. Menurutnya, Aceh sudah beberapa kali dilanda gempa dahsyat disertai tsunami, pernah terjadi pada 1907.
Hermansyah saat menyampaikan materi literasi bencana dari masa ke masa tinjauan manuskrip kebencanaan, Rabu (24/3) di Aula BPBA, Banda Aceh. Foto: Husaini/acehkini
Ia menyebutkan, catatan-catatan peristiwa bencana di Aceh tersebut ditemui beberapa salinan teks/naskah manuskrip, terutama gempa dan dampaknya. "Saya sudah menemukan 30 varian naskah tentang ta'bir gempa," ujarnya.
Semua teks manuskrip gempa itu ia dapatkan dari beberapa daerah, termasuk dari luar negeri. Sebanyak 16 di antaranya dia temukan di Aceh, selebihnya 6 teks manuskrip di Padang, 4 di Jakarta, 1 di Malaysia dan 3 di Leiden, Belanda.
ADVERTISEMENT
Berikutnya ia juga menyampaikan, ada juga catatan gempa Tanoh Abee yang variannya berbeda dengan naskah ta'bir/takwil gempa. "Penyalinan teks ini kenapa ada? Karena sebagai bukti pernah terjadi gempa sebelumnya," sebut Hermansyah.
Salah satu teks manuskrip tentang gempa yang ditampilkan oleh Hermansyah. Foto: Husaini/acehkini
Hanya saja, sebut Hermansyah, kita sedikit kesulitan karena teks tersebut sering dicampur dengan catatan keseharian lainnya yang berisikan doa-doa dan peristiwa-peristiwa. "Mitigasi bencana juga jadi bacaan harian mereka, seperti notes kita ukurannya kecil-kecil dan bisa dibawa ke mana-mana," ucapnya.
Selain itu, menurutnya, berbeda dialek dulu dengan sekarang membuat kita terkadang sulit mendapat informasi tersebut.
"Sebenarnya catatan kita sudah lengkap. Yang tidak lengkap kita saja yang tidak membacanya. Sehingga warisan budaya mitigasi bencana masih kurang," sebut Hermansyah, sembari berkelakar.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, Alfi Rahman menyebutkan kehadiran TDMRC Unsyiah sejak 2006 untuk merekam (merecord) tentang bencana di Aceh. Sehingga distribusi publikasi tentang kebencanaan oleh dosen Unsyiah di Aceh untuk internasional menjadi banyak.
Forum Ilmiah Kebencanaan dengan tema Literasi Bencana dari Masa ke Masa di Aula BPBA, Rabu (24/4). Foto: Husaini/acehkini
Ia menyatakan, interaksi Aceh dengan tsunami pada 4 Januari 1907 silam dengan gempa 7,8 SR, saat itu telah menyebabkan lebih dari 50 bahkan 70 persen penduduk Simeulue meninggal dunia.
Menurutnya, belajar dari kejadian itu kemudian para penyintas tsunami mengakumulasinya dengan nama Smong yang disebarluaskan lewat seni budaya tutur yang disebut Nafi-nafi. Sehingga saat Aceh dilanda tsunami pada 2004 silam, warga Simeulue yang meninggal menjadi sedikit, tidak sampai 10 orang.
Alfi juga menyebutkan berdasarkan bukti saintifik dari Guha Ek Leuntie di Aceh Besar, disimpulkan bahwa tsunami cukup akrab dengan kita Indonesia, khususnya Aceh. Bukti di gua itu menurutnya telah menunjukkan bahwa Aceh telah dilanda tsunami berkali-kali di masa lampau.
Suasana laut di kawasan kepulauan Simeulue, Aceh. Foto: Suparta/acehkini
Tradisi merawat ingatan tentang Smong di Simeulue selain lewat Nafi-nafi, kini juga disebarkan lewat seni turut Nandong yang mengadopsi dari Nafi-nafi. "Salah satu pesannya berisi tentang Smong yang terjadi pada 1907 lalu," sebut Alfi.
ADVERTISEMENT
Peneliti TDMRC satu ini mengaku, dirinya masih beruntung saat meneliti tentang Smong di Simeulue masih bisa bertemu dengan orang-orang yang mendapat cerita langsung dari yang mengalami tsunami 1907. Dimana tsunami pada tahun itu terjadi pada hari Jumat saat warga sedang melaksanakan shalat Jumat.
Di Unsyiah sendiri untuk merawat pengetahuan tentang kebencanaan, sebutnya, selain mendirikan TDMRC seusai tsunami pada 2004 lalu, di Unsyiah juga telah dibuka Magister Kebencanaan. Selain itu, kepada mahasiswa kini juga diajarkan Mata Kuliah Umum (MKU) Kebencanaan. "Tahun ini kita dengan BPBA juga menginisiasi qanun kebencanaan di Aceh," ujar Alfi.
Yarmen Dinamika memperlihatkan sejumlah nama bayi yang lahir di Aceh seusai tsunami 2014 lalu dengan menyertakan nama Tsunami sebagai namanya. Foto: Husaini/acehkini
Tampil di sesi terakhir, Yarmen Dinamika menyampaikan tentang pentingnya merawat ingatan terkait bencana di Aceh. "Pengetahuan tentang siaga bencana tak boleh terputus antar generasi," sebutnya.
ADVERTISEMENT
Selain itu, menurut Yarmen, perlu peningkatan pengetahuan dan berbagi pengalaman tentang berbagai bencana di tempat lain. Juga perlu diperbanyak tsunami drill berbasis komunitas dan menyiapkan sebanyak-banyaknya sekolah siaga bencana di Aceh.
Reporter: Husaini Ende