Lolongan Siksa di Malam Hari, Tragedi Pinto Sa saat Konflik Aceh (1)

Konten Media Partner
1 Agustus 2019 10:41 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Bendungan Tiro, Kabupaten Pidie, Aceh, saksi bisu masa konflik Aceh. Foto: Habil Razali/acehkini
zoom-in-whitePerbesar
Bendungan Tiro, Kabupaten Pidie, Aceh, saksi bisu masa konflik Aceh. Foto: Habil Razali/acehkini
Pagar beton setinggi semeter melingkari lahan kosong. Areal terpagar itu hanya tanah rata dan dipenuhi rumput. Luasnya sekitar setengah hektar. Di bagian sisi pagar tumbuh beberapa pohon setinggi empat meter.
ADVERTISEMENT
Sekilas lahan kosong yang terpaut sekitar 100 meter dari Bendungan Pinto Sa Tiro, Kecamatan Tiro, Kabupaten Pidie, Aceh, itu biasa saja. Namun, jika dilihat dari dekat, di sana terdapat lantai bekas bangunan, nyaris menyatu dengan rerumputan.
Lantai itu dulunya merupakan gedung yang ditempati pekerja PT Istaka Karya ketika Bendungan Pinto Sa atau Pintu Satu Tiro dibangun. Perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) itu pemegang proyek pembangunan bendungan untuk mengairi persawahan seluas 6.924 hektare pada tahun 1988.
acehkini berkunjung ke Kecamatan Tiro, Pidie, pada Sabtu (27/7) bersama Komisi Untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) Aceh. Wilayah itu menyimpan banyak kenangan saat konflik Aceh, saksi bisu perang dan imbasnya kepada warga.
ADVERTISEMENT
Kami menemui Budi (bukan nama sebenarnya). Ia memutar memori untuk mengingat kembali tragedi kelam yang pernah terjadi di bangunan yang disebutnya Pos Pinto Sa. Pria asal Kecamatan Tiro, berusia 56 tahun itu tahu betul peristiwa berdarah di sana. Warga Tiro menyebutnya Tragedi Pinto Sa. Secara administratif, tempat itu berada di Desa Daya Kampung Baro, Kecamatan Tiro, Pidie, Aceh.
Pembangunan Bendungan Pinto Sa awalnya disambut hangat oleh warga Tiro. Sebagian ikut menjadi pekerja, kendati kebanyakan buruh adalah pendatang dari luar Tiro. Namun, dua tahun kemudian, ketika Indonesia menerapkan Daerah Operasi Militer (DOM) untuk Aceh (1990-1998), Tiro masuk kawasan merah.
Tentara masuk ke kampung-kampung di Aceh. Di Tiro, tentara menempati gedung pekerja PT Istaka Karya. Sementara pekerja dipindahkan ke bangunan lain yang masih berada di sekitar bendungan.
ADVERTISEMENT
Tentara gencar memburu pasukan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Apalagi Tiro adalah wilayah basis dan menjadi pusat komando GAM. Pada 1976, deklarator GAM, Hasan Muhammad Di Tiro juga mendeklarasikan Neugara Aceh Merdeka di pegunungan Tiro.
Bekas pos Pinto Sa. Foto: Habil Razali/acehkini
Ketika tentara dengan sandi operasi jaring merah menempati gedung pekerja PT Istaka, warga dan pekerja mulai mendengar teriakan orang minta tolong. Saat itu tidak ada warga atau pekerja yang berani mengecek ke dalam bangunan tersebut. "Saya sering mendengar orang teriak, minta tolong. Suara orang seperti disiksa," kata Budi.
Belakangan, warga dan pekerja mengetahui ada penyiksaan di dalam gedung itu. Ini terlihat saat tentara mengeluarkan warga yang ditahan karena dituduh anggota atau membantu GAM dari bangunan pada siang hari.
ADVERTISEMENT
Di luar, tahanan tersebut dijemur dan dipukul. "Mereka menyiksa korban pada siang hari, bahkan di luar gedung yang disaksikan oleh warga. Tapi seringnya disiksa pada malam hari," tutur Budi.
Pekerja tidak menggubris ketika melihat ada orang yang disiksa, bahkan tidak pernah bercerita kepada warga. Menurut Budi, itu karena mereka takut. Andai ada warga yang melihat, mereka juga tidak berani menolong.
Orang-orang yang ditahan dan disiksa adalah warga sipil yang dicurigai anggota GAM atau pernah membantu GAM. Warga sipil yang dibawa ke sana ada yang dari luar Tiro, karena Budi yang asli Tiro kadang tidak mengenali korban siksaan.
Kondisi ini terus terjadi hingga Bendungan Pinto Sa Tiro selesai dibangun tahun 1994. Pekerja dari luar Tiro kemudian dipulangkan. Ini membuat tentara semakin mudah menempati bangunan-bangunan pekerja lain di sekitar bendungan.
ADVERTISEMENT
Tentara lalu mendirikan pos piket jaga malam di sekitar bendungan, tidak jauh dari bangunan yang mereka tempati. Pos piket diisi oleh warga saban malam. Tentara menggilir piket kepada warga dari empat desa yang berdekatan dengan bendungan, yaitu Gampong Daya Kampung Baro, Daya Teungoh, Daya Baroh, Daya Cot, dan Pulo Keunari.
"Per malam yang bertugas piket dua orang per kampung. Mereka sengaja membuat piket itu untuk menjaga tentara dari serangan GAM. Karena bendungan adalah garis terdepan sebelum memasuki hutan Tiro, tempat GAM bergerilya," ujar Budi.
Budi pernah beberapa kali mendapat giliran meronda di pos piket. Selama piket, dia sama sekali tidak pernah bertemu GAM. Namun, Budi nyaris saban malam mendengar orang berteriak dan disiksa di gedung pekerja.
ADVERTISEMENT
Bangunan tersebut terpaut sekitar sekilometer dari perumahan warga. Budi mendengar teriakan korban siksaan ketika berada di pos piket yang berjarak puluhan meter. Pada siang hari, Budi melihat orang laki-laki dan perempuan dikeluarkan dari bangunan. Mereka kemudian dijemur di bawah sinar matahari agar bekas penyiksaan hilang.
Lahan itu masih dibiarkan kosong hingga kini. Foto: Habil Razali/acehkini
Penyiksaan di gedung tersebut, berlangsung terus menerus dan berakhir saat Pemerintah Indonesia mencabut DOM pada 7 Agustus 1998, lalu menarik tentara Operasi Jaring Merah dari Aceh.
Ketika tentara dipulangkan, Pos Pinto Sa kosong. Masyarakat yang marah dan takut ditempati lagi oleh tentara kemudian membakar gedung tersebut. Setelah dibakar, bangunan beton dirobohkan hingga rata dengan tanah.
"Pos yang kosong kemudian dibakar oleh massa dari masyarakat. Kondisi ini sampai sekarang menjadi tanah lapang, tinggal pagar," jelas Budi.
ADVERTISEMENT
Belakangan, pada masa Darurat Militer dan Darurat Sipil diberlakukan di Aceh (2003-2005), di samping tanah bekas Pos Pinto Sa dibangun markas Tentara Nasional Indonesia. Sekarang menjadi Depo Pendidikan Latihan dan Pertempuran Resimen Induk (Dodiklatpur) Rindam Iskandar Muda (IM) Tiro/Truseb. Sementara tanah bekas Pos Pinto Sa kosong melompong. [bersambung]
Reporter: Habil Razali