Konten Media Partner

Makam 44 Syuhada di Keumala, Jejak Perang Rakyat Aceh Mengusir Belanda

8 April 2022 12:33 WIB
ยท
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Jasad 44 pejuang dimakamkan dalam satu liang di Keumala, Pidie. Mereka mati syahid bersama saat melawan serdadu Belanda dalam perang Aceh.
44 Syuhada dalam satu liang makam di Keumala, Pidie, Aceh. Foto: Habil Razali/acehkini
zoom-in-whitePerbesar
44 Syuhada dalam satu liang makam di Keumala, Pidie, Aceh. Foto: Habil Razali/acehkini
Deretan nisan itu tertancap di tanah seluas 10x3 meter. Ada 44 nisan yang berdempetan di sana. Pagar terali besi setinggi satu meter mengelilinginya. Makam tersebut berada di halaman meunasah Gampong (desa) Pulo Cahi, Kecamatan Keumala, Pidie, Aceh.
ADVERTISEMENT
"Ini kuburan 44 syuhada," kata Halimah (80 tahun), ditemui acehkini di teras rumahnya di dekat makam itu, Kamis (7/4).
"Mereka syahid dalam perang melawan kaphe (kafir) Belanda," sambungnya.
Tanah makam semula milik keluarga Halimah. Nenek Halimah bersedia menjadikan lahan itu sebagai kuburan 44 pejuang Aceh yang syahid di medan perang, meski syuhada itu bukan kerabat dekatnya. Selain makam, sekarang meunasah dan satu balai berdiri dalam satu kompleks.
Halimah menuturkan 44 syuhada tersebut dikuburkan secara massal dalam satu tempat. Tidak ada jarak. "Seperti timphan pada saat dikukus," Halimah mengibaratkan posisinya dengan kudapan khas Aceh yang dibungkus daun pisang.
Pemugaran makam itu dilakukan tujuh tahun lalu. Kawasan makam dibersihkan, pagar dibangun di sekelilingnya, dan nisan diganti baru: dari semula batu lonjong jadi granit panjang. "Dulu hanya batu [nisan] dan di makam tumbuh bak lawah (pohon jarak)," ujar Halimah.
ADVERTISEMENT
Halimah tidak ingat persis umur makam. Menurutnya, tanah itu jadi kuburan syuhada semasa neneknya masih hidup. Andyan (70 tahun), tetangga Halimah, mengatakan makam tersebut berusia lebih dari seratus tahun. Dua dari 44 syuhada adalah adik kandung nenek Andyan.
"Namanya Muhammad Daud dan Muhammad Said. Ketika syahid mereka masih kecil. Kalau misalnya sekarang sebaya anak kelas tiga sekolah dasar," ujar Andyan.
Gampong Pulo Cahi, saksi sejarah perang Aceh melawan Belanda. Foto: Habil Razali/acehkini
Kecuali dua adik nenek Andyan, syuhada itu berasal dari berbagai daerah di Aceh. Namun, tidak ada yang tahu nama-nama mereka. Menurut Andyan, mereka syahid di sekitar Gampong Pulo Cahi. Mayatnya dikumpulkan dan dikuburkan dalam satu liang. Kelak, makam 44 syuhada jadi cikal bakal nama Gampong Pulo Cahi.
Halimah mengatakan gampong terletak di kaki gunung itu semula bernama Pulo Syahid, berarti pulau tempat orang-orang syahid. Karena hampir di semua penjuru gampong ada makam syahid. Sedangkan Pulo disematkan karena gampong itu mirip pulau yang dikelilingi persawahan.
ADVERTISEMENT
Nama Pulo Syahid kemudian diubah Pulo Cahi oleh Pemerintah Indonesia pada masa perang Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) antara tahun 1953-1962. Halimah tidak tahu alasan perubahan nama, tapi menurutnya, sejumlah penduduk Pulo Syahid terlibat dalam pemberontakan yang dipimpin Teungku Daud Beureueh itu.
Sawah dan perbukitan di Pulau Cahi, Keumala. Foto: Habil Razali/acehkini
Suatu kali, pada saat membuat Kartu Tanda Penduduk (KTP), Halimah tetap mengatakan alamatnya di Pulo Syahid. "Petugas kemudian membantah, mereka bilang Pulo Cahi," ujar Halimah.
Gampong Pulo Cahi jadi kawasan penyangga Keumala Dalam, bekas ibu kota Kesultanan Aceh Darussalam selama 20 tahun sejak Kota Banda Aceh jatuh ke tangan pada 1874. Dua daerah itu terpisah pegunungan yang disebut Glee Meulinteung.
Kini, makam 44 syuhada jadi tempat orang-orang melepas nazar atau menggelar kenduri. Peziarah datang dari berbagai daerah di Aceh. Menurut Andyan, tahun lalu ada puluhan peziarah dari Indrapuri, Aceh Besar. Mereka datang dengan empat bus. "Tahun ini belum ada yang datang," katanya. []
ADVERTISEMENT