Konten Media Partner

Masjid Ulee Lheu di Aceh, Tak Lekang Digempur Meriam dan Tsunami

18 Mei 2019 16:52 WIB
clock
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:18 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Masjid Baiturrahim, Ulee Lheu, Banda Aceh. Foto: Suparta/acehkini
zoom-in-whitePerbesar
Masjid Baiturrahim, Ulee Lheu, Banda Aceh. Foto: Suparta/acehkini
ADVERTISEMENT
Belasan wisatawan asal Johor, Malaysia, turun dari bus tepat di depan masjid, lalu mereka berbaur dengan seratusan jemaah. Salat zuhur sesaat lagi di Masjid Baiturrahim Ulee Lheu, Banda Aceh, Sabtu (18/5).
ADVERTISEMENT
Para turis Malaysia sulit dibedakan dengan warga, semuanya berwajah melayu. “Saya dari Johor Baru, Malaysia. Saya ingin melihat masjid bersejarah ini,” kata Yahya, seorang wisatawan saat ditanya acehkini.
Bagian dalam saf perempuan, masjid Ulee Lheu. Foto: Suparta/acehkini
Saat Ramadan, Masjid Baiturrahim selalu ramai dikunjungi. Kendati ukurannya tak besar, masjid ini telah berumur empat abad dan menjadi saksi sejarah peradaban Aceh. Terletak di bibir pantai Ulee Lheu, masjid ini menjadi saksi perang Aceh melawan Belanda, tak hancur kendati telah digempur meriam, maupun tsunami Aceh 2004 silam.
Masjid ini menjadi salah satu andalan wisata religi dan tsunami terletak di Ulee Lheu, Kota Banda Aceh, Indonesia. Bentuk bangunannya sederhana, ukiran dan ornamen lama bergaya arsitektur Eropa masih terlihat. Sejarah yang melekat dan arsitekturnya menjadi daya tarik pelancong menjenguknya.
ADVERTISEMENT
“Kalau kunjungan wisatawan selalu ada. Kalau dari luar negeri, asal Malaysia paling banyak,” kata Ustaz Subhan, pengurus masjid kepada acehkini.
Awalnya berbahan kayu, Belanda membangunnya permanen, bergaya Eropa. Foto: Suparta/acehkini
Masjid ini memiliki sejarah yang tercatat lama karena dibangun semasa Sultan Iskandar Muda (1607 - 1636) berkuasa. Kerajaan membantu sedikit pembangunan, selebihnya warga secara swadaya bahu-membahu mendirikan masjid pada tanah wakaf milik seorang Uleebalang (bangsawan Aceh), Teuku Hamzah. Lalu diberi nama Masjid Jamik Ulee Lheu, dan oleh Belanda disebut Moskee Ole Le.
Awalnya fisik masjid hanya kayu sederhana yang berkubah seperti limas, khas arsitektur Hindu. Pernah menjadi basis perlawanan pejuang Aceh saat Belanda masuk lewat pantai untuk menyerang. Puluhan meriam dilepaskan dari lautan, hingga Belanda menguasai Ulee Lheu. Kawasan tersebut adalah yang pertama ditundukkan Belanda saat menginvasi Aceh.
Warga menunggu waktu dhuhur di dalam masjid. Foto: Suparta/acehkini
Di sana, penjajah membangun markas tempat mendarat para marsose yang ingin menyerang istana dalam Aceh. Daerah itu kemudian menjadi pelabuhan Belanda yang ramai, tempat singgah kapal pembawa rempah-rempah.
ADVERTISEMENT
Saat Masjid Raya Baiturrahman yang terletak di dalam istana terbakar kala invasi Belanda 1873, Masjid Ulee Lheu menjadi pusat peribadatan warga Banda Aceh, seperti gelar pengajian dan salat Jumat. Sejak itu namanya menjadi Masjid Baiturrahim.
Jemaah salat dhuhur di masjid Ulee Lheu. Foto: Suparta/acehkini
Alquran di masjid. Foto: Suparta/acehkini
Masjid lama berbahan kayu lapuk dimakan usia. Belanda membantu perluasan masjid dengan bangunan permanen bergaya Eropa pada 1922. Kayu-kayu penyangga bagian atas didatangkan dari India. Masjid indah kaya ukiran kaligrafi. Bangunan atas depan masjid yang mirip gereja, konon ada gambar salib, dipugar warga sepuluh tahun kemudian.
Gempa besar yang melanda Aceh pada 1983 meruntuhkan kubah beton. Sejak itu masjid tanpa kubah lagi. Renovasi besar kemudian dilakukan pada 1993, diperluas menjadi dua lantai dan dipasangkan kubah berbahan stainless steel. Perluasan tetap menyisakan bagian depannya yang masih asli.
Bagian depan masjid yang tetap dipertahankan, pernah dipugar ada mirip gereja.
Kubah masjid pernah jatuh saat gempa, diganti dengan kubah stainleess steel.
Bertahan dari Tsunami
ADVERTISEMENT
Tsunami 26 Desember 2004, masjid tak mengalami kerusakan berarti. Hanya bagian dalamnya yang tergenang air, padahal kawasan itu hanya 100 meter dari laut. Keajaiban ini menjadi salah satu keunikan masjid yang menarik perhatian wisatawan.
Ustaz Subhan adalah satu saksi hidup tsunami. Rumahnya berdekatan dengan Masjid Ulee Lheu. Saat terjadi gempa, Subhan dan banyak warga keluar rumah untuk menghindari puing-puing bangunan yang rontok. Selang 30 menit usai gempa, gemuruh ombak terdengar dari arah laut. Air setinggi 15 meter tampak tegak melaju kencang. Teriakan “air naik” berulang-ulang membuat warga berlarian.
Foto-foto bekas tsunami di galeri masjid. Foto: Adi Warsidi
“Saya dan banyak warga berlari sekencang-kencangnya menuju masjid, tapi air datang lebih cepat. Saya terbawa arus menjauh dari masjid dan Alhamdulillah saya selamat,” kata Subhan berkisah.
ADVERTISEMENT
Masjid utuh, sementara seluruh rumah warga di sekitarnya hancur. Sekitar 3.000 warga di kawasan Ulee Lheu meninggal, sebanyak empat dusun tergerus gelombang raya.
Bukti tsunami bisa dilihat dalam foto-foto yang dipajang pada bangunan galeri yang dibangun khusus di samping masjid, sejak tahun 2015. Pengelola galeri juga menjual aneka suvenir di sana. Subhan, selain sebagai pengurus masjid, juga pemandu yang mahir berkisah kepada wisatawan, tentang sejarah yang melekat di Masjid Baiturrahim Ulee Lheu.
Pintu gerbang Masjid Baiturrahim Ulee Lheu. Foto: Suparta/acehkini
Reporter: Adi Warsidi