Konten Media Partner

Melihat Makam Panglima Polem, Penentu Nasib Akhir Kesultanan Aceh

8 September 2019 11:51 WIB
clock
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Bangunan makam Teuku Panglima Polem. Foto: Habil Razali/acehkini
zoom-in-whitePerbesar
Bangunan makam Teuku Panglima Polem. Foto: Habil Razali/acehkini
ADVERTISEMENT
Jalanan Gampong Lamsie tampak sepi pada Minggu siang, 1 September 2019. Orang-orang di sana menghabiskan waktu sepanjang hari di persawahan, karena sedang musim tanam. Jalan yang terletak di Kecamatan Kuta Cot Glie, Aceh Besar, ini memang jadi pembatas antara bentangan sawah dan permukiman warga.
ADVERTISEMENT
Di ujung jalan, saat rumah-rumah tak lagi tampak, di pinggir aspal hanya ada lahan-lahan kosong atau perkebunan. Seratusan meter di depannya, di sisi kanan jalan, terdapat gundukan tanah menyerupai bukit rendah. Di lokasi yang sepi, di puncak itu, makam Sang Panglima terlindung rimbun pepohonan.
Hari itu, Hendri Abik, pemuda Gampong Lamsie, menemani ziarah saya ke Makam Teuku Panglima Polem IX. Pahlawan Aceh yang mengusir penjajah Belanda. Dari beragam catatan mengenai Sang Panglima, tidak ada riwayat yang jelas mengenai tanggal lahir dan waktu wafat sosok bernama lengkap Teuku Panglima Polem Sri Muda Perkasa Muhammad Daud itu.
Makam ini terpaut sekitar 1,5 kilometer dari Jalan Nasional Banda Aceh-Medan. Kedatangan kami ke makam disambut pintu pagar besi yang patah dan lantai yang berantakan. Sayang, makam bersejarah ini tak terurus.
ADVERTISEMENT
Gerbang masuk dikelilingi gapura beton, warna putihnya memudar kehitam-hitaman. Kaki kami selanjutnya menapaki anak tangga keramik yang ditumbuhi rumput menuju sebuah bangunan beratap di puncak bukit.
Gerbang makam Panglima Polem, tak terurus. Foto: Habil Razali/acehkini
Di sisi kiri-kanan anak tangga, batu-batu nisan menjulang. Di antaranya, terdapat makam-makam baru yang tanggal meninggal terpahat di nisan. "Makam-makam di sekitar ini juga keturunan dari Panglima Polem," kata Hendri.
Di tanah tertinggi di puncak itu, makam Panglima Polem berada dalam sebuah bangunan dengan pondasi berwarna putih dan berdinding terali besi. Langit-langit bangunan itu nyaris terkelupas ke bawah. Dari luar, pandangan tembus ke dalam makam. Di balik terali, beton setinggi semeter melingkari makam.
Pada hari biasa, makam ini sangat sepi. Hanya terdengar semilir angin berembus yang menggoyangkan dahan-dahan pohon. Orang-orang Kuta Cot Glie bakal ke makam ini ketika menggelar Kenduri Blang (turun sawah) atau saat melepas nazar.
ADVERTISEMENT
"Makam ramai dikunjungi saat Kenduri Blang dan melepas hajat," ujar Hendri.
***
Panglima Polem (ketiga kiri) saat diundang petinggi Belanda. dok. Tropenmuseum-KITLV Belanda, 1900.
Panglima Polem adalah gelar untuk pemimpin sebuah wilayah di bawah Kesultanan Aceh Darussalam. Dalam sistem pemerintahan Kesultanan Aceh, Panglima Polem ialah pejabat Panglima Sagoe XXII Mukim (Pedalaman Aceh Besar) dengan gelar tambahan Sri Muda Setia Peurkasa.
Sedangkan untuk sebelah kanan Aceh Besar Panglima Sagoe Mukim XXVI bergelar Sri Imam Muda dan untuk sebelah kiri Mukim XXV bergelar Setia Ulama. Masing-masing Panglima Sagoe membawahi para Uleebalang, Imuem Mukim, dan Keuchik. Tetapi, gelar Panglima Polem hanya dimiliki oleh wilayah Sagoe di kawasan pedalaman saja.
Muhammad Daud namanya, diangkat sebagai Panglima Polem pada masa pemerintahan Sultan Tuanku Muhammad Daud Syah (1884-1903). Sebagai tangan kanan Sultan, selain Teuku Umar, Panglima Polem salah seorang tokoh yang paling banyak menentukan nasib akhir dari Kesultanan Aceh Darussalam.
ADVERTISEMENT
Ayahnya bernama Panglima Polem VIII Raja Kuala anak dari Teuku Panglima Polem Sri Imam Muda Mahmud Arifin yang juga terkenal dengan nama Cut Banta (Panglima Polem VII (1845-1879). Mahmud Arifin merupakan Panglima Sagoe XXVI Mukim Aceh Besar.
Setelah dewasa, Teuku Panglima Polem Muhammad Daud menikah dengan salah seorang putri dari Tuanku Hasyim Banta Muda, tokoh Aceh yang seperjuangan dengan ayahnya. Dia diangkat sebagai Panglima Polem IX pada Januari 1891, menggantikan ayahnya, Panglima Polem Raja Kuala, yang telah mangkat.
Lokasi makam Panglima Polem. Foto: Habil Razali/acehkini
Setelah pengangkatannya sebagai panglima, dia kemudian mempunyai nama lengkap Teuku Panglima Polem Sri Muda Setia Perkasa Muhammad Daud.
Dia turut bergerilya melawan Belanda. Pada tahun 1896, pasukan Panglima Polem bergabung dengan Teuku Umar melawan Belanda yang masih sulit mencapai kubu-kubu pertahanan Aceh.
ADVERTISEMENT
Pada tahun 1897, Belanda terpaksa menambah pasukannya di Aceh. Sejak saat itu, serangan pihak Aceh mulai menurun dan Teuku Umar pun mengambil jalan pintas mengundurkan diri ke daerah Daya Hulu. Untuk mengelabui Belanda tentang keberadaannya, Teuku Umar meninggalkan Panglima Polem bersama pasukannya di wilayah pegunungan Seulimeum.
Dalam sebuah pertempuran di Gle Yeueng, Belanda akhirnya berhasil menguasai tiga benteng yang didirikan oleh Panglima Polem. Pada Oktober 1897, wilayah Seulimuem dikuasai oleh Belanda tanpa banyak perlawanan, dan Panglima Polem terpaksa bergeser ke Pidie.
Di Pidie, Panglima Polem berjuang bersama Sultan Muhammad Daud Syah dan Teuku Umar. Pada awal tahun 1901, pasukan ini kemudian bergeser ke daerah Gayo dan menjadikan daerah itu pusat pertahanan Aceh.
ADVERTISEMENT
Karena gagal menangkap Sultan, Belanda kemudian menjalankan strategi licik. Belanda menangkap istri sultan, Teungku Putroe, di Glumpang Payong dan Pocut Cot Murong; serta putra sultan di Lam Meulo.
Setelah menangkap mereka, Belanda mengancam sultan: apabila sultan tidak menyerahkan diri dalam tempo satu bulan, maka kedua istrinya akan dibuang.
Terdapat beberapa makam keluarga di samping makam Panglima Polem. Foto: Habil Razali/acehkini
Mendapat ancaman itu, pada 10 Januari 1903, Sultan Muhammad Daud Syah terpaksa berdamai dengan Belanda. Penjajah kemudian mengasingkannya ke Ambon dan terakhir dipindahkan ke Batavia hingga wafat di sana pada 6 Februari 1939.
Hal ini pula yang menyebabkan Teuku Panglima Polem Sri Muda Perkasa Muhammad Daud,terpaksa berdamai dengan Belanda pada 7 September 1903. Selanjutnya Panglima Polem tetap diakui oleh Belanda sebagai Panglima Sagoe XXII Mukim. Beliau terus membantu penjuangan melawan penjajah sampai wafat pada tahun 1939. []
Panglima Polem saat berdamai dengan Belanda, di kediaman Gubernur Militer Belanda (sekarang Pendapa Gubernur Aceh), Banda Aceh. dok. Tropenmuseum-KITLV Belanda, 1903.
Reporter: Habil Razali
ADVERTISEMENT