Konten Media Partner

Melihat Sisa Perang di Rumah Cut Nyak Dhien, Aceh Besar

29 September 2019 11:41 WIB
clock
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Rumah Cut Nyak Dhien, di kawasan Lampisang, Aceh Besar. Foto: Adi Warsidi/acehkini
zoom-in-whitePerbesar
Rumah Cut Nyak Dhien, di kawasan Lampisang, Aceh Besar. Foto: Adi Warsidi/acehkini
ADVERTISEMENT
Foto-foto perlawanan melawan penjajahan Belanda menghiasi dinding, juga senjata-senjata tajam. Tetata rapi, terawat baik. Ramai dikunjungi para pelancong tak hanya dari nusantara, tapi juga mancanegara.
ADVERTISEMENT
Rumah penjuang perempuan paling terkenal di Aceh, Cut Nyak Dhien, terletak di Desa Lampisang, Kecamatan Peukan Bada, Aceh Besar. Sekitar 10 kilometer dari pusat Kota Banda Aceh. Tempat itu kini, menjadi museum cagar budaya.
Tangga masuk ke Rumah Cut Nyak Dhien. Foto: Adi Warsidi/acehkini
Berbentuk Rumoh Aceh (rumah adat Aceh), bangunan seluas 25x17 meter berdiri di atas tanah area 2.200 meter. Dominan hitam dengan ukiran warna-warni di beberapa bagian. “Rumah ini replika sesuai rumah asli dulunya,” kata Asiah M Yusuf, penjaga rumah kepada acehkini saat berkunjung ke sana, Minggu (22/9).
Rumah asli Cut Nyak Dhien dibakar habis Belanda pada 1896, setelah suaminya, Teuku Umar diketahui pura-pura membelot kepada penjajah, padahal hanya taktiknya saja. “Saat dibakar, hanya sumur yang tersisa. Dan sumur di belakang itu masih asli seperti dulu,” jelas Asiah. Sumur mempunyai kedalaman sekitar 10 meter.
Sumur di rumah Cut Nyak Dhien, satu-satunya yang tertinggal setelah dibakar Belanda. Foto: Adi Warsidi/acehkini
Sumur yang dipakai Cut Nyak Dhien dulunya. Foto: Adi Warsidi/acehkini
Cut Nyak Dhien dan Teuku Umar, adalah pahlawan nasional dari Aceh. Mereka dikenal sebagai suami istri yang tangguh melawan penjajah Belanda, terlibat banyak perang. Setelah Teuku Umar meninggal pada 11 Februari 1899 di Meulaboh, Aceh Barat, Cut Nyak Dhien terus memimpin pasukan Aceh bergerilya dari hutan ke hutan.
ADVERTISEMENT
Setelah bertahun-tahun memimpin perang, kesehatannya menurun dan penglihatannya mulai kabur. Salah seorang panglimanya, Pang Laot Ali merasa iba dengan kondisinya, lalu membuat perjanjian dengan Belanda. Syaratnya, Belanda harus merawat Cut Nyak Dhien.
Foto Cut Nyak Dhien dan Teuku Umar di dalam rumah. Foto: Adi Warsidi/acehkini
Senjata parang yang dipajang di Rumah Cut Nyak Dhien. Foto: Adi Warsidi/acehkini
Belanda setuju, lalu ditawankan Cut Nyak Dhien dan dibawa ke Banda Aceh. Dalam pengawasan Belanda, Cut Nyak Dhien masih berkomunikasi dengan para pejuang. Hal ini diketahui penjajah, lalu mengasingkannya ke Sumedang, Jawa Barat pada 1906. Beliau meninggal pada 6 November 1908 di pengasingan dalam usia 60 tahun, makamnya terawat baik di Sumedang hingga kini.
Mengenang perjuangannya, pemerintah berinisiatif membangun kembali rumahnya sebagai museum, pada 1981. Usai rampung, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan saat itu, Fuad Hasan, meresmikan rumah Cut Nyak Dhien sebagai museum cagar budaya, pada 1987.
Foto Cut Nyak Dhien saat ditawan Belanda terpajang di rumahnya. Foto: Foto: Adi Warsidi/acehkini
Pajangan foto-foto di Rumah Cut Nyak Dhien. Foto: Adi Warsidi/acehkini
Menurut Asiah, pemandu wisata di sana, rumah panggung itu disangga 65 tiang kayu. Di dalamnya lengkap fasilitas seperti dulu, terdiri dari beberapa kamar termasuk untuk pembantunya. Di sana juga terdapat silsilah keluarga Cut Nyak Dhien.
ADVERTISEMENT
Di beberapa ruangan, terdapat kursi-kursi dan meja, tempat pejuang itu menyusun strategi perang dulunya. Ada juga beberapa koleksi senjata yang dipajang, yaitu rencong dan parang. Dahulu, alat perang ini digunakan oleh Cut Nyak Dhien. “Sebagian manuskrip didatangkan dari Belanda,” jelas Asiah. []Kurdi
Kursi di dalam rumah Cut Nyak Dhien. Foto: Adi Warsidi/acehkini
Bagian serambi depan rumah Cut Nyak Dhien. Foto: Adi Warsidi/acehkini
Sumur dari luar rumah. Foto: Adi Warsidi/acehkini
Rumah ini dibangun kembali sesuai aslinya pada 1981. Foto: Adi Warsidi/acehkini
Rumah dominan warna hitam, dengan ukiran warna-warni. Foto: Adi Warsidi/acehkini
Reporter: Adi Warsidi