Konten Media Partner

Meliput Konflik Aceh: Merekam Laju Peluru, Hampir Mati di Simpang KKA

22 Agustus 2019 13:26 WIB
clock
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Masyarakat memperingati tragedi Simpang KKA, 3 Mei 2018 lalu. Dok. KKR Aceh
zoom-in-whitePerbesar
Masyarakat memperingati tragedi Simpang KKA, 3 Mei 2018 lalu. Dok. KKR Aceh
“Pengalaman apa yang paling teringat, hingga membuat Abang selalu membenci konflik?” tanya saya suatu hari pada Ali Raban, jurnalis peliput konflik Aceh.
ADVERTISEMENT
“Simpang KKA,” jawabnya singkat. Tragedi itu hampir menghilangkan nyawanya saat melakukan liputan. Peristiwa itu terjadi di simpang Kertas Kraft Aceh (KKA), Dewantara, Kota Lhokseumawe, 3 Mei 1999 silam.
Beberapa kali di tanggal tersebut, Ali mengenangnya dengan cara sendiri, menulis di laman media sosialnya. Seperti dalam status Facebook-nya pada 3 Mei 2018, dia menulis:
"Masih segar dalam ingatan saya saat merekam tragedi simpang KKA pada 3 Mei 1999, atau 19 tahun yang lalu. Masih terasa desingan peluru, masih terdengar jeritan kematian, masih terasa getaran ketakutan, masih terbayang dan selalu terbayang tragedi itu... Alfatihah untuk syuhada Simpang KKA."
Kenangan telah tuntas ditulis olehnya, bahkan oleh beberapa wartawan, termasuk telah dibukukan. Tapi Ali, belum dapat melupakannya hingga kini. Begini kisahnya.
Ali Raban, jurnalis yang meliput di Simpang KKA. Dok. Pribadi
Tragedi itu berawal Sabtu 1 Mei 1999, Ali Raban masih bekerja sebagai kamerawan RCTI. Seperti biasa, saban pagi dia berangkat dari rumah ke Kota Lhokseumawe berkumpul bersama kawan jurnalis, di Warung Kopi Atra, sambil mencari informasi liputan.
ADVERTISEMENT
Sedang asyik ngopi, seorang sopir bus yang telah tahu lokasi mangkal jurnalis mengabarkan di Kantor Kecamatan Dewantara sedang ada aksi demonstrasi. Demo dipicu oleh kekesalan warga karena TNI menahan beberapa keluarga mereka, setelah adanya kabar ada anggota TNI dari Kesatuan Den Rudal 001/Pulo Rungkom hilang pada 30 April 1999.
Ali Raban dan rekannya bergerak ke lokasi menempuh perjalanan sekitar 23 kilometer. Warga masih demo di kantor Kecamatan Dewantara, menuntut agar TNI tak masuk kampung melakukan operasi masif, serta meminta warga yang diduga ditahan dapat bebas. Camat Dewantara, M Amin berjanji akan meminta aparat supaya memenuhi tuntutan. Aksi bubar sore harinya.
Keesokan harinya, warga yang ditahan belum bebas. Aksi berlangsung kembali, mereka yang marah mulai melempar kantor camat setempat. Dua truk reo TNI datang melepaskan tembakan ke udara, massa bubar.
ADVERTISEMENT
Senin 3 Mei 1999, aksi masih terus berlangsung. Ali Raban; bersama rekannya, Umar HN; dan reporter RCTI dari Jakarta (saat itu), Imam Wahyudi, kembali berangkat ke lokasi, setelah ada kabar bahwa ribuan massa telah berkumpul di Simpang KKA untuk menuju markas Den Rudal Pulo Rungkom.
Mereka tiba di dekat lokasi, warga memblokir jalan di sekitar simpang PT Pupuk Iskandar Muda. Mobil parkir di tempat aman dan bergabung jalan kaki melakukan tugas jurnalistik di tengah kerumunan. Sambil berjalan, Ali melihat massa berlari ke Simpang KKA, sebagian membawa parang, kayu, dan senjata tajam lainnya.
Ali sempat bertanya kepada seorang warga, apa gerangan yang akan mereka lakukan. Jawabannya, mereka mau ke Den Rudal, mau membebaskan warga yang ditahan di sana.
ADVERTISEMENT
Di Simpang KKA, ribuan massa mengelilingi empat truk TNI. Warga kampung termasuk perempuan dan anak-anak berteriak "Merdeka! Merdeka!" Terlihat di sana ada Camat Dewantara, pin logo camat di bajunya sudah copot dengan bekas koyakan.
Tengah hari, massa semakin ramai. Ali melihat ada tokoh warga yang sedang berbicara dengan TNI di dekat truk reo yang parkir berjejer. Ali merasa haus dan sialnya air lupa dibawa, sementara warung-warung sekitar tutup. Dia melihat seorang anak, usia sekitar 10 tahun memegang botol air mineral, dimintanya sedikit untuk melepas dahaga.
Dokumen tragedi Simpang KKA. Dok. Istimewa
Truk TNI masih berhadapan dengan massa, ketika pasukan bantuan datang makin ramai ke lokasi. Sebagian warga duduk di pinggir jalan dan selasar warung-warung. Tiba-tiba satu sepeda motor datang dari arah Pulo Rungkom, massa berdiri lalu terdengar bunyi senjata, warga tiarap. Setelah tenang, warga berdiri lagi, saat itulah rentetan senjata menyala terus-menerus dari TNI yang berada di pinggir jalan.
ADVERTISEMENT
Massa tiarap dan berhamburan menghindari peluru. Ali merapatkan diri di trotoar jalan. Kamera di atas kepalanya dihidupkan untuk merekam. Dia melihat banyak massa tumbang, jerit dan teriakan terdengar di mana-mana memenuhi telinganya. Selang lima menit kemudian, bunyi senjata berhenti. Massa berlari ke tempat aman.
Ali masih tiarap tak jauh dengan Imam Wahyudi. Seorang aparat membentak. “lni yang kalian inginkan, (nama binatang) kalian semuanya.”
Mereka terdiam, saat seorang Komandan TNI memanggil bawahannya. “Hei, tinggalkan mereka.” Tak lama kemudian, aparat pergi dari lokasi kembali ke markasnya.
Mayat bergelimpangan, sebagian lagi terluka tembak. Ali melihat anak bersimbah darah tak jauh dari tempatnya, dia gemetaran merinding dan berlinang air mata mengetahui anak itulah yang memberinya air tadi. “Sampai kini, itu tak pernah saya lupakan,” kisahnya.
ADVERTISEMENT
Warga yang selamat mengurus yang luka dan meninggal, tak lama kemudian beberapa mobil dan ambulans datang membawa korban ke rumah sakit dan puskesmas terdekat. Ali, Imam, dan Umar kemudian meninggalkan lokasi kembali ke Lhokseumawe.
Tugu peringatan Simpang KKA. Dok. KontraS Aceh
Setiba di rumah, Ali menangis melihat anaknya, Muammar, yang masih berumur 25 hari, dia menangis membayangkan kejadian hampir merenggut nyawanya. Kini, Muammar sudah 20 tahun dan kuliah di Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh. Pengalaman ini juga dituliskannya dalam buku yang kami garap bersama kawan-kawan lainnya; berjudul “Rindu tanpa Perang: Pengalaman Jurnalis Meliput Konflik Aceh”.
***
Atas desakan berbagai pihak, Pemerintah Indonesia pada tahun 2000 melakukan penyelidikan terhadap tragedi itu, membentuk Komisi Independen Pengusutan Tindak Kekerasan di Aceh sesuai Keputusan Presiden Nomor 88/1999. Dalam laporannya, komisi melaporkan sebanyak 39 warga meninggal, 156 mengalami luka tembak, dan 10 dinyatakan hilang. Laporan Koalisi NGO HAM Aceh menyebutkan jumlah yang meninggal berbeda: 46 orang, tujuh di antaranya anak-anak.
ADVERTISEMENT
Perjanjian damai antara Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) disepakati 15 Agustus 2005, konflik Aceh berakhir meninggalkan kisah-kisah pilu. Tragedi Simpang KKA rutin diperingati setelah damai di lokasi kejadian, dengan renungan dan doa bersama oleh masyarakat dan LSM.
Dok Komnas HAM tentang status tragedi Simpang KKA.
Kasus itu terus menjadi sorotan. Pada 22 Juni 2016, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyimpulkan terdapat bukti pelanggaran HAM berat pada peristiwa Simpang KKA. Bukti didapat setelah lembaga itu melakukan penyelidikan menyeluruh.
Komnas HAM juga mengajukan hasil penyelidikan kasus ke DPR dan Kejaksaan Agung, serta mengajukan permohonan dukungan untuk segera ditindaklanjuti, maupun dibentuk Pengadilan HAM Adhoc untuk peristiwa Simpang KKA yang terjadi sebelum terbitnya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
ADVERTISEMENT
Mengingat peristiwa Simpang KKA, pada 3 Mei 2019, Koalisi NGO HAM Aceh mengirim surat kepada Presiden Republik Indonesia agar menyelesaikan kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat di Provinsi Aceh. Mereka meminta Presiden menerbitkan peraturan tentang pemulihan korban pelanggaran HAM di Aceh secara komprehensif dan holistik.
Sampai kini, peristiwa aksi massa yang berujung tragedi di Simpang KKA masih membekas di benak Ali, juga sebagian besar masyarakat Aceh lainnya. “Kita wajar mengingatnya kisah-kisah duka masa konflik, semata-mata untuk saling mengingatkan dan mencegah agar tak lagi terulang,” kata Ali. []
Penulis: Adi Warsidi