Meliput Markas GAM Saat Konflik Aceh: Dikira Intel, Terancam Dibunuh

Konten Media Partner
18 Agustus 2019 12:42 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Kenangan bersama Irwansyah saat konflik Aceh. Dok. Adi Warsidi
zoom-in-whitePerbesar
Kenangan bersama Irwansyah saat konflik Aceh. Dok. Adi Warsidi
Konflik tak pernah menyenangkan siapa pun, tak terkecuali jurnalis. Saat konflik Aceh berlangsung, aku mengalami pengamalan tak mengenakkan kala memaksa masuk ke markas GAM di kawasan perbukitan Cot Lame, Aceh Besar. Aku sempat disangka intelijen TNI. Ancamannya tak main-main: Dikuliti alias dibunuh. Begini kisahnya.
ADVERTISEMENT
Di antara sekian banyak narasumberku saat konflik, Juru Bicara GAM Wilayah Aceh Rayeuk, Irwansyah alias Tgk Muchsalmina, adalah yang paling sering kuhubungi melalui telepon. Saban kontak senjata antara GAM dan TNI-Polri di wilayah Aceh Besar, keterangannya selalu kuminta. Juga tanggapannya soal perang dan persoalan di kalangan kombatan.
Saban menghubunginya, keinginan masuk ke markasnya selalu ku sampaikan. Tapi selalu dilarang dengan alasan keamanan. Sampai tsunami Aceh menerjang pada 26 Desember 2004, perang sempat rehat sejenak. Semua personel GAM dan TNI-Polri menahan diri, ikut berduka karena banyaknya saudara dan rekan mereka yang menjadi korban.
Ini kesempatan bagiku untuk menawarkan diri kembali masuk ke markasnya dan disetujui. Aku menghubunginya dengan telepon seluler. Irwansyah sempat menolak dengan alasan banyak TNI di sekitar markasnnya, “Mustahil abang bisa masuk, TNI sangat banyak di sekitar sini,” katanya kala itu.
ADVERTISEMENT
Terus berusaha dan setelah tawar-menawar selama tiga hari, Irwansyah mengalah dan mengizinkan saya masuk ke wilayahnya. Sebuah nomor narapenghubung diberikan, orang yang nantinya menunggu di desa terakhir sebelum hutan, Desa Cot Lame.
Tiba waktu kesepakatan. Jumat pagi 14 Januari 2005, aku sendiri ke sana melewati beberapa pos TNI sepanjang jalan untuk sampai ke kampung terakhir yang berbatas gunung, Cot Lame.
Sebelumnya telah ku sampaikan rencana itu kepada kawanku, (alm) Fakhrurradzie Gade, hanya kepada dia. Ilmu jurnalistik meliput konflik yang ku pelajari dari senior sebelumnya, Stanley Adi Prasetyo, mengharuskan ada satu rekan diberitahu, jika ingin meliput hal-hal berbahaya, dan rahasia.
Aku mempersiapkan segalanya. Senter dan sehelai sarung yang biasa ku pakai, ku masukkan ke dalam tas, lalu mampir ke warung untuk berbelanja beberapa bungkus rokok, sekadar oleh-oleh. Irwansyah juga memesan beberapa batere kering untuk dibawa serta.
ADVERTISEMENT
Pukul 10:00 WIB, sebelum jemaah Jumat menuju masjid, aku tiba tanpa kendala. Di pusat desa terakhir, singgah pada sebuah warung membaca situasi. Pandangan tertuju pada meunasah desa di depannya, sepertinya ada beberapa pengungsi tsunami yang menempati tempat itu. Sebuah spanduk menjadi tanda, bertuliskan “Di sini ada pengungsi Tsunami.”
Irwansyah (kanan) bersama rekannya. Foto: Adi Warsidi
Aku menghubungi nomor penghubung yang diberikan, memberitahukan keberadaan. Berbilang menit, dia datang bersama seorang kawannya yang pincang dengan bekas luka terbalut perban. Mereka memperkenalkan diri, penuh selidik dia bertanya "Dari mana? Untuk keperluan apa bertemu?", dan beberapa lainnya seperti ujian lisan. Dia terlihat beberapa kali menelepon.
Setelah lulus, aku langsung memacu sepeda motor mengikuti mereka ke arah perbukitan terhampar di depan mata. Melewati persawahan, sekitar satu kilometer ke luar kampung. Kami tiba di jalan yang telah dipagari. Aku berhenti mengikuti petunjuk. “Di sini abang akan dijemput,” sebut penghubung itu.
ADVERTISEMENT
Pada sebuah kebun kosong, di bawah pokok sawo, aku terduduk dan membuka tas mengambil air minum. Kuteguk, lalu ku tawarkan kepada dua penghubung itu, mereka menolak. Sebungkus rokok putih ku keluarkan, kali ini mereka tidak menolak untuk mencobanya. Asap mengepul dari mulut kami bertiga.
Tak lama, aku melihat dua orang menuruni bukit lalu hilang ditelan semak. Sesaat, muncul lagi menjejak pematang sawah, sampai aku melihat jelas mereka menenteng senjata. Sampai di depan mata, mereka memberi salam. Saya menjawabnya.
Jelas ku perhatikan senjata yang mereka bawa, satu M-16 dan satu lagi AK-56 bergagang kayu. “Maaf, saya harus memeriksa abang,” sebutnya dalam bahasa Aceh.
Seluruh tubuh digeledah, saya sudah biasa mengalaminya. TNI dan Polri juga sering melakukan hal yang sama saat memeriksa, prosedur militer. Ransel yang ku panggul tak luput dari pemeriksaan, sampai kantong-kantong terkecil. “Maaf, tas saya bawa, kita berangkat,” sebutnya.
ADVERTISEMENT
Yang berumur lebih tua--belakangan aku tahu dia ahli elektronik--berjalan di depan. Lalu aku, satu penghubung, dan GAM penenteng AK-56, lebih muda mungkin sekitar 25 tahun. Seorang penghubung lagi minta izin pulang karena tidak mungkin mendaki bukit, kakinya luka.
Helikopter menderu di atas bukit, semuanya sedang sibuk menyalurkan bantuan untuk para korban tsunami. 30 menit berjalan kaki menanjak, kami tiba di tempat Irwansyah. Sebuah rangkang (balai) kecil di tengah bukit dengan pohon di sana-sini, menjadi tempat berteduh.
“Inilah tempat kami sementara, abang orang yang pertama bertamu setelah tsunami,” sambut Irwansyah.
Tempat tak terlalu rindang, tanpa pohon besar. Beberapa batang sukun dan lainnya tumbuh diselingi batu-batu gunung hitam. Rerumputan laiknya permadani lebar menutupi tanah. Kombatan GAM Aceh Besar menyebut lokasi itu dengan sandi “Bak Sukon”.
ADVERTISEMENT
Irwansyah memakai baju loreng yang dipadukan jeans cokelat, dengan M-16 dalam dekapannya. Tubuh kurus, celananya terlihat longgar, kumis dan jenggot tipis hiasi wajah.
Aku melihat rekannya, sekitar delapan orang. Dia membaca pikiran saya. “Jangan khawatir, di atas bukit itu anggota berjaga-jaga dan memantau kita,” sebutnya sambil menunjuk.
Irwansyah (dua kanan) bersama rekannya di hutan Aceh Besar. Foto repro: acehkini/Dok. Irwansyah
Sambil memperkenalkan satu per satu nama anggotanya, Irwansyah mengatakan kalau markas mereka sebenarnya ada di atas bukit, sekitar 30 menit lagi berjalan kaki. Di situ adalah tempat mereka biasa menerima tamu dari kalangan wartawan. Tak ada menu makan siang itu, hanya buah batok dan kelapa tua menjadi makanan kami mengisi perut setelah dicarikan para kombatan GAM.
Saat itu, GAM telah melakukan gencatan senjata sesuai dengan perintah komando pusat di Tiro, Pidie. Dikeluarkan satu hari setelah tsunami menguncang Aceh. Alasannya, agar semua leluasa berbenah pascabencana. Artinya, “GAM hanya menggunakan senjata apabila diserang,” katanya.
ADVERTISEMENT
Gencatan senjata juga diserukan oleh Presiden Indonesia saat itu, Susilo Bambang Yudhoyono. Di atas kertas, TNI-Polri dan GAM sepakat tak saling menyerang di lapangan. Semua fokus untuk memikirkan kondisi Aceh yang poranda.
Banyak pasukan GAM kemudian turun gunung untuk melihat keluarganya, kalau-kalau menjadi korban tsunami. Sampai satu pekan setelah bencana, mereka ikut serta memindahkan mayat, memberikan logistik guna membantu masyarakat pesisir pantai.
Kendati sedang gencatan, kata Irwansyah saat itu, tak berarti mereka terus aman. Terjadi beberapa kali kontak tembak saat tsunami berumur muda. Misalnya, saat tsunami berbilang jam, terjadi kontak tembak pada sore hari, 26 Desember 2004, di Krueng Raya, Aceh Besar.
“Pada saat kami mengantarkan beras ke masyarakat, pihak TNI memberondong kami,” sebutnya.
ADVERTISEMENT
Tiga hari kemudian, anggota GAM juga kepergok dengan TNI saat sedang membantu mengevakuasi mayat di kawasan Lhoong, Aceh Besar. Selanjutnya kisaran sepekan, 5 Januari 2005, salah seorang anggota Irwansyah, bernama Hamdani, ditembak di Ie Masen, Lampineung, Banda Aceh, saat pulang melihat keluarganya yang terkena musibah tsunami.
Keberadaan GAM yang berusaha membantu masyarakat pascatsunami, menimbulkan kekhawatiran sendiri bagi warga, karena sering menimbulkan kontak saat beradu TNI/Polri. Perlahan-lahan, pengakuan Irwansyah, GAM mundur teratur kembali ke hutan untuk menghindar.
“Kami tidak ingin masyarakat Aceh bertambah traumanya, makanya setelah seminggu, kami tidak ikut lagi membantu evakuasi,” kisahnya.
Aku ingat benar saat sedang wawancara, handphone Irwansyah berbunyi. Perhatian tertuju ke sana, handphone bermerek Nokia 3315 yang terlihat aneh karena charger-nya langsung terhubung dengan dua baterai kering. Siasat di tengah hutan, tanpa listrik.
ADVERTISEMENT
Yang barusan menelpon adalah seorang wartawan nasional, Nezar Patria, ingin meminta komentarnya soal keberadaan GAM. Dia menolak, “Saya sedang wawancara dengan seorang wartawan, nanti mohon ditelepon lagi,” katanya. Ternyata baterai kering yang dipesannya kepadaku adalah untuk kepentingan mengisi power handphone-nya.
Setelah proses wawancara selesai, giliran pengambilan foto. Mereka bergaya dengan seragam loreng dan aneka senjata. “Kita harus foto berdua,” Irwansyah mendekatiku. Kamera digital kuberikan pada Si Ahli Elektronik, dia membidik. Aku masih menyimpannya sampai sekarang.
Menjelang senja, aku turun meninggalkan hutan, menolak ajakannya untuk bermalam. Irwansyah dan rekan seperjuangannya masih harus menunggu sembilan bulan kemudian.
***
Setelah damai bersemi di Aceh, 15 Agustus 2005. Aku kerap bertemu Irwansyah. Suatu hari, tak lama setelah dia turun gunung, dia bercerita kembali tentang percakapannya dengan Si Penghubung saat akan menemuinya.
Irwansyah, saat menjabat sebagai Ketua TKD Aceh dalam Pileg 2019, bersama Presiden Joko Widodo. Dok. Irwansyah.
Si Penghubung ternyata ragu kalau aku adalah jurnalis karena dinilainya lebih mirip intelijen pemerintah. “Dulu abang disebut mirip intel oleh penghubung saya, karena mungkin gondrong,” kisahnya kembali. Maklum, sebelumnya kami tak pernah bertemu muka.
ADVERTISEMENT
Penampilanku saat itu gondrong, rambut ikal melewati bahu dengan berewokan tipis. Banyak intel TNI/Polri di Aceh kala itu, punya penampilan yang sama. Bahkan, beberapa anggota TNI/Polri, juga mengiraku sebagai intelijen mereka.
Lalu Irwansyah menyakinkan Si Penghubung untuk membawa ku ke tempatnya. Dengan kata yang membuatku merinding, jika mengingatnya kini. “Menye betoi intel, tapluek kulet ulee sinoe (kalau benar intel, kita kuliti kepalanya di sini),” katanya membuka rahasia.
“Tapi ternyata tidak,” sambungnya kemudian. Untung saja, aku sangat menyakinkan sebagai jurnalis ketika bertamu ke markasnya. Kini, kami masih terus saling bertemu, berbagi kisah masa lalu yang kelabu. []
Penulis: Adi Warsidi