Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten Media Partner
Memperingati 14 Tahun Perdamaian di Serambi Makkah
15 Agustus 2019 13:27 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:18 WIB
ADVERTISEMENT
Pada 15 Agustus 2005, tepatnya menjelang salat dzuhur, sekitar lebih dari 1.000 warga Aceh memadati halaman Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh. Tujuan mereka untuk berdoa sekaligus nonton bareng detik-detik menjelang penandatanganan kesepakatan damai di Helsinki, Finlandia.
ADVERTISEMENT
Beberapa televisi terpasang di area tersebut, ditambah satu layar besar. Berbagai televisi swasta secara langsung merekam suasana penandatanganan Damai Aceh dari Helsinki yang berlangsung tepat pukul 15.00 WIB atau pukul 11.00 waktu Helsinki.
Warga bersorak girang, menyaksikan para petinggi Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), yang difasilitasi Crisis Management Initiative (CMI), membubuhkan tanda tangan di dokumen Memorandum of Understanding (MoU). Ini menjadi tanda bahwa perang resmi berhenti di Aceh.
“Mulai hari ini dan seterusnya, masyarakat Aceh akan hidup dalam kedamaian. Jauh dari kesengsaraan yang telah dialami oleh masyarakat Aceh selama 30 tahun,” sebut Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat, Alwi Shihab, dalam pidatonya yang kala itu khusus hadir menemani massa di Masjid Raya.
ADVERTISEMENT
***
Kisah kesepakatan damai Aceh bukan didapat serta merta. Bencana gempa dan tsunami menjadi pemicu kedua pihak bertikai untuk merancang kembali perundingan. Sudah cukup banyak warga Aceh yang meninggal akibat bala dahsyat itu.
Bencana gempa dan tsunami terjadi tepat pada Minggu pagi, 26 Desember 2004. Kala Aceh masih konflik dengan status darurat sipil. Kejadian tersebut pun kemudian mencatatkan sejarah baru di Aceh. Gempa berkekuatan 8,9 magnitudo, berpusat sekitar 149 kilometer selatan di Meulaboh, ibu kota Kabupaten Aceh Barat, dengan kedalaman 20 kilometer.
Seperempat jam selanjutnya, air laut surut. Setengah jam kemudian, air menggunung di tengah laut, menerjang pantai. Kecepatannya diperkirakan 800 kilometer per jam. Suaranya menderu seperti pesawat terbang sedang take off. Radius satu kilometer dari pesisir pantai barat Aceh rata oleh ombak gergasi yang tingginya mencapai 14 meter.
ADVERTISEMENT
Panik dan jeritan manusia menyeruak dan tak terbendung. Kerusakan terparah yang ditimbulkan akibat bencana alam sepanjang abad modern.
Kota-kota pesisir Aceh ‘tenggelam’ menjadi puing. Banda Aceh, pesisir Aceh Besar, Calang, Meulaboh, sempat hilang dari peta tergenang air berwarna hitam pekat. Meski begitu, bagian pesisir Aceh lainnya tak separah kota-kota itu.
Sehari setelah bencana, pemerintah menetapkannya sebagai hari berkabung nasional dan darurat kemanusiaan. Pada 30 Desember 2004, Badan Koordinasi Nasional Penanganan Bencana dan Pengungsi (Bakornas PBP) dibentuk, dan dipimpin Wakil Presiden Yusuf Kalla. Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat (Menko Kesra), Alwi Shihab, ditunjuk sebagai ketua harian dan berkantor di Pendopo Gubernur Aceh.
Seminggu Aceh lumpuh total dan gelap gulita. Informasi tak tentu, pengungsi membludak, mayat-mayat bergelimpangan di mana-mana. Tangis dan air mata tak terbendung. Relawan dari seluruh pelosok Indonesia dan penjuru dunia berbondong ke Aceh mengirimkan bantuan, tak pernah putus sampai sekarang. Gempa masih sering mengguncang Aceh dalam hitungan ribuan. Gempa terbesar terjadi pada 28 Maret 2005, yang membuat Nias dan Pulau Simeulu porak-poranda. Kerusakan bertambah besar dan korban kembali berguguran.
ADVERTISEMENT
Setelah tsunami, Aceh dikenal di seluruh pelosok dunia, sebagai daerah bencana. Meskipun, sebagian negara-negara di dunia telah mengenal Aceh lebih dulu lewat kisah konflik antara GAM dan Pemerintah Indonesia.
Tsunami kemudian menjadi 'pendobrak pintu' Aceh yang selama ini tertutup, ketika konflik dilabeli urusan internal dan tak boleh dicampuri asing. Saat akses terbuka, publik dunia pun tercengang. Bukan hanya tsunami, tetapi juga kisah perang yang teramat panjang.
Korban jiwa akibat bencana tsunami dan gempa sebanyak 129.775 orang tewas, 36.786 hilang, dan setengah juta orang menjadi pengungsi. Mereka hidup di tenda-tenda pengungsian. Sementara itu, dari segi materil, 120.000 rumah rusak atau hancur, 800 kilometer jalan, 2.260 jembatan rusak atau musnah, 693 fasilitas kesehatan (rumah sakit, Puskesmas, Pos Imunisasi, dan klinik) rusak atau hancur dan 2.224 gedung sekolah rusak atau hancur. Kerugiannya ditaksir sekitar 4,5 miliar US dollar .
ADVERTISEMENT
Tsunami seakan membukakan pintu untuk Aceh kepada siapa saja. Status darurat sipil tenggelam sendirinya. Ribuan relawan asing sigap memberi bantuan. Pelan-pelan Aceh mulai membangun kembali kehidupannya. Status darurat sipil pun dicabut. Kemudian status Aceh diganti dengan tertib sipil sejak 19 Mei 2005, ketika Aceh sedang membangun pasca-tsunami. Kontak senjata masih terjadi di daerah pedalaman, meski skalanya sudah kecil.
***
Mustahil membangun kembali Aceh tanpa damai. Kondisi inilah yang membuat petinggi Indonesia dan GAM memikirkan lagi perdamaian, agar tak banyak lagi warga Aceh yang mati sia-sia. Damai pun disenandungkan. Pembahasan mencari damai di Aceh dipikirkan Pemerintah Indonesia dan GAM, disertai desakan masyarakat internasional.
Presiden Indonesia kala itu, Susilo Bambang Yodhoyono, lebih serius untuk membahas permasalahan ini. Pemerintah mengajukan sejumlah tawaran kepada GAM untuk berunding. Mereka sepakat duduk semeja, difasilitasi CMI yang dipimpin mantan Presiden Finlandia, Martti Ahtisaari, sebagai juru penengah. Semua pada tujuan sama, membangun Aceh kembali dari keterpurukan akibat konflik dan bencana.
ADVERTISEMENT
Akhir Januari 2005, kedua delegasi awal bertemu di Helsinki, Finlandia. Tim Indonesia mengirim sepuluh wakilnya, termasuk tiga petinggi sebagai perunding: Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Hamid Awaluddin, Menteri Komunikasi dan Informasi Sofyan Djalil, dan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Widodo A.S.
GAM dipimpin Perdana Menteri GAM, Malik Mahmud, yang datang dari Swedia, negeri tempat para pemimpin pemberontakan itu bermukim selama ini. Bersamanya turut hadir Menteri Luar Negeri GAM, Zaini Abdullah, juru bicara GAM, Bakhtiar Abdullah, M. Nur Djuli (GAM Malaysia), dan Nurdin Abdul Rahman, (GAM Australia).
Dialog resmi ini menjadi momen yang pertama kalinya dilakukan, setelah sepanjang tahun 1999-2002 mereka berunding tapi tak mencapai titik temu. Saat itu, GAM menghendaki kemerdekaan Aceh, RI menolak dan hanya memberikan opsi otonomi khusus. Selanjutnya, pintu perundingan dikunci dengan operasi militer di Aceh, dalam status darurat militer.
ADVERTISEMENT
Lebih setengah tahun, dialog lima babak di Helsinki sampai pada kesimpulannya. Ketua Tim Perundingan Indonesia, Menteri Hukum, dan Hak Asasi Manusia, Hamid Awaluddin, serta Ketua Perunding GAM, Perdana Menteri, Malik Mahmud, membubuhkan tanda tangan perdamaian, disaksikan Martti Ahtisaari.
Tepat 14 tahun lalu, warga bersorak riang di Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh. Menyaksikan momen sejarah penting mengakhiri jalan perang yang teramat panjang. Aceh memasuki babak baru, damai yang dinanti setelah konflik mendera, setelah rakyat kelewat jera.
Pemerintah Aceh dan warga Aceh selalu memperingati momen itu sepanjang tahun, setiap tanggal 15 Agustus.
Selamat Ulang Tahun Perdamaian Aceh ke-14, semoga perang tak terulang. []
Penulis: Adi Warsidi
ADVERTISEMENT