Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten Media Partner
Menelusuri Jejak Telepon Pertama di Aceh, Peninggalan Militer Belanda
7 September 2019 11:23 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
ADVERTISEMENT
Berarsitektur Eropa, bangunan peninggalan Belanda ini masih kokoh di ujung Jalan Teuku Umar, Banda Aceh. Di sekelilingnya, pohon-pohon trembesi rindang melindungi bangunan tua tersebut. Lokasinya dikepung jalanan empat arah.
ADVERTISEMENT
Gedung dua lantai bercat putih yang mulai usang ini merupakan salah satu cagar budaya peninggalan masa penjajahan Belanda. Bangunan ini dulunya digunakan sebagai pusat telepon militer Belanda dan dibangun berdekatan dengan area istana Kerajaan Aceh Darussalam setelah invasi pada April 1873, saat Belanda berhasil menduduki Banda Aceh.
Belanda menyebut gedung tersebut sebagai Kantor Telepon Koetaradja (Banda Aceh). Dalam catatan sejarah, sentral telepon militer ini dibangun tahun 1903, atau pada era kepemimpinan Sultan Muhammad Daudsyah (1874-1903). Angka 1903 juga tertera di bagian atas bangunan dekat ventilasi jendela.
Sejak tempat itu dibangun, Belanda menggunakannya untuk berkomunikasi jarak jauh ke Batavia (Jakarta), menggantikan telegraf, serta memudahkan koordinasi dalam perang Aceh.
ADVERTISEMENT
Di Aceh, jaringan telepon yang dibangun Belanda tembus ke berbagai daerah lain seperti Ulee Lheu, Sabang, Lamno, Meulaboh, Seulimum, Sigli, Bireun, Takengon, Lhokseumawe, Lhoksukon, Idi, Peurlak, Kuala Simpang. Bahkan hingga ke beberapa kota di Sumatera Utara seperti Medan, Tanjung Pura, Rantau Prapat, Berastagi, dan Asahan.
Dalam lembaran Telefoogids Complex Koetaradja atau buku petunjuk telepon yang diterbitkan Belanda pada 20 April 1933 disebutkan, tarif percakapan telepon antar kota dihitung per tiga menit percakapan.
Pusat telepon sangat membangun Gubernur Militer Belanda dalam berkoordinasi menghadapi para pejuang kemerdekaan Aceh. Ada kalanya, gubernur mencabut kabel telepon tersebut karena seringnya mendapat kabar serangan dari pejuang Aceh terhadap pasukan Belanda di berbagai wilayah Aceh, seperti dikutip dalam buku Banda Aceh Heritage.
ADVERTISEMENT
Setelah Belanda meninggalkan Aceh, gedung tersebut digunakan Jepang. Saat Indonesia merdeka, gedung tersebut diambil alih dan menjadi pusat kantor telepon militer Indonesia.
Selanjutnya, gedung itu pernah digunakan sebagai kantor Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Aceh dan kantor redaksi surat kabar Atjeh Post. Bahkan sempat menjadi Kantor PSSI Aceh. Kini tempat tersebut kosong di bawah pengawasan Balai Pelestarian Cagar Budaya.
Sebagai objek wisata, gedung ini mungkin terlihat tak menarik, lokasinya pun sempit. Namun, di sekitarnya terdapat banyak destinasi wisata seperti Taman Sari, Taman Putroe Phang, Gunongan, dan Museum Tsunami.
Apabila anda ingin mengetahui lebih jauh tentang sejarah telepon pertama di Aceh, maka di sinilah tempatnya. []
Reporter: Adi Warsidi | Fotografer: Suparta
ADVERTISEMENT