Mengejar ‘Samara’ yang Bukan Hanya Sekadar Keluarga ‘Bahagia’

Konten Media Partner
14 Desember 2020 16:15 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical

Opini

ADVERTISEMENT
Versi awal tulisan ini ditulis untuk catatan akhir tahun refleksi tentang keluarga dan relasi kuasa dalam masyarakat Aceh. (Eka Srimulyani)
Prof Eka Srimulyani saat melakukan penelitian di India. Foto: Khiththati/acehkini
Sakinah: Tenang Tanpa Riak?
ADVERTISEMENT
Ucapan semoga “samara ya”, hampir selalu kita dengar, diucapkan secara lisan dan kita baca lewat ucapan selamat yang bertaburan di media sosial. ‘Samara’ atau terkadang yang disebut juga dengan ‘samawa’ adalah singkatan dari sakinah mawaddah wa rahmah. Ayat dari Al-Qur’an surat Ar-Rum ayat 21 yang menyebutkan ini sangat sering dibacakan saat upacara ijab kabul pernikahan. Saking sering didengar dan terbiasa diucapkan, semua merasa seolah sudah ‘paham’ maksudnya, walaupun mungkin hanya di permukaan dan versi ‘penafsiran’ masing-masing. Pasti intinya secara sederhana memahaminya bahwa keluarga sakinah adalah sama dengan keluarga bahagia. Namun, sebenarnya bila digali lebih dalam lagi baru kemudian kita mendapat makna yang lebih spesial, bukan sekadar penggambaran konsep keluarga bahagia semata, apalagi kalau ukurannya pada material (materi) dan physical (fisik) semata.
ADVERTISEMENT
Pemahaman umum seperti di atas mungkin mereduksi kedalaman makna dari konsep sakinah, maupun mawaddah dan rahmah yang sesungguhnya memiliki nilai-nilai yang lebih komprehensif dari sekadar bahagia, apalagi bila bahagia dilihat dari sudut pandang material semata. Apakah penyebutan ketiga konsep sebagai bahagian yang diberikan atas kehadiran keterpasangan anak manusia (membentuk keluarga) untuk meraih tujuan dan impian ideal dari pernikahan itu sendiri? Apakah itu harapan yang terdokumentasikan dalam Al-Qur’an tentang sebuah keluarga yang tidak hanya bahagia, tetapi juga aman dan nyaman untuk seluruh anggota keluarganya, tanpa kekerasan, saling mencintai, menyayangi serta berbagi dan saling membantu dalam tugas maupun tanggung jawab dalam keluarga.
Bila ditanya apa makna ‘sakinah’, pemahamanan yang muncul di benak kebanyakan dari kita yang mengetahui bahasa Arab adalah maknanya ‘tenang’ atau ‘tentram’, bila diibaratkan air kalau air yang tenang itu artinya air yang tidak beriak apalagi bergelombang. Namun untuk konteks keluarga, apakah benar demikian? Ketika kita menempatkan konsep sakinah (tenang) ini dalam perbincangan mengenai keluarga atau rumah tangga.
Ilustrasi pernikahan Foto: Pixabay
Dalam sebuah diskusi online, Prof. Euis Nurlaelawati, Guru Besar Hukum Keluarga dari Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta mendeskripsikan sakinah sebagai makna keluarga yang stabil. Perselisihan bisa saja terjadi, namun itu semua tidak mengganggu ketahanan atau daya tahan (resilience) dari keluarga untuk melanjutkan tujuan dan cita-cita dari keluarga tersebut. Resilience dalam artian memiliki daya tahan terhadap konflik yang terkadang memang niscaya dalam sebuah relasi, termasuk di dalam keluarga. Di samping itu juga memiliki daya tahan terhadap turbulensi (ujian) kehidupan yang tidak selalu seindah harapan. Jika demikian apakah makna keluarga sakinah di sini bisa juga digambarkan sebagai sebuah keluarga yang ‘resilient’ memiliki daya tahan, dan itu yang menjadi modal bagi keberlangsungan sebuah perkawinan dan keberlanjutan keluarga yang berbasis mawaddah (cinta) dan rahmah (kasih dan sayang).
ADVERTISEMENT
Ekspresi Mawaddah dan Rahmah dalam Keluarga
Mawaddah identik dengan konsep ‘cinta’ secara terminologi, dan rahmah biasanya dalam bahasa Indonesia dimaknai dengan ‘kasih sayang’. Dari beberapa penggambaran yang ada selama ini, terutama akhir-akhir ini dengan isu dan tema keluarga, terkadang kita bertanya-tanya, bagaimana cinta dalam keluarga masyarakat Aceh dimaknai dan diekspresikan, apakah ini berwujud dalam ekspresi romantisme, walaupun tidak harus se-romantic drama Korea? Atau dalam bentuk ekspresi lainnya yang berbeda. Kata ‘cinta’ yang persis memiliki makna yang sama, sepertinya dalam bahasa Aceh misalnya; tidak ada padanan katanya, biasanya meminjam kata bahasa Indonesia yaitu cinta atau kasih, yang ada dalam bahasa Aceh ‘galak’, tapi ‘galak’ tidak memiliki makna yang dalam seperti ungkapan kata cinta.
ADVERTISEMENT
Sepertinya ekspresi cinta itu dimaknai dan diekspresikan berbeda-berbeda, dan semakin menguat seiring perkembangan media yang berkembang pesat yang lintas batas dan memberikan pemaknaan dan pengungkapan ekspresi cinta yang lebih universal. Namun dalam masyarakat Aceh, tidak memiliki pola khas tentang ungkapan cinta dan kasih sayang, ada salah seorang tokoh Aceh yang mengatakan bahwa laki-laki Aceh ini seperti harimau, ganas tapi sayang pada anak dan istrinya. Apakah ini bermakna yang jelas dari pihak suami dalam masyarakat Aceh yang tradisional, memiliki sifat ‘krang’ dalam hal ini, dan bukan tipe yang ekspresif ala anak muda zaman sekarang.
Dalam sebuah diskusi FGD (focus group discussion) untuk penulisan buku keluarga dan relasi kuasa dalam masyarakat Aceh, Prof Alyasa Abubakar, Pakar Hukum Islam yang juga concern pada isu keluarga menyampaikan bahwa penggambaran ekspresi romantisme dalam literatur klasik masyarakat Aceh jarang dijumpai kecuali dalam Hikayat Prang Sabi yang bercerita tentang Ainul Mardhiah bidadari syurga, dalam konteks setelah meninggal (syahid) di medan jihad (fi sabilillah).
ADVERTISEMENT
Keluarga sakinah, mawaddah dan rahmah tidak akan datang tiba-tiba tanpa ada upaya dari kedua belah pihak, suami dan istri perlu terus belajar dari kehidupan rumah tangga yang sesungguhnya. Tidak ada yang sempurna, tapi saling melengkapi dari ketidaksempurnaan itu yang perlu diupayakan. Sesuatu yang perlu dihadirkan untuk mewujudkan keluarga yang sakinah yang stabil, resilient dalam menghadapi cobaan dan goncangan karena saling membantu dan mendukung satu dengan yang lainnya.
Bila berkaca dari nilai-nilai agama, ada banyak sekali cerita dan penggambaran dari kehidupan Nabi Muhammad SAW yang memperlihatkan sikap berbagi dan membantu istri dalam kehidupan sehari-hari. Membantu pasangan adalah juga ekspresi cinta dan kasih sayang kepadanya? Untuk kontek keluarga hari ini, berbagi (mubadalah) adalah salah satu strategi atau bahkan solusi untuk meraih kestabilan dan keseimbangan dalam keluarga, dan pada gilirannya sakinah, mawaddah dan rahmah juga akan terwujud.
ADVERTISEMENT
Penutup
Kehidupan rumah tangga adalah sebuah interaksi yang tidak sederhana, oleh karenanya perlu banyak kesiapan dan persiapan yang harus dilakukan. Selain pengetahuan, kematangan dan beberapa keahlian soft skill perlu dimiliki oleh pasangan suami dan istri ketika berumah tangga, termasuk seni dalam mengapresiasi dan berbagi. Bila ini sudah bisa diwujudkan maka penggambaran indah tentang rumah tangga sakinah, mawaddah dan rahmah bisa terwujud tidak hanya sebagai sebuah terminal akhir tapi juga proses perjalanan. Sebuah penggambaran dari keluarga yang stabil (memiliki daya tahan), saling berbagi membantu (mudabadalah), berhiaskan cinta dan kasih sayang serta jauh dari kekerasan.[]
Penulis: Eka Srimulyani
Akademisi Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry, dan peneliti di International Centre for Aceh and Indian Ocean Studies (ICAIOS).
ADVERTISEMENT