Mengenal Budaya Uri, Cara Korea Selatan Keluar dari Ragam Krisis

Konten Media Partner
11 Agustus 2021 17:58 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pembagian masker gratis oleh pemerintah Seoul, Korea Selatan kepada mahasiswa baru. Foto: Khiththati/acehkini
zoom-in-whitePerbesar
Pembagian masker gratis oleh pemerintah Seoul, Korea Selatan kepada mahasiswa baru. Foto: Khiththati/acehkini
ADVERTISEMENT
Kata ‘uri’ dalam Bahasa Korea memang tidak begitu istimewa, karena bila diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia hanya berarti ‘kita’. Namun, kata ini tidak bisa diterjemahkan seperti itu saja, karena setelah lama berteman dengan orang Korea, saya baru paham bahwa ‘uri’ bukan sekadar ‘kita’. Ada makna lain di balik kata ini yang berhasil membuat warga Korea membantu negara melewati berbagai kesulitan, telah menjadi budaya.
ADVERTISEMENT
Pada percakapan dalam Bahasa Korea kata ‘uri’ mungkin diucapkan lebih dari ribuan kali. Mulai dari uri jib (rumah saya), uri omma (ibu saya) sampai uri nara (negara saya). “Menggunakan kata uri seperti mengungkapkan sesuatu sebagai bagian dari keluarga sebagai pengingat bahwa kita saling berhubungan dekat,” ungkap Kim Son Hwa, warga Seoul, Korea Selatan. Uri adalah konsep yang menandakan komunitas dan solidaritas dalam persatuan.
Misalnya saja uri nara yang seharusnya diterjemahkan sebagai negara kita, namun arti yang sering dipakai adalah negara saya. Kata ‘uri’ mengandung sifat memiliki sehingga tak heran warga akan melakukan berbagai upaya membantu Korsel untuk keluar dari ragam krisis.
Frasa ‘uri’ kini kembali menjadi tren selama kasus COVID-19 merebak di Korea Selatan. Pandemi ini juga mempersulit keadaan ekonomi bagi masyarakat. Beberapa tahun silam, saat Korea berada diambang kebangkrutan akibat krisis ekonomi tahun 1998, Budaya uri ini berhasil membuat negara bertahan dan menjadi Korea sebagai salah satu negara dengan ekonomi maju.
ADVERTISEMENT
Bagaimana kata ‘uri’ menjadi sangat penting bagi cara orang Korea dalam berpikir dan bertindak? Budaya Korea menekankan nilai kelompok yang dimiliki seseorang menjadi kesatuan. Orang Korea juga sering menggunakan kata ‘uri’ untuk hal yang dimiliki oleh beberapa individu atau seluruh komunitas. Ini juga berkaitan erat dengan budaya komunal yang tinggi.
Spanduk pemberi semangat kepada warga bahwa kebersamaan bisa melewati krisis COVID-19. Foto: Khiththati/acehkini
Nilai komunal di Korea memang lebih erat kaitannya dengan populasi kecil namun memiliki rasa nasionalisme yang tinggi. Menggunakan uri juga menjadikan mereka berada di kelompok yang sama dan membangun solidaritas bersama untuk menghimpun kekuatan. Sehingga ada rasa memiliki yang tercipta dari pemakaian kata inidan membuat hubungan pribadi dengan kata yang disematkan setelahnya menjadi lebih erat. Kata ini juga dapat menunjukkan kerendahan hati. rasa hormat dan kebersamaan.
ADVERTISEMENT
Ahli bahasa berpendapat bahwa kata ‘uri’ ini berasal dari ulthari yang berati pagar. Seperti sifat pagar yang dibangun dulunya dengan menjalin satu kayu dengan kayu lainnya, ini menggambarkan keterikatan, kesatuan, dan daya tahan. Ini juga yang menjadi dasar budaya uri.
Beberapa penelitian yang dilakukan tentang kenapa frasa ‘uri’ lebih sering digunakan dari pada naui (saya) saat menyatakan kepemilikan juga membuktikan bahwa kebersamaan lebih ditekankan daripada kepentingan perorangan. Kata ini mempunyai makna lebih setia atas apa yang merasa dimiliki.
Pada akhir 1996, pertumbuhan ekonomi di Korea Selatan melesat tajam sehingga dikategorikan sebagi negara maju bidang ekonomi. Namun, berselang setahun setelahnya Korea Selatan terpaksa mengumumkan negara mereka kehabisan uang dan terpaksa melakukan peminjaman uang kepada IMF (Dana Moneter Internasional). Akibat sinyal ekonomi yang memburuk banyak investor yang kehilangan minat berinvestasi dan menarik diri dari Korsel. Selain itu berbagai krisis ekonomi yang melanda Asia memperburuk keadaan ekonomi negara.
ADVERTISEMENT
Walaupun berhasil mendapatkan pinjaman dana moneter dari IMF, namun keadaan tidak kunjung membaik. Sepanjang 1998, ada 20 ribu unit perusahaan bangkrut dan lebih dari 1,3 juta orang menjadi penganguran, belum lagi berada di bawah kontrol ketat IMF.
Namun di tengah ketidakpastian ini, warga Korea melakukan suatu gerakan yang menakjubkan. Sebulan setelah meminjam uang, masyarakat mulai berkampanye untuk mengumpulkan emas sebagai salah satu cara untuk membayar hutang luar negeri. Mengumpulkan emas untuk membantu negara melewati kesulitan.
Kegiatan ini berhasil membuat hampir seluruh warga mengikuti kegiatan ini dan menjadi landasan awal untuk membayar utang negara. Dalam waktu singkat, ada sekitar 3,5 juta orang yang ikut dan berhasil mengumpulkan sebanyak 225 ton emas dan mendapatkan 2,1 miliar dolar.
ADVERTISEMENT
Ini adalah salah satu semangat budaya uri, sehingga tak heran saat itu Korea berhasil membayar hutang luar negeri mereka dengan sangat cepat dan lunas pada Agustus 2001. Hasil dari ini selain digunakan untuk membayar hutang juga untuk membantu perusahaan-perusahaan yang masih beroperasi untuk tetap bertahan. Ingin tahu kisah ini lebih lanjut bisa nonton film Korea dengan judul Sovereign Default.
Pusat perbelanjaan turis di Myeongdong, Korea Selatan yang sepi pelancong selama COVID-19. Foto: Khiththati/acehkini
Bagi generasi muda Korea yang lahir setelah tahun 2000, budaya uri juga mempunyai arti sendiri. Miyoung misalnya memaknai 'uri' sebagai bagian dari kesatuan yang tidak terpisah dengan kehidupannya. “Aku dan kamu mempunyai tanggung jawab bersama kalau berbicara tentang sebutan uri nara atau uri kajoek (keluarga saya) misalnya,” tambahnya.
Hal yang senada juga diungkapkan Sanghee. Ia mengatakan dengan menggunakan kata uri seperti ada kekuatan tambahan dan rasa sendiri itu hilang. “ Saya merasa seperti mempunyai dukungan dan banyak orang yang berada di pihak saya.”
ADVERTISEMENT
Tidak hanya mereka, Nur Nabila Irfana salah satu mahasiswa Indonesia di Korea juga mengatakan sangat tertarik dengan budaya uri yang ada di Korea. Sesuatu yang sudah jarang terlihat lingkungan masyarakat dengan tingkat indivualisme tinggi. “biasanya kita mempunyai pikiran bahwa negara maju semuanya sendiri-sendiri begitu,” katanya.
“Selama ini karena covid juga banyak melihat kata-kata penyemangat dari pemerintah seperti kita bisa melewati ini, jadi ada keyakinan bahwa kita akan baik-baik saja jika bersama,” katanya.
Menurutnya, budaya uri ini unik mengigatkannya pada pepatah Indonesia tentang solidaritas bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh.
“Saya dan teman-teman bahkan mengusulkan tema ini untuk materi kami pada ajang Korean NonJangPan kompetisi grup yang diselengarakan oleh Service KOCIS, tema tahun ini adalah bagaimana cara mengatasi dan melewati krisis sehingga budaya uri ini cocok sepertinya,” papar Nabila.
ADVERTISEMENT
NonJangPan Grup Competition ini sendiri merupakan acara tahuan yang diselenggarakan oleh The Culture and Information Service (KOCIS). Pesertanya adalah 40 orang mahasiswa Korea berdampingan dengan 40 mahasiswa asing.
“Ada 4 orang di dalam kelompok kami, dua orang mahasiswa Korea dan dua orang mahasiswa Indonesia, melalu program ini juga mudah-mudahan bisa muncul banyak ide cara mengatasi dan melewati krisis karena COVID-19 melanda hampir semua negara, selain itu di Indonesia kita juga punya semangat kebersamaan yang sama seperti budaya uri ini,” sambungnya lagi.
Saat ini, budaya uri berkembang menjadi kekuatan Korea Selatan sebagai negara. Budaya yang membantu negaranya menjadi lebih baik dan tumbuh lebih kuat. Kesadaran kolektif inilah yang memungkinkan Korea melewati masa-masa sulit dalam sejarah sehingga menjadi negara yang maju seperti sekarang. []
ADVERTISEMENT