Mengenal Museum Pengingat Tsunami Aceh, Karya Fenomenal Ridwan Kamil

Konten Media Partner
27 Desember 2019 15:10 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Gedung Museum Tsunami Aceh dari atas. Foto: Abdul Hadi/acehkini
Pengunjung silih berganti memadati Museum Tsunami, di sisi Lapangan Blang Padang, Banda Aceh. Orang tua membawa anak-anaknya mengisi hari libur, wisatawan lokal berbaur bersama wisatawan nasional dan turis asing, menikmati bangunan pengingat bencana 15 tahun silam.
Edukator Museum Tsunami, Armila Yanti sibuk bukan kepalang. Bekerja dari pagi hingga malam memandu tamu-tamu. Kunjungan paling ramai tercatat tepat saat peringatan 15 Tahun Tsunami Aceh, Kamis (26/12).
“Kemarin pengunjungnya membludak, lebih dari 7.000 orang,” katanya kepada acehkini, Jumat (27/12).
Museum Tsunami terpacak megah pada lahan seluas satu hektar. Foto: Abdul Hadi/acehkini
Kamis malam, Museum dipakai untuk kegiatan refleksi tsunami Aceh. Sejumlah pameran tentang tsunami juga sedang berlangsung di sana sejak awal Desember 2019.
“Pengunjung memang selalu ramai setiap Desember, saat peringatan tsunami,” sambung Armila.
ADVERTISEMENT
Bahkan, pada Minggu (22/12) lalu, mantan Wakil Presiden Republik Indonesia, Jusuf Kalla menyempatkan diri berkunjung ke sana, bersama istrinya Mufidah Kalla. Beliau ikut keliling ke beberapa lokasi lainnya untuk memantau pembangunan Aceh. Kalla punya kenangan sendiri dalam membangun Aceh setelah tsunami, karena saat itu jabatannya Wakil Presiden Indonesia.
Gedung Museum Tsunami Aceh tampak dari depan. Foto: Suparta/acehkini
Di bulan-bulan biasa, kunjungan tamu di Museum Tsunami, hanya tercatat sebanyak 1.500 orang per minggu. Sementara keramaian lainnya tercatat saat hari libur nasional, seperti hari kemerdekaan dan hari raya.
“Hari biasa, umumnya anak sekolah yang berkunjung untuk belajar dan edukasi bencana,” katanya.
Museum Tsunami terpacak megah pada lahan seluas satu hektar. Dari sudut jauh lapangan Blang Padang, Banda Aceh, sekilas tampak seperti perahu lengkap cerobong asapnya. Dinding seperti anyaman bambu. Mendekat dan masuk ke dalamnya, tiang-tiang kokoh menopang bangunan seperti konsep rumah tradisional Aceh.
ADVERTISEMENT
Ornamen dekoratif elemen kulit luar bangunan Museum Tsunami Aceh, seperti anyaman bambu. Foto: Suparta/acehkini
Museum itu telah direncanakan lama untuk menjadi warisan bagi dunia dalam mengingat tsunami Aceh. Gedung dibangun oleh prakarsa beberapa lembaga. Di antaranya adalah Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh-Nias sendiri (sebagai penyandang anggaran pembangunan gedung museum), Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (sebagai penyandang anggaran perencanaan, studi isi dan penyediaan koleksi museum dan pedoman pengelolaan museum), Pemerintah Daerah Aceh (penyedia lahan dan pengelola museum), Pemerintah Kota Banda Aceh (penyedia sarana dan prasarana lingkungan museum) dan Ikatan Arsitek Indonesia (membantu penyelenggaraan sayembara pra-rencana museum).
Model bangunnya sesuai dengan rancangan pemenang dalam sayembara, M. Ridwan Kamil, dosen arsitektur Institut Teknologi Bandung (ITB), sekarang Gubernur Jawa Barat, dengan ide bangunan; Rumoh Aceh as Escape Hill.
Bagian dalam Museum Tsunami Aceh. Foto: Suparta/acehkini
Desainnya, lantai pertama museum merupakan ruang terbuka, sebagaimana rumah tradisional orang Aceh. Selain dapat dimanfaatkan sebagai ruang publik, jika terjadi banjir atau tsunami lagi, maka air yang datang, tidak akan terhalangi lajunya. Tak hanya itu, unsur tradisional lainnya berupa Seni Tari Saman, diterjemahkan dalam kulit luar bangunan eksterior. Sementara, denah bangunan merupakan analogi dari epicenter sebuah gelombang laut tsunami.
ADVERTISEMENT
Tampilan eksterior museum, mengekspresikan keberagaman budaya Aceh melalui pemakaian ornamen dekoratif unsur transparansi elemen kulit luar bangunan, seperti anyaman bambu. Sedangkan tampilan interiornya mengetengahkan sebuah tunnel of sorrow yang menggiring pengunjung ke suatu perenungan atas musibah dahsyat yang diderita warga Aceh sekaligus kepasrahan dan pengakuan atas kekuatan dan kekuasaan Allah dalam mengatasi sesuatu.
Helikopter terdampak tsunami dipamerkan di Museum Tsunami. Foto: Suparta/acehkini
Masuk ke dalam, pengunjung disuguhkan dengan sebuah lorong sempit yang agak remang, di mana kita bisa melihat air terjun di sisi kiri dan kanannya, yang mengeluarkan suara gemuruh air. Lorong ini untuk mengingatkan para pengunjung pada suasana tsunami.
Selanjutnya adalah sebuah ruang yang disebut “The Light of God”. Ruang yang berbentuk sumur silinder ini, menyorotkan cahaya ke atas sebuah lubang dengan tulisan arab Allah. Dinding sumur silinder juga dipenuhi nama-nama para korban tsunami Aceh, 26 Desember 2004. Dari luar jauh, akan terlihat seperti cerobong.
Lorong kehidupan di Museum Tsunami yang mengingatkan para pengunjung pada suasana tsunami. Foto: Suparta/acehkini
Keluar dari sana, ada memorial hall di ruang bawah tanah. Ruangan ini gelap dengan dinding kaca. Di sana pengunjung dapat melihat foto-foto kondisi Aceh yang porak-poranda pasca tsunami. Foto-foto tersebut ditampilkan memakai pada 26 layar display elektronik selebar 17 inci. Di sana, dilarang memotret dengan kilatan cahaya.
ADVERTISEMENT
Museum yang dibangun dengan dana sekitar Rp 70 miliar, juga dilengkapi dengan escape hill, sebuah taman berbentuk bukit yang dapat dijadikan sebagai salah satu antisipasi lokasi penyelamatan terhadap datangnya banjir atau tsunami. Juga ruang-ruang pameran foto dan ruangan untuk perhelatan seni budaya.
Di ruang pameran foto yang menceritakan kisah tsunami terpampang. Juga ada bekas-bekas sisa tsunami seperti sebuah sepeda motor dan sketsa lainnya yang menceritakan lokasi kejadian tsunami. Sebuah ruang pemutaran film juga tersedia di Museum Tsunami.
Dinding sumur silinder yang dipenuhi nama-nama para korban tsunami Aceh. Foto: Suparta/acehkini
***
Museum yang diresmikan Presiden Susilo bambang Yudhoyono pada 23 Februari 2009 itu, terletak sekitar 300 meter dari Mesjid Raya Baiturrahman, jantung Kota Banda Aceh. Letaknya strategis, di depan dan sampingnya adalah jalan besar. Seberang jalan, ada Taman Sari. Seberang lagi ada Taman Putroe Phang. Beberapa kantor dan rumah dinas pejabat tinggi di Aceh juga ada di sekitar area. Juga dekat dengan Lapangan Blang Padang, Banda Aceh.
ADVERTISEMENT
Pembangunannya dilakukan sejak awal 2008, dengan perencanaan yang matang. Bahkan desainnya ikut dilombakan oleh BRR pada pertengahan 2007 silam. Pengumuman pemenang lomba desain museum tsunami dilakukan pada 17 Agustus 2007.
Al Qur'an terdampak tsunami yang dipajang di Museum Tsunami. Foto: Suparta/acehkini
Saat itu, Aulina Adamy, panitia sayembara rancang desain museum menyebutkan bahwa sangat banyak makna pembangunan museum itu.
“Sebagai simbol untuk mengenang tsunami, pesan menghormati korban dan sebagai informasi bagi generasi ke depan. Juga bisa berfungsi sebagai escape building, jika tsunami datang lagi,” sebutnya. Itu pula yang menjadi alasan museum dipilih sebagai pengingat tsunami, bukan sekedar tugu atau monumen.
Sayembara rancang bangun museum tsunami itu meloloskan 68 dari 153 karya yang masuk ke dewan juri. Yang tidak lolos, adalah karya yang tidak sesuai dengan Term of Reference (TOR) yang disusun panitia sebelumnya.
ADVERTISEMENT
“Misalnya ada gambar yang tidak lengkap pada bagian-bagiannya,” katanya.
Museum Tsunami tampak dari atas sekilas seperti perahu lengkap cerobong asapnya. Foto: Abdul Hadi/acehkini
Pemenang desainnya adalah M Ridwan Kamil. “Kita akan jadikan ini sebagai Land Mark Banda Aceh kedua, setelah Mesjid Raya,” sambung Aulina.
“Kita memilih Rumoh Aceh Escape Hill sebagai pemenang, karena dia hampir memenuhi semua kriteria penjurian. Tidak hanya sebuah bangunan monumen, tapi sebuah museum tsunami yang monumental, Sebuah bangunan yang mampu mengekspresikan kejadian tsunami 26 Desember. Dan yang paling penting tidak sulit dalam desain development-nya kelak,” ungkap Ketua dewan juri Kamal A Arief usai pengumuman.
Selain Kamal Arief, dewan juri yang melakukan penilaian atas karya-karya yang masuk adalah AD Pirous, Prof. Sandy Siregar, Budi A. Sukada, T.A Sanny, Mirza Irwansyah, Fuad Mardhatillah, Abdullah, Nurdin AR, Debra Yatim dan Ir. Dikdik Kosasih. []
ADVERTISEMENT