Mengenang Darurat Pers di Aceh

Konten Media Partner
6 September 2019 10:57 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical

Kolom

Para jurnalis seluruh Indonesia saat kegiatan WPFD 2017 di Jakarta. Dok. AJI
zoom-in-whitePerbesar
Para jurnalis seluruh Indonesia saat kegiatan WPFD 2017 di Jakarta. Dok. AJI
ADVERTISEMENT
Pembatasan internet di Papua dan Papua Barat resmi dicabut. Menteri Koordinator bidang Politik Hukum dan Keamanan Wiranto memastikannya saat berbicara di kantornya, Jakarta Pusat, Kamis (5/9). Akan tetapi, sewaktu-waktu bisa saja dibatasi kembali.
ADVERTISEMENT
"Internet sudah normal kembali, dengan catatan, kalau keadaan memburuk, mudah-mudahan tidak, maka tentu pembatasan akan kita lakukan kembali," jelas Wiranto dikutip kumparan.
Pembatasan internet di Papua dan Papua Barat dimulai sejak 20 Agustus 2019, menyusul kerusuhan yang terjadi di sana. Kebijakan menyetop peredaran masif berita hoaks menjadi alasan pembatasan, media pun ikut merasakannya. Jaringan tak sepenuhnya macet, beberapa hotel berbintang masih memiliki akses.
Celah inilah kemudian yang dimanfaatkan sebagian jurnalis untuk mengirim berita dan menayangkannya di media masing-masing. Seorang rekan jurnalis di Jayapura, Papua, mengabarkan mereka memanfaatkan akses di hotel berbintang. Kendati lambat, tapi setidaknya mereka dapat mengabarkan kondisi di Papua dan Papua Barat.
Kondisi ini memungkinkan berita tak terputus di sana, tak hanya dari satu sumber resmi pemerintah, tapi juga langsung dari warga yang merasakan imbas langsung kisruh di Papua dan Papua Barat.
ADVERTISEMENT
Pembatasan internet membuat pers kewalahan. Dewan Pers sendiri menilai pemblokiran internet justru menimbulkan kebingungan orang di mana pun untuk mendapat informasi yang benar. “Kok seolah-olah ada yang disembunyikan," kata Ahmad Djauhar, anggota Dewan Pers, Jumat (30/8).
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) juga mengeluarkan komentarnya terkait pembatasan internet di Papua dan Papua Barat. Ketua Umum AJI, Abdul Manan, menilai meskipun langkah ini dimaksudkan untuk mencegah hoaks, namun di sisi lain, pelambatan ini juga menghambat akses masyarakat, khususnya Papua dalam mencari informasi yang benar. Pelambatan juga membuat publik kesulitan saling bertukar kabar dengan kerabat dan keluarga.
“Kebijakan tersebut menghambat kerja-kerja jurnalis dan pemantau HAM dalam melakukan pemantauan peristiwa di Papua,” tulis Manan, Selasa (20/8).
ADVERTISEMENT
***
Para jurnalis di Aceh dalam sebuah aksi, 2016. Dok. AJI Banda Aceh
Kekacauan, kerusuhan maupun konflik di sebuah daerah selalu memicu pembatasan terhadap kerja-kerja media. Para jurnalis di Aceh pernah mengalaminya saat konflik. Puncaknya, saat pemberlakuan Darurat Militer, 19 Mei 2003. Saat itu, sebagian menyebutnya sebagai Darurat Pers di Aceh.
Bukan pembatasan internet kala itu yang menjadi momok, karena arus informasi di media sosial tak secanggih sekarang. Pembatasan dilakukan terhadap ruang gerak jurnalis, dalam meliput konflik.
Panglima Kodam Iskandar Muda (saat itu) Mayjen TNI Endang Suwarya, bertindak sebagai Penguasa Darurat Militer Daerah (PDMD) mengeluarkan Maklumat No. 5 Tahun 2003 untuk membatasi media. Bunyinya, “Melarang wartawan dan media di Aceh untuk menjadikan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) sebagai narasumber berita. Jika ini dilakukan saat itu, maka bisa saja PDMD mempunyai dalih untuk mengatakan wartawan dan media sebagai pihak yang membesarkan GAM.”
ADVERTISEMENT
Semua media diajak mendukung seluruh operasi penumpasan GAM, informasi tentang keamanan hanya legal dari satu pintu, dikendalikan Media Center PDMD. Usai Darurat Militer, status Aceh beralih menjadi Darurat Sipil sejak 19 Mei 2004. Pengekangan kembali dilanjutkan melalui Maklumat PDSD (Penguasa Darurat Sipil Daerah) Nomor 4 tahun 2004, yang mengatur tata cara jurnalis dalam meliput konflik di Aceh.
Bahkan, PDSD juga pernah mengeluarkan imbauan untuk media di Aceh, agar menyiarkan iklan keberhasilan PDSD di medianya, pada 1 september 2004. Menurut PDSD, hal itu mempunyai dasar yang kuat, UU Nomor 23 Tahun 1959 tentang keadaan bahaya dan Keppres Nomor 43 Tahun 2004, tentang penerapan status darurat sipil. Puncaknya, ketika PDSD juga mengeluarkan Maklumat khusus, melarang wartawan untuk meliput semua kegiatan GAM menjelang Milad GAM, 4 Desember 2004.
ADVERTISEMENT
Ketua AJI Banda Aceh, (Alm) Muharram M Nur, tak bisa bersuara banyak tentang kebijakan tersebut. “Mereka punya kewenangan besar untuk melakukan apa saja, kita enggak bisa gugat, kita enggak bisa berbuat apa-apa, karena UU dapat memungkinkan mereka untuk melakukan apa saja,” sebutnya kepada saya saat itu.
Jurnalis asing juga dilarang masuk meliput saat Darurat Militer. Aksesnya baru dibuka pada saat Darurat Sipil, itu pun dengan izin meliput yang sangat ketat. Tapi bukan berarti media asing tak mendapat laporan tentang kondisi Aceh, karena sebagian jurnalis ikut mengirimkan laporannya kepada media-media luar.
Para jurnalis memainkan strategi lain, memberitakan kondisi dengan mengambil sebanyak-banyaknya suara masyarakat sebagai korban utama perang. Sesekali, ikut memberitakan suara GAM, karena tak memberitakan mereka juga 'bala'. Ancaman bakal datang dari kelompok gerakan tersebut, beberapa peristiwa pernah terjadi seperti pembakaran mobil distribusi koran milik sebuah media di Aceh.
ADVERTISEMENT
Tsunami yang terjadi pada 26 Desember 2004, kemudian menghapuskan segala macam darurat tersebut dengan sendirinya. Akses Aceh yang selama ini tertutup, terbuka lebar. Ratusan wartawan asing masuk bersama para pekerja kemanusiaan berbagai negara.
Stanley (keempat kanan) saat peluncuran bukunya di Aceh, tentang pers Aceh masa Darurat Militer. Dok. AJI Banda Aceh
Stanley Adi Prasetyo yang saat itu menjabat sebagai Direktur Institut Studi Arus Informasi (ISAI) dalam sebuah tulisannya, 'Setelah Darurat Sipil dicabut (18 Mei 2005)', menyebutnya dengan ‘Dua tahun masa darurat pers Aceh’.
Catatannya, selama dua tahun itu di Aceh ada jurnalis yang diancam, dipukuli, ditembaki, disandera dan bahkan dibunuh. Wartawan lain yang dianggap memiliki gaya berpikir kritis diusir ke luar wilayah Aceh. Walaupun ada beberapa yang tetap mencari dan menyebarkan berita dengan menembus berbagai kesulitan.
Pasca-tsunami, Stanley menilai media dan insan pers di Indonesia perlu mendapat pujian. Melalui liputan, mereka telah mampu menggalang munculnya solidaritas masyarakat dunia. Bayangkan bila pers tak hadir di Aceh saat itu, penguasa darurat sipil di Aceh ataupun aparat militer tak memiliki kekuatan untuk menggerakkan masyarakat dunia dengan dahsyat. “Barangkali ini adalah pelajaran mahal yang jangan diulang, menghalangi pers bekerja secara independen dan bekerja mengandalkan nurani,” tulis Stanley. []
ADVERTISEMENT
Penulis: Adi Warsidi