Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten Media Partner
Mengenang Tuan Di Kandang, Penggagas Lahirnya Banda Aceh
22 April 2019 21:54 WIB
Diperbarui 22 April 2021 18:20 WIB
ADVERTISEMENT
Tak ramai, hanya puluhan orang berkumpul di Masjid Tgk Di Kandang, Gampong Pande, Banda Aceh. Sebagian warga, para penggiat budaya dan sejarah, setengah lagi mahasiswa asal Malaysia yang sedang studi banding di Kota Gemilang, sebutan kekinian untuk Banda Aceh.
ADVERTISEMENT
Kendati minim, mereka punya hajatan besar mengenang keberadaan Tgk Di Kandang, sebagai ulama besar penggagas lahirnya Banda Aceh sebagai pusat Kerajaan Aceh ratusan tahun silam. Haul bertepatan dengan Hari Ulang Tahun (HUT) Kota Banda Aceh ke-814, Senin (22/4/2019).
Di pagar masjid sebuah spanduk bertuliskan tema Haul Tuan Di Kandang atau Tgk Di Kandang, “Menyelamatkan situs sejarah titik nol kesultanan Aceh Darussalam.” Kegiatan sederhana itu diprakarsai Yayasan Darud Donya, ikut dihadiri oleh Presiden Dunia Melayu Dunia Islam, Tan Sri Mohammad Ali Rustam, asal Malaysia.
“Kita mengenang ulama yang telah berjasa di Aceh, ada pelajaran bagi orang-orang yang berpikir,” kata Tgk Ameer Hamzah, pemerhati sejarah Aceh memberikan tausiahnya.
Tuan Di Kandang adalah ulama besar yang wafat pada 863 tahun lalu, menjadi penggagas berdirinya Kerajaan Aceh. Ulama ini merupakan ayah dari para sultan-sultan pemimpin Aceh masa silam. Beliau dikenal bernama Machdum Abi Abdullah Syekh Abdurrauf Al-Baghdadi atau digelari Tuan Di Kandang.
ADVERTISEMENT
Makamnya hanya 50 meter dari masjid, berada di tengah-tengah kompleks makam dengan puluhan nisan kuno. Hanya makamnya yang diberi atap. Sementara yang lain dibiarkan terbuka, pertanda makamnya terjaga sejak dulu sebagai orang mulia.
Kata Ameer Hamzah, Tuan Di Kandang berjasa dalam membangun peradaban Aceh. Dia merupakan keturunan Sultan Iskandar Zulkarnain dari Turki yang merupakan putra Sultan Mahmud Syah Seljuq, Raja Bagdad, Irak, pada masa kekuasaan Bani Abbasiyah.
Beliau hijrah ke Aceh bersama ratusan pengikutnya pada tahun 1116 Masehi, saat Bagdad diserang Kerajaan Mongol. Sebelum ke Aceh, dia sempat beberapa tahun di India. Dia bersama beberapa ulama dalam rombongan membagi wilayah di Aceh untuk menyebarkan Islam.
Tuan Di Kandang membawa peradaban di Gampong Pande, menyebarkan Islam kepada penduduk yang sebagiannya masih beragama Hindu. Beliau dikenal ilmu pemerintahan. “Kemudian menggagas lahirnya Kerajaan Aceh Darussalam,” jelas Tgk Ameer.
ADVERTISEMENT
Setelah Tuan Di Kandang wafat, anak angkatnya (murid) Sultan Alaidin Johansyah kemudian meneruskan cita-citanya, mendirikan Kerajaan Aceh pertama yang dikenal sebagai Bandar Darussalam dan berpusat di Gampong Pande pada 1 Ramadhan 601 Hijriah, atau tepat pada 22 April 1205. Sampai kini, tanggal tersebutlah diperingati sebagai hari lahir Kota Banda Aceh.
Sekian lama pusat Kesultanan Aceh di Gampong Pande, pusat pemerintahan kemudian dipindahkan sedikit ke selatan, oleh Sultan Ali Mughayatsyah pada 1514. Pemindahan pusat kerajaan ini diyakini para peneliti, ikut dipengaruhi dua tsunami besar yang melanda Aceh pada tahun 1393 dan 1450.
Nama Bandar Darussalam kemudian diganti menjadi Bandar Aceh Darussalam, belakangan menjadi Banda Aceh, sebagai pusat Kesultanan Aceh. Nama tersebut, oleh kolonial Belanda sempat diubah menjadi Koetaradja, yang berarti kotanya pada raja.
ADVERTISEMENT
Situs Sejarah Kurang Perhatian
Acehkini sempat menjenguk kompleks makam-makam dengan ratusan nisan kuno. Ada tiga kompleks makam berdekatan dipisahkan rumah-rumah warga. Selain Komplek Makan Tuan Di Kandang, ada Kompleks Makam Raja-raja Gampong Pande, dan Kompleks Makam Putroe Ijo. Kemudian masih ada puluhan situs nisan kuno terlantar di dekat pantai, dan tambak.
Kompleks makam tampak kurang terurus, pagar kusam, rumput-rumput mulai memanjang, tepat saat HUT Banda Aceh ke-814 digelar. “Situs sejarah Gampong Pande kurang perhatian, kurang terurus,” kata Harun Keuchik Leumik, Pemerhati budaya dan kolektor benda-benda sejarah Aceh, saat menyampaikan sambutannya.
Dia membandingkan dengan Malaysia. “Di Kuala Lumpur dan Malaka, nisan-nisan raja dan pejuang Aceh dulunya dirawat dengan sangat baik,” sambungnya. Padahal, Gampong Pande adalah awal peradaban Banda Aceh, dengan ragam bukti kemajuan masa lalu.
ADVERTISEMENT
Gampong Pande dikenal sebagai kampung pengrajin Aceh masa lalu. Ragam kerajinan dibuat di sana, termasuk mencetak dirham sebagai mata uang kerajaan. Tahun 2013 lalu, masyarakat menemukan ribuan dirham di bekas tambak warga Gampong Pande.
Bahkan ditemukan beberapa mata uang emas dari Turki dan Italia. “Gampong Pande sangat menarik, semoga ke depan mendapat perhatian lebih baik,” katanya.
Pada kesempatan yang sama, Presiden Dunia Melayu Dunia Islam, Tan Sri Mohammad Ali Rustam mengatakan khusus datang ke Banda Aceh untuk menjenguk saudara-saudara Melayu. “Aceh dan Malaysia punya hubungan erat sejak dulu. Sejarah Aceh sangat menarik dalam peradaban Islam,” katanya.
Salah satu hubungan dekat Aceh dan Malaysia dulunya, kata Tan Sri Mohammad Ali, adalah ikutnya para prajurit Kesultanan Aceh membantu Malaka mengusir penjajah Portugis. “Ramai pahlawan Aceh dikebumikan di Malaka. Sejarah kita hebat,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
“Sejarah penting, untuk mengenal bangsa, paham asal-usul. Sejarah ini perlu dibukukan dan dirawat,” sambungnya.
Usai makan siang, dan salat dzuhur, puluhan warga dan mahasiswa Malaysia bergerak untuk ziarah makam Tuan Di Kandang. “Kami juga membersihkan situs sejarah makam-makam kuno ulama dan pembesar Aceh Darussalam yang masih terbengkalai di area tambak Gampong Pande,” kata Cut Putri, Ketua Yayasan Darud Donya.
Mereka juga ikut menanam bakau, dan membersihkan pantai Gampong Pande, sebagai kilometer nol Kesultanan Aceh Darussalam. Selamat HUT Banda Aceh ke-814. []
Reporter: Adi Warsidi