Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten Media Partner
Menghadap Jenderal Kohler di Kerkhof Petjut (1)
26 Februari 2019 23:15 WIB
Diperbarui 21 Maret 2019 0:03 WIB
ADVERTISEMENT
Seorang pria dengan cetok di tangan tampak menyemen sebuah nisan. Ia merapikan bekas plesteran pada sudut-sudut dinding nisan yang sudah patah. Sebuah topi melindungi kepalanya pada sore hari yang masih terik itu. Ia seakan tak peduli pada cuaca panas yang membuat wajahnya berpeluh. “Saya senang melakukan ini,” katanya.
ADVERTISEMENT
Pria itu, Ampon Bit. Ia mengaku masih keturunan dari Sultan yang pernah memerintah kerajaan Aceh. Sore itu, dia menghabiskan waktu memperbaiki beberapa nisan yang rusak. Kegiatan ini dilakukannya secara sukarela. “Saya peduli dengan sesuatu yang bernilai sejarah,” ucapnya menjawab acehkini.
Nisan yang diperbaiki Ampon Bit merupakan satu dari 2.200 nisan yang berada di komplek kuburan militer Belanda, Kerkhof Petjut, Banda Aceh. Berbeda dengan nisan di sekelilingnya, nisan yang baru diperbaiki Ampon Bit itu tidak memiliki nama. Boleh jadi, sosok yang dikubur di situ bukanlah figur penting di tubuh kemiliteran Belanda sehingga tidak perlu diabadikan namanya. Saya sempat memperhatikan, ada banyak nisan tanpa nama di sana. Bentuk dan ukurannya pun berbeda-beda, tidak sama antara nisan yang satu dengan yang lain.
Ampon Bit menunjuk tanah lapang di sisi utara yang berdekatan dengan Museum Tsunami. Di sana, katanya, terdapat banyak kuburan juga tapi tidak dibangun nisan seperti yang lain. Boleh jadi yang dikubur di situ prajurit Marsose beragama Islam. Sehingga dikubur begitu saja dalam satu liang lahat, karena tidak mungkin dipasang lambang salib. “Itulah kenapa tidak ada nisan di situ,” katanya. “Bisa saja mereka dikuburkan seperti cara orang kita menguburkan korban tsunami,” lanjut pria yang aktif di Lembaga Zuriat Kesultanan Atjeh Darussalam ini.
ADVERTISEMENT
Dia mengaku tidak setiap hari datang ke kuburan peninggalan Belanda itu. Hanya saat ada waktu senggang saja dia datang ke sana. “Tidak ada yang membayar saya melakukan pekerjaan ini,” ucapnya. “Kalau sempat saja saya datang ke sini.”
Sewaktu acehkini menyambangi Kerkhof, banyak nisan sudah bersalin rupa. Tidak lagi angker. Memang, beberapa batu nisan tampak tidak lagi berada di tempatnya: rusak dan patah. Namun, pemugaran makam dalam skala lebih kecil sering dilakukan, termasuk oleh relawan seperti dilakukan Ampon Bit.
Urusan renovasi dan pemeliharaan makam baru dilakukan setelah turun perintah dari Belanda. Semua biaya pengelolaan Kerkhof Petjut ditanggung oleh Yayasan Dana Petjut atau Stichting Petjut-Fonds yang kini diketuai Robert Jan Nix, anak seorang perwira Belanda yang lahir di Geumpang, Pidie, Aceh.
ADVERTISEMENT
Ouroborus di Makam Kohler
Makam Mayor Jenderal Johan Harmen Rudolf (JHR) Kohler menghadap ke arah pintu gerbang. Makam itu hanya berjarak sekitar sepuluh meter dari pintu gapura. Keberadaan makam perwira ini tampak mencolok di antara makam lain di Kerkhof Petjut. Selain posisinya berada di jalan masuk, makam Kohler dihiasi dengan Ouroborus, sebuah simbol kuno yang menggambarkan ular menggigit ekornya sendiri.
Simbol Ouroborus ini diukir persis di bawah nama JHR Kohler, seakan menegaskan soal konsep siklus hidup yang tidak terbatas: mati dan hidup kembali. Konsep ini seperti mengafirmasi nasib yang menimpa makamnya. Soalnya, meski kini kuburannya hanya berjarak satu kilometer dari lokasi tempatnya tertembak, sebenarnya Kohler sempat dikuburkan di pemakaman Kebon Jahe Kober di daerah Tanah Abang.
Setelah Museum Taman Prasasti dibangun di lokasi itu, tulang-belulang Kohler digali dan dipindahkan ke Aceh. Pada 19 Mei 1978, sekali lagi, Kohler dimakamkan. Sebuah upacara militer menandai kembalinya sang perwira itu ke tanah Aceh. Agar persis sama seperti makam di Kebon Jahe, makam Kohler di Kerkhof Petjut pun dibuat berbentuk monumen.
ADVERTISEMENT
Mayor Kohler adalah pemimpin agresi militer pertama Belanda saat menyerang Aceh. Dia tiba di Aceh pada 5 April 1873 dengan mengikutsertakan 168 perwira dan dibantu 3800 serdadu dan tentara bayaran. Kohler hanya sempat menghirup udara Aceh selama 9 hari. Pada 14 April 1873 atau 18 hari setelah Kerajaan Belanda mengumumkan memerangi Aceh, Kohler tewas tertembak peluru pejuang Aceh di halaman Masjid Raya Baiturrahman. Dulunya, sebelum pemugaran Masjid Raya, lokasi tertembaknya Kohler dapat dilihat dengan jelas oleh jemaah.
Kohler menjadi satu dari ribuan serdadu Belanda dan pasukan Marsose yang dimakamkan di Kerkhof Petjut. Dengan luas dua kali lapangan bola, Kerkhof Petjut menjadi komplek kuburan militer Belanda terbesar di luar negeri. Berdasarkan data dari Yayasan Dana Petjut, di lokasi ini terdapat lebih 2,200 makam tentara dan ratusan warga sipil, sebagiannya tidak memiliki nisan. Nama-nama mereka yang dikubur di situ bisa dibaca di dinding gapura.
Sebagai informasi, Perang Aceh-Belanda (1873-1942) memakan korban yang tidak sedikit. Ada 12.000 prajurit dan lebih kurang 25.000 pekerja paksa tewas di pihak Belanda, sementara dari pihak pejuang Aceh korban tewas 70.000 orang. Artinya, jika merujuk pada data di atas, ada banyak serdadu Belanda dan warga sipil yang tidak dikubur di lokasi ini.
ADVERTISEMENT
Makam Kohler termasuk istimewa. Letaknya yang menghadap pintu masuk memudahkan para pengunjung menemukannya. Seakan-akan, siapa pun yang berziarah ke makam kolonial itu, wajib menghadap sang Mayor terlebih dulu. [bersambung ]
Reporter: Taufik Al Mubarak