Menolong Rohingya di Aceh: Harapan Warga dan Relawan kepada Pemerintah (14)

Konten Media Partner
27 Oktober 2022 10:13 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Kapal Rohinya ditarik nelayan ke darat di kawasan Lancok, Aceh Utara. Foto: Zikri M untuk acehkini
zoom-in-whitePerbesar
Kapal Rohinya ditarik nelayan ke darat di kawasan Lancok, Aceh Utara. Foto: Zikri M untuk acehkini
ADVERTISEMENT
Nelayan dan relawan berharap banyak kepada kepada pemerintah dalam menolong Rohingya yang kerap terdampar di Aceh. Jangan sampai agar aksi kemanusiaan mengantar mereka ke penjara.
ADVERTISEMENT
Perasaan khawatir belum lekang dari pikiran Badruddin Yunus. Satu-satunya yang bikin hati Panglima Laot Bireuen itu lega adalah bila pemerintah telah membuat aturan ihwal pertolongan pengungsi luar negeri di laut. "Jangan sampai niat menolong, tapi kemudian diproses hukum," kata Badruddin.
Badruddin Yunus dan nelayan lain di Aceh berada pada posisi dilema. Sebab mereka kerap menolong pengungsi Rohingya yang terombang-ambing di laut, sesuai hukum adat laot Aceh yang mewajibkan pertolongan segera. Namun mereka merasa seakan-akan kearifan lokal itu berhadap-hadapan dengan hukum negara Indonesia.
Misalnya, temuan pengungsi Rohingya di perairan Bireuen, Desember 2021. Badruddin merasakan betul kehadiran tekanan dari berbagai pihak agar tidak menariknya ke darat, meski kapal kayu pengungsi rusak dan bocor. Tidak lagi mungkin melarungnya ke laut lepas.
ADVERTISEMENT
Keinginan nelayan untuk menarik kapal itu ke darat seolah akan membebankan pemerintah. Padahal, dasar hukum yang Badruddin harapkan telah lama ada berupa Peraturan Presiden Nomor 125 Tahun 2016 tentang Penanganan Pengungsi dari Luar Negeri. Isinya mirip dengan hukum adat laot Aceh: wajib menolong pengungsi luar negeri dalam keadaan darurat di laut dan darat.
Namun Badruddin menilai Peraturan Presiden yang disusun setelah arus pengungsi Rohingya besar-besaran ke Aceh pada 2015 itu masih lemah. Dalam beberapa peristiwa pengungsi kembali terdampar di Aceh, aturan ini belum menjamin nelayan tidak disalahkan.
Sejauh ini belum ada yang menjawab perasaan khawatir Badruddin Yunus dan nelayan lain di Aceh. Mereka akhirnya tetap terperosok ke lubang dilematik bila menemukan pengungsi Rohingya terkatung-katung di laut: membantu sesuai adat yang sudah berlaku berabad-abad silam atau mengamankan diri dari jerat hukum negara. Badruddin sepertinya telah menjawab sendiri rasa dilema itu.
ADVERTISEMENT
"Kalau ke depan masih tetap tidak ada dasar hukum negara yang jelas soal nasib kami nelayan saat menolong Rohingya, kami tetap menolongnya meski dengan diam-diam," tuturnya.
Kelemahan Peraturan Presiden 125/2016 juga dikeluhkan Coordinator Monitoring and Evaluation Yayasan Geutanyoe, Iskandar Dewantara. Ketika pengungsi Rohingya ditemukan di perairan Aceh, misalnya, tidak disebutkan wewenang siapa menentukan nasib mereka. "Dalam Perpres tidak tertulis detail kewenangan siapa yang mengambil keputusan ditarik ke darat atau tidak," katanya.
Dampak ketidakjelasan ini membuat penanganan pengungsi luar negeri yang masuk lewat laut berlarut-larut. Negara yang mengambil pendekatan keamanan akhirnya membuat lembaga kemanusiaan harus mendesak presiden tiap kali Rohingya terdampar di Aceh. "Setelah ada keputusan presiden baru mereka dapat ditarik ke darat."
ADVERTISEMENT
Setiba di darat, Peraturan Presiden menyuruh pemerintah menyediakan tempat penampungan sementara bagi pengungsi luar negeri. Namun itu hanya di atas kertas. Sebab, beberapa kejadian, justru warga dan perangkat gampong yang lekas mendirikan tempat penampungan dan memberi makanan minuman ke pengungsi.
Surat rekomendasi penempatan pengungsi luar negeri dari Satuan Tugas Penanganan Pengungsi Luar Negeri juga tidak menjadi daya dorong bagi pemerintah daerah. Beberapa kasus, pemerintah daerah menolak menjadikan daerahnya sebagai lokasi penampungan karena pengungsi terdampar di daerah lain. "Surat berupa rekomendasi, bukan surat perintah, sehingga agak lemah," kata Iskandar.
Karenanya, Koordinator MRI-ACT Kota Lhokseumawe, Rauzi Haristia menginginkan adanya kepastian dalam berbagai regulasi penanganan pengungi. “Kita ingin ada kejelasan, misalnya selama mereka di sini bagaimana kebijakan pemerintah? Berapa lama tahap penanganan dan di mana tempat penampungan yang sudah ditentukan?” katanya.
ADVERTISEMENT
Hal ini semata-mata untuk memberikan kemudahan bagi semua pihak yang terlibat. Pengalaman lalu, lembaga tidak berani melakukan perencanaan jauh. “Khawatir jika dalam hitungan hari sudah dipindahkan ke tempat lain. Ini agak merepotkan teman-teman di lapangan dalam membuat program, laporan dan sebagainya,” jelas Rauzi.
Tapi kalau ada kebijakan yang baku dari pemerintah terkait status dan berapa lama di tempat penampungan hingga dipindahkan, lembaga tidak meraba-raba dalam menjalankan misi kemanusiaan.
Penting juga memikirkan adanya shelter khusus yang aman bagi Rohingya dan masyarakat sekitar, sehingga tidak terjadi gesekan antara pengungsi dan warga yang dapat saja dipicu faktor kecemburuan sosial. Hal ini harus disiapkan oleh pemerintah sematang mungkin, termasuk perangkat-perangkatnya.
Faisal Rahman menawarkan solusi. Koordinator Wilayah Lhokseumawe Yayasan Kemanusiaan Madani Indonesia (YKMI) ini menyarankan peran pemerintah sebatas membolehkan pengungsi luar negeri masuk ke Indonesia. Tanggung jawab berikutnya sejatinya harus diambil alih lembaga kemanusiaan lokal atau internasional, seperti UNHCR. Ini akan menghapus keraguan pemerintah untuk menarik atau tidak pengungsi ke daratan. "Bila itu terjadi saya kira pemerintah tidak akan ragu," ujarnya.
ADVERTISEMENT
Sikap pemerintah yang ragu-ragu saat pengungsi luar negeri ditemukan di laut membuat Muhammad Wali sedih. Kepala markas Palang Merah Indonesia Kota Lhokseumawe itu berharap ada kebijakan khusus yang mengatur soal ini karena Peraturan Presiden belum cukup. "Kalau bisa dibuat qanun atau apa yang lain khusus mengatur penanganan itu," kata Wali.
Harapan agar ada qanun juga mengemuka dalam sejumlah lokakarya Yayasan Geutanyoe untuk pemetaan daftar masalah penanganan pengungsi Rohingya. "Sebagai langkah untuk mengajukan perbaikan atau revisi Perpres 125/2016 terkait penanganan pengungsi," tutur Novendra, Monitoring and Evaluation Officer Yayasan Geutanyoe.
Anak-anak pengungsi Rohingya di Lhokseumawe. Foto: Zikri M untuk acekini
Melihat berbagai aspek penanganan yang terkadang berbenturan dengan aspek hukum, Yayasan Geutanyoe mendorong pemerintah menjalankan kewajibannya dalam penanganan pengungsi. Salah satunya dengan membentuk qanun tentang penanganan pengungsi luar negeri di Aceh.
ADVERTISEMENT
Menurut Novendra, aspek yang diatur dalam draf qanun kelak haruslah berbasis pengalaman selama ini. "Kalau tidak, seandainya masuk pengungsi baru kita akan kembali ke nol lagi dalam menanganinya," kata Novendra. [tamat]
Note: Sebagian materi tulisan telah dibukukan dengan judul ‘Aceh Muliakan Rohingya’ ditulis oleh jurnalis acehkini difasilitasi Yayasan Geutanyoe.