Menolong Rohingya di Aceh: Kisah Baju Lebaran Pengungsi dari Mutiawati (6)

Konten Media Partner
6 Agustus 2022 10:10 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Mutiawati, warga Alue Buya Pasie, Bireuen yang membantu pengungsi Rohingya. Foto: Habil Razali/acehkini
zoom-in-whitePerbesar
Mutiawati, warga Alue Buya Pasie, Bireuen yang membantu pengungsi Rohingya. Foto: Habil Razali/acehkini
ADVERTISEMENT
Warga Aceh menolong pengungsi Rohingya sepenuh hati, layaknya keluarga sendiri. Bahkan baju lebaran pun dibelikan untuk mereka yang terdampar saat mencari penghidupan yang lebih baik, usai terusir dari negeri sendiri. Ini hubungan unik atas dasar kemanusiaan.
ADVERTISEMENT
Mutiawati berada di rumah saat penduduk memenuhi jalanan kecil Gampong Alue Buya Pasie, Kecamatan Jangka, Bireuen, Minggu, 6 Maret 2022. Kala itu masih pukul 06.00. Perempuan 31 tahun tersebut semula mengira jalanan ramai karena air laut naik ke darat. Kampung ini memang persis di bibir pantai menghadap Selat Malaka.
Mutiawati bertanya-tanya sehingga dapat jawaban dari warga lain. "Ada Rohingya di meunasah," katanya. Ia bergegas pergi ke meunasah yang terpaut sekitar 100 meter dari rumahnya. Di sana, ia tertahan di luar pagar. Polisi menjaga area itu, tidak semua orang bisa masuk. Mutiawati hanya melihat dari luar, lantas ia memilih pulang tidak lama kemudian.
Dini hari itu, kapal kayu berpenumpang 114 pengungsi Rohingya terdampar di pantai Kuala Raya, Gampong Alue Buya Pasie. Warga setempat melihat mereka telah turun ke darat. Beberapa orang saja yang masih bertahan di kapal. Informasi kedatangan pengungsi tersebut kemudian mengalir deras ke sana kemari. Aparat keamanan datang mengawal mereka.
ADVERTISEMENT
Warga setempat membawa pengungsi itu ke meunasah Alue Buya Pasie. Mereka diberi minuman dan makanan. Dari meunasah, bangunan berfungsi tempat salat hingga musyawarah, pengungsi dipindahkan ke tenda darurat yang didirikan di dekatnya.
Mutiawati datang lagi ke meunasah selang beberapa hari sejak kedatangan pengungsi. Kali ini ia pergi dengan becak bermuatan dagangan: makanan sampai minuman ringan. "Saya berjualan di sana. Pembeli adalah orang-orang yang datang melihat Rohingya," ujar ibu dua anak itu.
Sehari-hari Mutiawati memang berjualan di teras rumahnya. Ia menyediakan makanan dan minuman ringan, hingga sayuran. Sang suami, Teungku Jamli (36 tahun), sesekali membantu melayani pembeli bila tak sibuk dengan tugasnya sebagai Teungku Imum Gampong Alue Buya Pasie –jabatan tertinggi keagamaan tingkat gampong di Aceh.
Pengungsi Rohingya saat terdampar di pantai Ujong Blang, Bireuen. Foto: Zikri M untuk acehkini
Di depan meunasah, dagangan Mutiawati lumayan laku. Karena, ia minta pendatang yang menyaksikan pengungsi untuk beli, lalu diberikan ke pengungsi. Hasil jualan di sana Mutiawati sumbang semuanya ke para pengungsi. "Saya sangat sayang ke mereka. Tidak bisa saya jelaskan, sangat sayang," katanya.
ADVERTISEMENT
Pengungsi Rohingya menetap di meunasah selama dua pekan sebelum dipindahkan ke kantor serbaguna di kantor camat Jangka, sekitar 5 kilometer dari Alue Buya Pasie. Selama itu pula, Mutiawati membantu mereka seadanya.
Suatu hari, Mutiawati baru pulang belanja dari pasar ketika harus menghentikan laju becak yang ia kendarai di gapura jalan masuk Gampong Alue Buya Pasie. Di sana ia melihat pengungsi Rohingya berdiri sambil membawa barang-barang. Para pengungsi meninggalkan tenda darurat di Alue Buya Pasie setelah menempatinya sekitar dua pekan.
"Saya ketika itu tidak bisa berkata apa-apa, saya hanya menangis. Belanjaan yang seharusnya saya jual lagi saat itu saya bagi-bagi ke pengungsi Rohingya. Saya sedekahkan, bukan jualan," ujar Mutiawati.
Pengungsi Rohingya itu lalu direlokasi ke gedung serbaguna kantor camat Jangka. Mutiawati dan ibu-ibu Alue Buya Pasie rutin menjenguk mereka di tempat baru. Selama Ramadan 2022, Mutiawati bersama sejumlah warga ikut menyumbang takjil, seperti nasi goreng dan kolak.
ADVERTISEMENT
Mutiawati juga pernah masak mie goreng dan membawanya ke gedung serbaguna. Ibu kandungnya, Hadanah (60 tahun), menguatkan cerita keikhlasan sang anak berbagi ke pengungsi. Suatu kali, Mutiawati masak kuah kari bebek di rumah. Hadanah ingin menyantap makanan tersebut, tapi dilarang Mutiawati. "Semua yang dimasak diberikan ke pengungsi Rohingya," kata Hadanah, di teras rumah anaknya.
Saat Hari Raya Idul Fitri 1443 Hijriah, pengungsi Rohingya itu masih di gedung serbaguna kantor camat Jangka. Beberapa hari sebelumnya, Mutiawati membeli baju Lebaran untuk dua anak Rohingya berusia belasan tahun: Omar dan Hafiztullah. Meski telah menempati tempat baru, dua anak ini beberapa kali dengan diam-diam pergi ke rumah Mutiawati di Alue Buya Pasie.
Pengungsi Rohingya saat meninggalkan Gampong Alue Buya Pasie, Bireuen. Foto: Yayasan Geutanyoe
Mutiawati memberi mereka makanan, lalu mengantarnya kembali ke kantor camat. "Dua anak ini sangat saya sayang di antara mereka. Mereka menganggap saya ibunya. Sewaktu saya berkunjung kantor camat, mereka sering panggil saya ibu," ujarnya.
ADVERTISEMENT
Pertengahan Mei 2022, pengungsi di kantor camat Jangka tersebut direlokasi ke Kota Pekanbaru, Provinsi Riau. Mutiawati harus berpisah dengan Omar dan Hafiztullah. Namun, dalam beberapa kesempatan Omar menghubungi Mutiawati lewat Facebook. Omar bilang akan pulang ke Alue Buya Pasie seandainya diizinkan keluar sebentar dari tempat pengungsian.
"Apa sebentar saja mereka tidak boleh pulang ke sini?" tanya Mutiawati. [bersambung]
Note: Sebagian materi tulisan telah dibukukan dengan judul ‘Aceh Muliakan Rohingya’ ditulis oleh jurnalis acehkini difasilitasi Yayasan Geutanyoe.