Menolong Rohingya di Aceh: Tergerak Hati Kala Mengenang Nasib Sendiri (5)

Konten Media Partner
5 Agustus 2022 9:27 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Saat menemukan pengungsi Rohingya terdampar, warga pesisir tak keberatan berbagi makanan kendati hidup susah. Hati tergerak mengenang nasib sendiri kala tsunami melanda Aceh. Pengungsi disebut sebagai saudara.
Pengungsi Rohingya beberapa saat setelah tiba di Alue Buya Pasie, ditolong warga setempat. Foto: dok. Yayasan Geutanyoe
Minggu Subuh, 6 Maret 2022, Gampong Alue Buya Pasie, Kecamatan Jangka, Kabupaten Bireuen mendadak riuh. Pencari kepiting membawa kabar ke perkampungan ada kapal kayu dengan orang-orang berkulit gelap terdampar di Kuala Raya. Lalu sejumlah pemuda dan perangkat gampong menuju ke sana untuk memastikannya.
ADVERTISEMENT
Benar saja, rombongan orang telah duduk-duduk di pantai sambil menunggu bantuan. Keuchik Alue Buya Pasie, Muslim, memerintahkan para pemuda untuk membawa mereka ke meunasah. Warga turut serta mengumpulkan bantuan makanan dan minuman.
Aisyah (40 tahun) mendengar keramaian di meunasah dari dalam rumah yang bejarak hanya 10 meter. Penasaran, dia keluar dan melihat langsung para pendatang yang kebasahan dengan baju compang-camping. “Orang-orang Rohingya,” kata seorang warga kepadanya.
Etnis Rohingya kerap didengar Aisyah dari berita-berita di media, sebagai muslim dengan kehidupan yang miris karena konflik di negaranya hingga terusir dari tanah lahir. “Kini, saya dapat melihat langsung mereka. Saya pikir mereka bertubuh besar-besar, ternyata sangat mirip dengan kita,” katanya.
Perempuan paruh baya itu langsung terbayang nasibnya saat mengungsi kala tsunami melanda Aceh pada 26 Desember 2004 silam. Kala itu, kendati tak ada kerusakan berarti dan korban di Alue Buya Pasie, tapi air laut sempat merembes naik seperti banjir. Warga khawatir dan mengungsi selama sepekan ke kampung tetangga yang jauh dari laut dengan bekal seadanya.
Pengungsi Rohingya saat keluar dari Gampong Alue Buya Pasie. Foto: Dok. Yayasan Geutanyoe
Aisyah mencoba sebisanya menyapa pengungsi dengan bahasa isyarat. Selanjutnya pulang ke rumah, mengumpulkan baju dan jilbab miliknya, milik anak-anak serta para tetangga untuk diserahkan kepada pengungsi perempuan.
ADVERTISEMENT
Kabar keberadaan pengungsi di Alue Buya Pasie menyebar cepat lewat media sosial. Perangkat gampong juga telah menyampaikan ke pihak kecamatan. Warga dari luar gampong berdatangan ke sana untuk melihat kondisi pengungsi lebih dekat. “Saya memanfaatkan momen itu untuk meminta kepada mereka untuk datang kembali membawa baju-baju bekas untuk membantu,” kisah Aisyah.
Hari itu juga, sebagian baju terkumpul untuk diserahkan kepada pengungsi yang berjumlah 114 orang. Siang hari, Aisyah bersama kaum ibu lainnya membantu memasak dengan menu nasi dan indomie. Selanjutnya relawan kemanusiaan mulai datang menyalurkan bantuan makanan dan minuman.
Pengungsi Rohingya menetap di meunasah selama dua pekan sebelum dipindahkan ke kantor serbaguna di kantor camat Jangka, sekitar 5 kilometer dari Alue Buya Pasie. Selama itu pula, Aisyah berinteraksi dengan mereka sembari membantu sebisanya.
ADVERTISEMENT
Warga lainnya, Rohani (32 tahun) mengungkapkan hal sama. “Siapa pun akan tergerak hatinya untuk menolong jika melihat kondisi mereka saat pertama kali datang,” katanya.
Rohani mengakui ada seorang anak pengungsi yang sangat mirip anaknya. Karenanya, dia kerap memberi perhatian lebih kepada anak itu, bahkan memberikan baju anaknya untuk anak tersebut.
Saat para pengungsi pindah ke pusat kecamatan, Aisyah, Rohani dan perempuan Alue Buya Pasie lainnya ikut memasak berbagai makanan untuk diberikan kepada mereka. Interaksi terus terjalin, banyak pengungsi yang kemudian berkunjung kembali ke gampong tempat mereka terdampar pertama kali, termasuk saat Idul Fitri 1443 Hijriah.
Dan begitu sebaliknya, warga datang ke pusat kecamatan membawa makanan. “Penampilan mereka sudah keren-keren, mungkin telah banyak bantuan,” kata Aisyah. [bersambung]
ADVERTISEMENT