Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.88.1
Konten Media Partner
Milik Siapa? Tanah Kopelma Darussalam, Aceh
27 Mei 2019 15:32 WIB
Diperbarui 15 Juli 2020 9:56 WIB
Opini
ADVERTISEMENT
Dalam sebulan terakhir, telah terjadi diskusi hangat dan viral di beberapa media social kalangan civitas akademika Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) dan Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry. Musababnya adalah debat soal status sebidang tanah, antara kedua kampus yang terletak berdekatan di Kota Pelajar dan Mahasiswa (Kopelma) Darussalam, Banda Aceh.
ADVERTISEMENT
Pengantar
Diskusi hangat di kalangan akademisi dua kampus, dimulai saat Rektor Unsyiah mengeluarkan surat bernomor B/3509/UN11/RT.04.01/2019 tertanggal 6 Mei 2019, ditujukan kepada pengelola Asrama Puteri UIN Ar-Raniry. Isinya, mempersiapkan diri kalau sewaktu-waktu diminta untuk dikosongkan guna pengembangan Percetakan Unsyiah, karena tanah tersebut merupakan aset Unsyiah.
Menanggapi isi surat tersebut, pendapat civitas akademika di kedua kampus jantong hate rakyat Aceh tersebut, terbelah dalam dua golongan, yaitu: mendukung isi surat tersebut dan tidak sedikit yang menolaknya. Perdebatan meluas ke luar lingkungan Kampus Darussalam setelah muncul tulisan dalam bentuk reportase yang terbit di sebuah koran harian di Aceh. Tema diskusi pun meluas, tidak hanya pada isi surat rektor tersebut, tetapi ke hal-hal lain seperti pemagaran kampus.
ADVERTISEMENT
Meskipun Humas Unsyiah telah mengeluarkan klarifikasi terhadap keberadaan surat rektor pada 11 Mei 2019 dan keluar di beberapa media, ternyata perdebatan tidak juga berhenti. Diskusi semakin meluas. Agar perdebatan tersebut tidak menjadi polemik liar yang mengarah ke hal-hal negatif dan dapat mengganggu hubungan erat antara Unsyiah dengan UIN Ar-Raniry, yang lahir dari rahim sama yaitu Proyek Pembangunan Kopelma Darussalam sejak 2 September 1959, maka memicu saya untuk menulis opini ini. Saya pernah meneliti tentang sejarah Unsyiah, mencoba berbagi sedikit pengetahuan historis tentang asal-usul tanah Kopelma Darussalam, tempat sekarang berdiri dengan megahnya dua kampus terbesar di Aceh.
Kopelma Darussalam: Kampus Terintegrasi
Melihat ke belakang pada latar belakang dan tujuan pembangunan Kampus Kopelma Darussalam yang dimulai 2 Sepember 1959, Unsyiah dan IAIN (sekarang UIN) termasuk Dayah Pante Kulu merupakan bagian integral yang tidak terpisahkan satu sama lainnya, dalam upaya memajukan Aceh. Menurut (Alm) Prof. Ali Hasjmy, founding father lahirnya Kopelma Darussalam, dijadikan pembangunan lembaga pendidikan tinggi sebagai cara membangun kembali peradaban Aceh, karena kebesaran Aceh di masa lalu terutama pada zaman keemasannya abad ke-16 dan ke-17, bukan hanya karena kekuatan angkatan perang yang dimiliki, tetapi yang lebih penting lagi adalah sumber daya manusia yang dipunyai.
ADVERTISEMENT
Saat itu Aceh memiliki banyak kaum intelektual yang menjadi motor berkembangnya peradaban. Kontribusi kaum intelektuallah yang menjadikan Aceh sebagai pusat peradaban Islam di Asia Tenggara. Kemajuan peradaban Aceh mulai menurun sejak masuknya kolonialisme Belanda sehingga terjadinya perang Aceh dengan Belanda yang berkepanjangan, diikuti masa revolusi kemerdekaan, dan terakhir meletusnya peristiwa DI/TII tahun 1953. Dengan peristiwa yang beruntun tersebut telah berimplikasi negatif pada paradaban Aceh sampai pada kondisi kurang menguntungkan.
Dengan mengambil momen perdamaian setelah berakhirnya peristiwa DI/TII, proses pembangunan kembali Aceh melalui pembangunan Kampus Kopelma Darussalam merupakan solusi tepat dipikirkan oleh para tokoh saat itu. Tujuan tersebut ditempuh dengan menjadikan pembangunan Kopelma Darussalam menjadi bagian dari pembangunan pendidikan Aceh yang terintegrasi, baik pendidikan umum maupun pendidikan keagamaan. Oleh karena itu, dalam kampus Kopelma Darussalam akan dilahirkan 3 lembaga pendidikan tinggi, yaitu: Unsyiah yang diproyeksikan mengembangkan pendidikan umum, IAIN (UIN) yang diproyeksikan mengembangkan pendidikan keagamaan, dan Dayah Pante Kulu yang diproyeksikan melahirkan Ulama yang akan mengajar dan menjadi pemimpin di dayah-dayah tinggi di Aceh.
ADVERTISEMENT
Bidang pengembangan yang berbeda tersebut diharapkan ketiga lembaga akan saling melengkapi, hingga terwujudnya tujuan utama pembangunan Kampus Kopelma Darussalam untuk memajukan kembali peradaban Aceh.
Dalam perkembangannya, ketiga lembaga tersebut telah melalui dinamika yang berbeda. Unsyiah dan IAIN (UIN) telah mencapai tingkat kemajuan yang pesat menjadi lembaga pendidikan tinggi dengan status Badan Layanan Umum (BLU), sebaliknya Dayah Pante Kulu tidak berkembang ke arah yang diproyeksikan pada awalnya, tetapi menjadi yayasan pendidikan tinggi yang mengembangkan dua bidang yaitu: Ilmu Kehutanan dan Ilmu Agama Islam.
Dengan menjadi perguruan tinggi berstatus BLU, maka salah satu aspek yang harus diperjelas oleh Unsyiah dan UIN adalah status aset yang dimiliki. Inilah sebenarnya awal masalah dari kedua lembaga tersebut. Untuk memperjelas status aset (tanah) yang dimiliki oleh kedua lembaga tersebut, tidak ada cara lain kecuali melihat riwayat tanah Kopelma Darussalam.
Riwayat Tanah Kopelma Darussalam
ADVERTISEMENT
Kesepakatan para pemimpin Aceh untuk membangun Kopelma Darussalam menjadi kampus terintegrasi dalam upaya memajukan pendidikan di Aceh, telah berimplikasi pada dibutuhkan tanah dalam skala besar sebagai tempat berdirinya tiga lembaga pendidikan tinggi yang dicita-citakan tersebut. Oleh karena tidak mungkin Kopelma Darussalam dibangun di atas tanah penduduk yang kecil, maka tidak ada pilihan lain kecuali mencari tanah erfpacht, yaitu tanah yang diberikan kepada seseorang atau perusahaan dengan status hak guna usaha atau hak kebendaan untuk menikmati kegunaan tanah kepunyaan pihak lain.
Awalnya dilakukan peninjauan tanah erfpacht Keutapang Dua, namun luasnya tidak mencukupi dan tanah persawahan rakyat di luar tanah erfpacht susah didapatkan kerena tidak mau dijual pemiliknya. Maka diputuskan meninjau tanah ke erfpacht Rumpit di Lamnyong, dengan luas lebih kurang lebih 181,3 hektare, maka tanah ini dianggap cukup ideal menjadi lokasi dibangunnya Kopelma Darussalam.
Berdasarkan dokumen surat dari Gubernur Provinsi Aceh Nomor 1786/Agr. Tanggal 26 Agustus 1958 kepada Kepala Jawatan Perkebunan Perwakilan Sumatera Utara/Aceh di Medan, perihal permintaan pembatalan tanah hak erfpacht “Lampreh dan Rumpit” dan dokumen surat Inspeksi Kantor Agraria Kutaradja Nomor Agr. 1608/I. Tanggal 1 Desember 1959 kepada Kepala Perwakilan Djawatan Perkebunan Daerah Istimewa Atjeh di Kutaradja, perihal yang sama dengan surat Gubernur, dinyatakan bahwa tanah lokasi tempat dibangunya Kopelma Darussalam merupakan tanah hak erfpacht yang diberikan pertama kali kepada Johan George Goethals. Tanah didaftar atas namanya dengan naskah hak atas tanah tanggal 22 Juli 1905.
ADVERTISEMENT
Kemudian, tanah hak erfpacht ini karena “inbreng” dipindahkan dengan naskah hak tanah tanggal 17 Februari 1921 No. 15 atas nama NV. Landbouwonderneming “Rumpit” yang berkedudukan di Medan, dan baru akan habis temponya pada tanggal 21 Juni 1980. Tanah perkebunan kelapa yang luas keseluruhan lebih kurang 181,3 Ha ini sejak pecahnya Perang Dunia II, dan berakhirnya masa kolonial Belanda di Aceh tahun 1942 sudah ditinggalkan dan tidak dikerjakan oleh pemiliknya.
Sebagian tanah tersebut telah dipakai oleh penduduk sekitar untuk menjadi lahan persawahan dan menanam tanaman muda. Oleh karena alamat pemiliknya tidak diketahui dan pajak dari tanah hak erfpacht sudah lama tidak dibayar oleh pemiliknya, maka diajukan pembatalan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1956 (Lembaran Negara Nomor 74 tahun 1956).
ADVERTISEMENT
Meskipun tanah tersebut merupakan milik perkebunan swasta yang sudah ditinggalkan, namun menurut informasi dari dokumen Inspeksi Agraria, pada saat diambil alih untuk pembanguan Kopelma Darussalam, telah dilakukan ganti kerugian kepada para penduduk sekitar yang lama menggarap tanah tersebut. Oleh karena itu, tanah tersebut telah sah menjadi lokasi pembangunan kampus harapan masyarakat Aceh.
Namun demikian, setelah mulai berdiri megah gedung-gedung Unsyiah dan UIN Ar-Raniry di lokasi Kopelma Darussalam, sekitar tahun 1978, muncul satu masalah besar, karena ternyata tanah tersebut merupakan hak milik Teuku Nyak Arief. Berdasarakan hasil wawancara penulis dengan (Alm) M. Yakob Yusuf (mantan kepala biro administrasi dan keuangan Unsyiah) pada tahun 1992, mengatakan bahwa pewaris Teuku Nyak Arief dapat mengajukan bukti yang kuat bahwa tanah tersebut adalah milik mereka dan sekaligus mengajukan tuntutan ganti rugi sebesar Rp 40 juta.
ADVERTISEMENT
Selain bukti tersebut, merujuk pada fakta historis juga sangat logis kalau tanah erfpacht Rumpit tersebut merupakan milik Teuku Nyak Arief, karena selain tanah berada di sekitar rumah Teuku Nyak Arief, beliau merupakan Uleebalang Kepala Sagi XXVI Mukim yang sangat logis memiliki tanah luas. Lagi pula, pada masa kolonial Belanda pihak swasta asing tidak dibolehkan memiliki tanah kecuali dengan cara menyewa. Hal ini merujuk pada Undang-Undang Agraria (Agrarische Wet) 1870 yang menetapkan prinsip-prinsip dasar dan politik tanah di Hindia Belanda, pengusaha swasta dapat menyewa tanah dari pemerintah (tanah domein) untuk masa 75 tahun, dan tanah hak milik pribumi dapat disewa untuk 30 tahun.
Undang-Undang ini dibuat dalam upaya membuka Hindia Belanda bagi perusahaan dan modal swasta seluas-luasnya (open de door politiek). Penyewaan tanah kepada pengusaha swasta asing juga dilakukan oleh banyak Uleebalang penguasa daerah di seluruh Aceh saat itu. Sebagai contoh, melalui penyewaan tanah inilah menjadikan Teuku Muhammad Taib Perlak menjadi Uleebalang dengan pendapatan terbesar di Aceh saat itu, karena inverstasi terbesar di Aceh adalah Aceh Timur, baik di sektor perkebunan maupun pertambangan minyak bumi.
Dengan adanya bukti yang kuat bahwa tanah Kopelma Darussalam merupakan milik sah Teuku Nyak Arief, maka Unsyiah dan UIN harus membayar ganti rugi yang dituntut para ahli warisnya. Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan Prof Abidin Hasyim, yang pada saat itu menjabat sebagai Pembantu Rektor I Bidang Akademik Unsyiah, mengatakan bahwa beliaulah yang menandatangani dokumen persetujuan pembayaran uang ganti rugi tersebut pada tahun 1978/1979 (beliau kurang ingat persis tahunnya).
ADVERTISEMENT
Prof Abidin Hasyim saat itu menjabat Plt Rektor Unsyiah, menandatangani dokumen atas nama Rektor Unsyiah, Prof Ibrahim Hasan, saat itu sedang berada di Filipina menyelesaikan program doktor-nya.
Ganti rugi yang dituntut sebesar Rp 40 juta, seluruhnya dibayar oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, karena Departemen Agama saat itu tidak mempunyai dana untuk membayarnya. Pembayaran ganti rugi tanah Kopelma Darussalam oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan diterima oleh menantu Teuku Nyak Arief, bernama Teuku Umar Ali, yang saat itu menjabat sebagai Dirjen pada Departemen tersebut.
Seluruh proses ganti rugi berlangsung di Jakarta, dan pihak Unsyiah hanya diminta menandatangani surat persetujuan pembayaran saja. Sebagai rasa terima kasihnya pihak keluarga Teuku Nyak Arief menghibahkan bekas rumah kediaman Teuku Nyak Arief beserta tanahnya untuk Unsyiah, belakangan dijadikan sebagai Pusat Pengkajian Hukum Adat.
ADVERTISEMENT
Setelah pembayaran ganti rugi selesai, menurut Prof. Abidin Hasyim, muncul persoalan baru yaitu Departemen Pendidikan dan Kebudayaan menganggap seluruh tanah Kopelma Darussalam adalah milik Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Unsyiah) karena dibayar dengan uang Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, sedangkan IAIN berada di bawah naungan Departemen Agama.
Persoalan tersebut diselesaikan saat Prof. Ibrahim Hasan kembali menjabat Rektor Unsyiah, usai menyelesaikan program doktor-nya tahun 1981. Penyelesaian dilakukan dengan melibatkan seluruh unsur pimpinan daerah Aceh dan Rektor IAIN Ar-Raniry.
Dengan menimbang proses awal pembangunan Kopelma Darussalam yang tidak terpisahkan antara Unsyiah dengan UIN Ar-Raniry, termasuk Pante Kulu, maka diputuskan bahwa sebagian tanah tersebut diberikan untuk UIN Ar-Raniry seluas 25 hektar, dengan batas jalan belakang gedung Pascasarjana Unsyiah ditambah areal Pascasarjana UIN Ar-Raniry sekarang, karena di situ sudah berdiri fasilitas UIN Ar-Raniry.
Walupun telah dilakukan pembagian dengan dengan batas-batas yang jelas, namun beberapa fasilitas milik UIN Ar-Raniry yang berada dalam wilayah Unsyiah, seperti rumah dosen dan asrama putri, tetap dibiarkan seperti sebelumnya.
ADVERTISEMENT
Bercermin pada hasil penyelesaian persoalan aset awal tahun 1980-an antara kedua lembaga pendidikan tersebut, ditambah dengan realitas kekinian bahwa Unsyiah dan UIN Ar-Raniry sama-sama telah menjadi perguruan tinggi dengan status Badan Layanan Umum (BLU) yang mempunyai tantangan yang sama, semoga kedua belah pihak dapat menemukan solusi yang tepat dalam menyelesaikan permasalahan tanah yang sedang viral akhir-akhir ini.
Penyelesaian persoalan ini sangat penting dilakukan selain untuk menjaga keberlanjutan hubungan baik antara Unsyiah dan UIN Ar-Raniry, juga untuk menghentikan komentar-komentar miring di media sosial yang kadang-kadang tidak mendasar dan tidak solutif.
Penulis: Mawardi Umar
Dosen Jurusan Pendidikan Sejarah FKIP Unsyiah dan Direktur Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh (PDIA)
ADVERTISEMENT