Museum Aceh Seabad Lebih, Berawal dari Rumoh Adat Bikinan Belanda

Konten Media Partner
3 Agustus 2021 13:13 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Kompleks Museum Aceh. Foto: Suparta/acehkini
zoom-in-whitePerbesar
Kompleks Museum Aceh. Foto: Suparta/acehkini
ADVERTISEMENT
Museum Aceh telah berumur 106 tahun. Tak ada peringatan meriah seperti dulu, dalam dua tahun terakhir. Pandemi COVID-19 masih menjadi kendala. Bahkan, museum pun masih tertutup untuk dikunjungi masyarakat umum.
ADVERTISEMENT
Memperingati 106 tahun keberadaannya di tengah pandemi, Museum Aceh menggelar pameran virtual koleksi benda-benda bersejarah bertema “Kilas Balik Sejarah Museum Aceh” pada Senin (2/8/2021) kemarin.
“Pameran virtual koleksi Museum Aceh ini digelar dalam rangka memperingati 106 tahun Museum Aceh yang jatuh pada 31 Juli 2021,” kata Mudha Farsyah, Kepala UPTD Museum Aceh.
Katanya, pameran bertujuan memperkenalkan sejarah panjang Museum Aceh dan menampilkan sejumlah koleksi yang tidak pernah dihadirkan pada pameran-pameran sebelumnya. “Sehingga generasi Aceh sekarang dan masyarakat Indonesia pada umumnya dapat mengenal Aceh lebih jauh,” katanya.
Rencong dan senjata koleksi Museum Aceh. Foto: Suparta/acehkini

Sejarah Museum Aceh

Komplek Museum tak jauh dari Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh, bersisian dengan Pendopo Gubernur. Banyak objek yang bisa dilihat di sana untuk paham sejarah dulunya. Di area itu, ada Rumoh Aceh (rumah adat) yang indah, lonceng Cakra Donya, dan makam-makan Sultan Aceh.
ADVERTISEMENT
Awalnya Museum Aceh hanya bangunan Rumoh Aceh. Keberadaan bangunan ini telah ada sejak 1914, dibangun Pemerintah Hindia Belanda untuk kepentingan pameran barang-barang asal Aceh, yang diadakan di Semarang, Jawa Tengah pada tanggal 20 Agustus – 15 November 1914.
Usai pameran, Rumoh Aceh itu dibawa ke Aceh untuk dijadikan Museum. Kurator pertamanya adalah FW Stammeshaus. Peresmian dilakukan Gubernur Militer Belanda di Aceh, Jenderal HNA Swart bertanggal 31 Juli 1915. Lokasi saat itu ada di bagian timur Lapangan Blang Padang, Banda Aceh.
Indonesia merdeka, museum dikelola pemerintah. Pemindahannya ke tempat sekarang dilakukan pada tahun 1969, atas inisiatif Panglima Kodam I, Brigjen Teuku Hamzah Bendahara. Pada tanun 1974, Museum direhabilitasi besar-besaran, dididikan sejumlah bangunan pendukung lainnya seperti gedung pameran, perpustakaan, ruang pertemuan dan lainnya.
ADVERTISEMENT
Setahun kemudian, museum dikelola Depertemen Kebudayaan dan Pendidikan. Terhitung 28 Mei 1979, statusnya menjadi Museum Negeri Aceh. [Seperti diceritakan oleh Mantan Kepala Museum Aceh, Nurdin AR, kepada penulis]
Lonceng Cakradonya di kompleks Museum Aceh. Foto: Adi Warsidi
Banyak area bersejarah di kompleks Museum. Ada Lonceng Cakra Donya yang dipajang di bagian luar. ukuran tinggi 1,25 meter dengan lebar 0,75 meter. Lonceng itu adalah hadiah persahabatan Kaisar Tiongkok kepada Sultan Samudera Pasai, yang dibawa Laksamana Cheng Ho, tahun 1414. Berdasarkan tulisan yang tertera, lonceng dibuat tahun 1409.
Koleksi museum lainnya; ada stempel kerajaan Aceh, ribuan naskah kuno, senjata tradisional, meriam, juga uang kerajaan Aceh dulunya. Sebagian naskah hanya bisa dinikmati saat pameran. Banyak juga makam kuno di sekitar kompleks, saksi bisu peradaban Aceh masa lalu. []
ADVERTISEMENT