Nekatnya Letnan Van der Zee dalam Perang Aceh, Nasibnya Tragis (15)

Konten Media Partner
26 November 2021 10:59 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Perang Aceh melawan Belanda dipenuhi kisah-kisah heroik dari kedua belah pihak. Banyak cerita tentang bagaimana pejuang Aceh menggunakan senjata pedang, kelewang dan rencong dalam membunuh serdadu penjajah. Salah satunya tentang kenekatan seorang Letnan yang hampir membuatnya mati.
Orang-orang dengan senjata di Aceh. Foto: Dok. KITLV
Pada 26 Juli 1874, pukul empat pagi, serdadu Belanda yang dipimpin Mayor Gross keluar dari benteng untuk patroli. Mayor Gross membawa pasukan setengah dari batalion tiga, dua meriam, dan dua penunjuk jalan. Para serdadu kompeni akan patroli ke Blang Oi (Banda Aceh). Satu pasukan lagi sebagai cadangan dari batalion dua dipimpin Mayor Phaff.
ADVERTISEMENT
Mereka akan menuju Gampong Surien sebagaimana perintah Jenderal Johannes Ludovicius Jakobus Hubertus Pel, Komandan Pasukan Belanda di Kutaraja. Pukul setengah tujuh, pasukan Belanda sudah mulai menembakkan meriam, pukul tujuh terompet ditiup sebagai tanda perintah kepada pasukan utama untuk maju, dipimpin Letnan Satu Van der Zee.
Masuk ke Gampong Surien bukan perkara mudah, jalan sempit dan banyak pagar. Pagar-pagar itu harus dipotong dulu agar pasukan Belanda bisa lewat. Di antara kampung itu juga terdapat hamparan sawah. Pasukan penyerang utama ditembaki pejuang Aceh saat berada di tengah sawah.
Melihat pasukan itu diserang, pasukan Belanda di garing belakang menembakkan meriam ke pinggir kampung, melindungi pasukan utama. Sampai di sana pasukan Belanda juga belum bisa masuk karena rapatnya pagar, setelah satu pagar dilubangi, mereka masuk dan kembali menemukan pagar yang lebih tinggi. Pagar itu juga kembali coba dilubangi, tapi mereka kembali ditembaki pejuang Aceh.
ADVERTISEMENT
Setelah melewati pagar kedua itu, pasukan kompeni Belanda terus masuk sampai kemudian menjumpai sebuah hamparan tanah lapang, di seberang lapangan itu terdapat kubu pertahanan pejuang Aceh, dari sanalah mereka terus ditembaki.
Jenderal Pel, komandan pasukan Belanda di Kutaraja (Banda Aceh). Dok. wikipedia
Letnan Van der Zee dan pasukannya mencoba menyerang kubu pertahanan pejuang Aceh dari belakang, mereka akan memutar. Tapi itu juga susah, karena kubu pertahanan itu dibatasi dengan pagar yang tinggi.
Nekat, Letnan Van der Zee mencoba merayap sediri, hingga kemudian berhasil membuat lubang pagar dan masuk ke dalam. Tapi ketika ia menoleh ke belakang, tak ada satu pun serdadu kompeni Belanda mengikutinya. Semua serdadu Belanda masih di luar pagar itu.
Letnan Van der Zee mencoba naik ke atas kubu pertahanan tersebut, pasukannya meminta ia untuk turun, tapi tak digubrisnya. Dia terus naik dengan pedang di tangan kanan dan pistol di tangan kirinya.
ADVERTISEMENT
Pasukan Belanda lainnya yang dipimpin Kapten Perelaer juga sudah sampai di sana, ia juga meminta Letnan Van der Zee untuk turun, tapi sudah terlambat. Belum sampai ke atas, leher Letnan Van der Zee sudah dibacok dengan kelewang pejuang Aceh, tangan kiri, paha dan dadanya ditembak. Tubuh perwira Belanda itu jatuh, sementara topi dan pistolnya tertinggal di dalam benteng.
Melihat tubuh Letnan Van der Zee jatuh beberapa pejuang Aceh melompat ke bawah, mereka menyerang pasukan kompeni Belanda yang sudah mulai panik. Di tengah kepanikan itu, beberapa serdadu Belanda menarik tubuh Letnan Van der Zee dan membawanya lari.
Aneka rencong Aceh, senjata kala perang. Foto: Suparta/acehkini
Kapten Perelaer kemudian memerintahan peniup terompet, memberi kode mundur. Serdadu-serdadu kompeni Belanda itu mundur dan menyelamatkan diri, bersembunyi dari tembakan pejuang Aceh.
ADVERTISEMENT
Ketika perang sudah agak reda, terompet kembali ditiup, kali ini pasukan kompeni Belanda diperintahkan untuk kembali menyerang. Mereka mengepung benteng, orang-orang Aceh yang masih bertahan di benteng itu diminta untuk menyerah, tapi pasukan kompeni Belanda itu malah diolok-olok.
Perang kembali pecah, pasukan Belanda semakin banyak yang datang, benteng pejuang Aceh ditembak dengan meriam sehingga beberapa bagian mulai terbuka, dan serdadu-serdadu Belanda masuk.
Kini di dalam benteng bukan lagi tembak-menembak yang terjadi, tapi perang jarak dekat dengan pedang dan kelewang, saling bacok dan saling pukul. Banyak korban yang jatuh dari kedua pihak, sampai kemudian benteng berhasil direbut Belanda.
Letnan Van der Zee yang mengalami banyak luka dalam perang itu, berhasil diselamatkan oleh pasukannya, tapi ia tak lagi lagi berdinas militer. Ia dikirim ke Belanda untuk diobati. Trauma dari perang Aceh menghantuinya sampai akhir hayat.
ADVERTISEMENT
Kisah kenekatan Letnan Van de Zee ini pernah ditulis oleh mantan serdadu Belanda yang pernah bertugas di Aceh, Letnan Schoemaker dalam Tjerita-Tjerita dari Atjeh (1891). []
Penyumbang bahan: Is Norman