Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
Kulipat erat kedua tangan saat turun dari mobil yang membawa kami ke Bayu Hill, sebuah hotel di Takengon, Aceh Tengah. Jaket tentu membalut tubuh, sama halnya dengan beberapa kawan ku dalam satu rombongan dari Banda Aceh, setelah menempuh jarak sekitar 315 kilometer, Sabtu (21/12) malam.
ADVERTISEMENT
Gelap telah memenuhi tanah Gayo, dingin menerobos sela-sela baju yang membalut tubuh. “Dingin sekali, setelah menyimpan barang-barang, kita cari makan malam dan ngopi,” saran Syahrial, kawanku. Kami sepakat.
Tak menunggu lama, kami telah berkumpul kembali untuk mencicipi makan malam di sebuah resto sederhana, dengan menu andalan ayam goreng dan bebek. Semuanya memesan ayam dengan sambal pedas, 3 laki dan 9 perempuan ternyata berselera sama. Konon, pedasnya mampu menghangatkan badan.
Tak berlama-lama, kami yang cowok izin kepada rekan lain untuk merapat ke kedai kopi. Berjalan kaki sekitar 200 meter dari sana, sampailah kami ke Koffie Anan Umah Djamoe untuk menikmati segelas kopi. Aku memesan long black, dua kawan ku memesan sanger (kopi dengan sedikit susu).
ADVERTISEMENT
Warung Koffie Anan Umah Djamoe terletak di sebarang Hotel Bayu Hill. Itu tempat terdekat yang kami pilih untuk dapat secepatnya merasakan harumnya kopi. Lagi pula, ngopi di mana pun di Takengon, Ibu Kota Aceh Tengah, pasti nikmat. “Di sini, semua warung pasti bagus kopinya, dekat kebun,” kataku meyakinkan rekan.
Benar saja, ketika pelayan meletakkan kopi di atas meja, kami menyambar cepat. Meminumnya saat panas, rasanya segar, mengusir sejenak hawa dingin yang bikin menggigil.
Kudekati Andra, sang barista untuk sekadar bertanya tempatnya. Koffie Anan Umah Djamoe adalah bahasa Gayo, yang berarti Kopi nenek (di) rumah tamu. “Kopinya dari kebun sendiri, kami mengolahnya sendiri,” jelasnya.
Tempatnya sebuah rumah tua, bekas peninggalan nenek pemilik warung. Andra menyebutnya, rumah itu telah ada sejak 1936. Sebuah foto lama terpajang di sana, bertarikh 1938. “Itu kakek pemilik rumah, Kali Kebet,” kata Andra menunjuk.
Di foto, nama Kali Kebet diberi keterangan sebagai Reje Cik Bebesen. Reje berarti setingkat kepala desa sekarang. “Rumah ini baru dipakai untuk berjualan kopi pada 2005 lalu,” lanjut Andra.
ADVERTISEMENT
Kendati bersuasana tradisional, peracikan kopi ikut dilakukan secara modern. Ada sebuah mesin kopi canggih yang mampu menghasil espresso bermutu, latte yang nikmat, juga aneka jenis racikan lainnya.
Tak lama kami duduk, kawan kami yang cewek ikut bergabung. “Kalian ngopi?” tanya Riski, rekanku. “Iya sebagian, sebagian minuman lain,” jawab seorang di antara mereka.
Warung itu tak hanya menyediakan kopi, tapi juga cokelat panas dan aneka jus. Beda dengan kopi, bubuk cokelat dipasok dari luar wilayah Aceh Tengah, sementara aneka jus berasal dari buah-buahan yang juga tumbuh subur di sana.
Rasa kopi yang nikmat membuat kami melupakan sejenak hawa dingin yang semakin mengusik. Wilayah di dataran tinggi Gayo memang dikenal bersuhu rendah, kisaran 16 sampai 25 derajat Celsius. Dengan kondisi itu, tak ada satu pun hotel dan rumah yang memerlukan pendingin udara di kamar-kamar.
ADVERTISEMENT
Hawa dingin dikirimkan dari hutan-hutan sekitar yang masih lebat. Ditambah dengan keberadaan Danau Lut Tawar yang menjadi sumber air tawar terbesar bagi wilayah Aceh pesisir. Danau seluas 5.472 hektare itu mempunyai panjang 17 kilometer dan lebar 5,5 kilometer, terletak tepat di pinggir Kota Takengon, Ibukota Aceh Tengah.
Selain memancarkan kesejukan, Lut Tawar menjadi andalan wisata di Aceh Tengah. Pesonanya sulit dilukiskan, lihat saja video berikut:
Selain bubuk kopi yang dijamin produk lokal, cuaca dingin inilah yang membuat ngopi di sana terasa beda, bila dibandingkan dengan meminumnya di wilayah lain, di kota-kota besar bercuaca panas. Satu lagi, harganya nikmat juga di kantong. Rata-rata segelas arabika dijual seharga Rp 10 ribu saja.
ADVERTISEMENT
Tak hanya warung Koffie Anan Umah Djamoe yang ada di Takengon. Beberapa lainnya juga siap menjamu setiap warga dan tamu yang datang ke sana. Konsepnya sama, kopi dari kebun sendiri atau kebun tetangga, diracik dengan peralatan modern untuk menjaga mutu.
Misalnya, sebut saja warung ARB Coffee yang kusinggahi pada malam berikutnya, juga Pahlawan Coffee, serta Seladang Coffee yang menawarkan sensani minum kopi di tengah kebun.
Yang jelas, semua tempatnya menawarkan mutu dan rasa kopi sama. Meminumnya, pengaruh wilayah bercuaca dingin memberikan sensasi lain, nikmat yang beda. Tak percaya, coba rasakan sendiri saat anda ke kota dingin. []