Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten Media Partner
Pembunuhan Kejam di Aceh dalam 3 Kasus Pelanggaran HAM Berat yang Diakui Jokowi
12 Januari 2023 9:35 WIB
·
waktu baca 5 menitADVERTISEMENT
Presiden Indonesia Joko Widodo (Jokowi ) telah mengumumkan pengakuan Negara terhadap 12 kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM ) berat di Indonesia. Tiga di antaranya terjadi di Aceh semasa konflik.
ADVERTISEMENT
"Saya telah membaca dengan saksama laporan dari Tim Penyelesaian Nonyudisial Pelanggaran HAM Berat yang dibentuk berdasarkan Keppres 17/2022. Dengan pikiran yang jernih dan hati yang tulus, saya sebagai Kepala Negara RI mengakui bahwa pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat memang terjadi di berbagai peristiwa. Dan saya sangat menyesalkan terjadinya peristiwa pelanggaran HAM berat pada yang pertama," kata Jokowi di Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu (11/1).
Tiga pelanggaran HAM berat di Aceh adalah; Peristiwa Rumoh Geudong dan Pos Sattis (1989), Peristiwa Simpang KKA (Kertas Kraft Aceh) (1999), dan Peristiwa Jambo Keupok (2003).
acehkini telah menayangkan sejumlah laporan terkait tragedi tersebut sebelumnya. Banyak kisah pembunuhan dan penyiksaan yang kejam mengiringi kasus tersebut. Berikut gambarannya:
ADVERTISEMENT
Peristiwa Rumoh Geudong dan Pos Sattis
Tragedi Rumoh Geudong di Aceh dikenal sebagai tragedi memilukan sepanjang tahun 1989-1998. Nama Rumoh Geudong merujuk pada sebuah rumah panggung tradisional Aceh, peninggalan Uleebalang (bangsawan) di Pidie.
Saat konflik Aceh , rumah itu menjadi markas TNI sejak April 1989 sampai status Daerah Operasi Militer (DOM) dicabut di Aceh pada 7 Agustus 1998, di era reformasi. Selama menjadi kamp militer, seribuan warga diduga pernah disiksa, meninggal dan hilang setelah dibawa ke Rumoh Geudong.
Untuk membongkar kekerasan dan pelanggaran HAM masa DOM di Aceh, Pemerintah Indonesia di masa Presiden BJ Habibie, kemudian membentuk Tim Pencari Fakta dari Komnas HAM. Tim yang dipimpin Baharuddin Lopa sempat berkunjung ke Rumoh Geudong pada 20 Agustus 1998, (sebagian menyebutkan 21 Agustus 1998), untuk menyelidiki dugaan pelanggaran HAM di sana.
ADVERTISEMENT
Tim Pencari Fakta menemukan sejumlah bukti terjadinya pelanggaran HAM berat di Rumoh Geudong, seperti kabel listrik, balok kayu berukuran 70 sentimeter, bercak darah pada dinding rumah dan pepohonan. Tim juga menggali beberapa titik yang diduga kuburan korban pelanggaran HAM. Namun hanya menemukan serpihan tulang dan kerangka manusia, tulang jari, tangan.
Ribuan massa ikut melihat kerja Tim Pencari Fakta saat itu. Tetapi setelah tim tersebut bergerak pulang meninggalkan lokasi, massa kemudian ikut membakar Rumoh Geudong, hingga tak tersisa. Tidak diketahui alasan pasti kenapa massa membakar tempat tersebut.
Menyusul investigasi di Rumoh Geudong, Pemda Pidie juga membentuk Tim Pencari Fakta (TPF) untuk menemukan data kasus korban operasi militer di Aceh. Ditemukan sebanyak 3.504 kasus kekerasan di seluruh wilayah Pidie dalam kurun 1989-1998, sebagiannya terjadi di Rumoh Geudong.
ADVERTISEMENT
Dari data tersebut tercatat jumlah orang hilang sebanyak 168 kasus, meninggal 378 kasus, perkosaan 14 kasus, cacat berat 193 kasus, cacat sedang 210 kasus, cacat ringan 359 kasus, janda 1.298 kasus, stres/trauma 178 kasus, rumah dibakar 223 kasus, dan rumah dirusak 47 kasus.
Peristiwa Simpang KKA
Ini adalah kasus penembakan massal. Peristiwa Simpang KKA terjadi pada 3 Mei 1999 di Kecamatan Dewantara, Kabupaten Aceh Utara. Tragedi ini berawal dari isu seorang TNI berpangkat Sersan dari Kesatuan Den Rudal 001/Pulo Rungkom, Aceh Utara, diculik orang yang tidak teridentifikasi.
Serdadu itu diduga menyusup dalam ceramah memperingati 1 Muharram di Desa Cot Murong, Kecamatan Dewantara, Aceh Utara, Jumat malam, 30 April 1999. TNI mensinyalir acara itu kampanye Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Kemudian pasukan TNI dari Den Rudal menyisir pemukiman di sana dan ikut menganiaya warga.
ADVERTISEMENT
Warga kemudian protes dengan turun ke jalan di Simpang PT. KKA, Krueng Geukueh, Aceh Utara. Senin siang, 3 Mei 1999. Saat aksi massa berlangsung dan memanas, tragedi berdarah ini terjadi. Tentara menyerbu mereka dengan rentetan tembakan berjarak 5-6 meter.
Komnas HAM mencatat sedikitnya 21 orang meninggal dunia akibat luka tembak.
Jurnalis peliput konflik Aceh, Ali Raban, berada di lokasi saat itu. “Masih terasa desingan peluru, masih terdengar jeritan kematian, masih terasa getaran ketakutan, masih terbayang dan selalu terbayang tragedi itu... Alfatihah untuk syuhada Simpang KKA," kenang Ali Raban.
Dia membagi kisahnya, mayat bergelimpangan, sebagian lagi terluka tembak. Ali melihat anak bersimbah darah tak jauh dari tempatnya, dia gemetaran merinding dan berlinang air mata mengetahui anak itulah yang memberinya air tadi. “Sampai kini, (peristiwa) itu tak pernah saya lupakan,” kisahnya.
ADVERTISEMENT
Selengkapnya baca laporan berikut:
Peristiwa Jambo Keupok
Peristiwa ini terjadi di Desa Jambo Keupok, Kecamatan Bakongan, Kabupaten Aceh Selatan, Aceh, pada 17 Mei 2003. Dalam Laporan Penyelidikan Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat Jambo Keupok Aceh yang dirilis Komisi Nasional HAM pada 14 Maret 2016, menyebutkan 12 orang meninggal karena dibakar hidup-hidup dan 4 orang meninggal karena ditembak dalam peristiwa ini.
Menurut Komnas HAM, dalam peristiwa itu juga ada penyiksaan, seperti dipukul dengan popor senjata dan ditendang. Empat rumah dibakar beserta isinya.
Peristiwa tersebut terjadi dua hari menjelang pemberlakuan Darurat Militer di Aceh pada 19 Mei 2003. Bermula dari informasi yang diberikan seorang informan atau cuak kepada anggota TNI bahwa pada 2001-2002 Jambo Keupok menjadi salah satu kawasan basis GAM. Informasi itu kemudian ditindaklanjuti aparat keamanan dengan menyisir kawasan perkampungan.
ADVERTISEMENT
"Para korban yang dimaksud merupakan penduduk sipil berjumlah 16 orang yang diidentifikasi oleh pelaku sebagai anggota atau simpatisan GAM yang berada di Desa Jambo Keupok tanpa bukti yang sah," tulis Komnas HAM.
Selengkapnya baca laporan berikut: