Penting Mana, Media atau Negara?

Konten Media Partner
28 November 2019 15:13 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Aksi jurnalis untuk Dandhy di Banda Aceh. Foto: Suparta/acehkini
zoom-in-whitePerbesar
Aksi jurnalis untuk Dandhy di Banda Aceh. Foto: Suparta/acehkini
Thomas Jefferson saat masih duduk di Dewan Kongres Amerika Serikat (AS) tahun 1787 mengeluarkan sebuah pernyataan yang terkenal dan banyak dikutip media hingga kini. Bunyinya; ‘Basis pemerintah kita terletak pada opini masyarakat, kewajiban yang paling utama adalah tetap mempertahankan hak rakyat ini, dan andaikata saya disuruh memilih pemerintah tanpa surat kabar atau surat kabar tanpa pemerintah, saya akan memilih yang terakhir’.
ADVERTISEMENT
Dia terkenal sebagai pembela kebebasan pers, beropini, berpendapat kala itu. Pandangannya terhadap media, menggambarkan bahwa hak rakyat berpendapat adalah segala-galanya, dan ini terepresentasikan melalui kebebasan pers. Tapi kemudian, kekuasaan mengubah persepsi Jefferson terhadap pers, saat pemilu AS pada 1800 mendudukkannya sebagai presiden.
Dia menjadi Presiden ketiga AS yang dikenal juga sebagai salah seorang penyusun The Declaration of Independence. Sikapnya terhadap pers berubah. Partainya memang mampu mengontrol pemerintahan, namun dalam perhitungan Jefferson, tiga per lima para editor masih mendukung lawan-lawan politiknya. Yang terjadi berikutnya adalah adanya klaim dari para pengikut Jefferson yang memulai pembatasan-pembatasan politik dengan menamakan sebagian wartawan dengan oposisi.
Saat menjadi presiden, Jefferson juga mengeluarkan komentarnya kepada media: “Orang yang tidak pernah melihat surat kabar, memiliki informasi yang lebih baik dari pada yang membaca surat kabar.”
ADVERTISEMENT
Itu sebuah fenomena yang terjadi jauh di AS dan sudah dua abad lalu. Tapi seperti itulah representasi hubungan antara penguasa dan pers yang hampir selalu punya batasan-batasan yang mirip permusuhan. Di banyak negara dan daerah, termasuk Indonesia, provinsi-provinsi, banyak mereka yang sebelumnya mesra dengan media dan pers, tetapi kemudian langsung berseberangan ketika menjadi penguasa.
Di Indonesia hal itu tercatat panjang. Dalam bukunya ‘Politisi dan Media’ Pakar Komunikasi Indonesia, Idrawadi Tamin, menulis; mengendalikan pers juga dilakukan di masa Presiden Soekarno. Kemudian Soeharto yang sempat membredel beberapa media karena dianggap tak berpihak pada politik berkuasa. Padahal sebelum presiden, Soeharto sangat dekat dengan pers. Abdurrahman Wahid juga sangat dekat dengan pers sebelumnya, tapi kemudian ketika menjadi presiden, suka mengatakan media memelintir perkataannya.
ADVERTISEMENT
Terlihat juga saat Megawati memimpin Indonesia. Pers nasional dan media umumnya memilih risiko mendukung Mega melalui berita mereka, karena dianggap PDI-nya mendapat tekanan dari pemerintah Orde Baru. Namun setelah menjadi presiden, Mega sempat mengkritik pers; ‘Pemberitaan pers tidak berimbang, berputar-putar dan menambah ruwet masalah’.
Dulu, sebelum kencangnya media sosial menguasai arus informasi di dunia maya, ketidak-harmonisan pers dengan pemegang kekuasaan kerap terjadi. Media arus utama selalu memberikan kontrol yang disampaikan masyarakat terhadap pemimpinnya. Tapi tak dipungkiri, ada juga hubungan yang harmonis, bila keputusan yang diambil kekuasaan berpihak rakyat.
Media sekarang. Dok. kumparan
***
Kini di era globalisasi, media berkembang pesat memanfaatkan teknologi informasi. Ratusan ribu media massa online tumbuh dengan berbagai model di Indonesia. Informasi tak lagi berbatas wilayah dan negara, menyebar begitu cepat ke perangkat di kantong kita. Berita hari ini di Papua, bisa dibaca hitungan menit di Jakarta, Aceh, bahkan di Washington DC sana.
ADVERTISEMENT
Februari tahun lalu, Dewan Pers mencatat jumlah media massa terdiri dari cetak, radio, televisi, dan media online di Indonesia sebanyak 47.000 media. Ketua Dewan Pers saat itu, Stanley Adi Prasetyo, menyebutkan Indonesia sebagai negara dengan media massa paling banyak di dunia.
Semua media itu mengklaim dirinya patuh dan taat kepada Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang pers dan kode etik jurnalistik. Aturan yang diciptakan negara untuk menjamin kebebasan pers di Indonesia.
Sementara media sosial tumbuh berlipat-lipat memakai platform beragam, dari instagram, youtube, facebook, twitter dan lainnya. Hampir setengah penduduk Indonesia memproduksi status, informasi dan menyebarkanluaskan sendiri, berantai ke seluruh pelosok. Informasi yang benar dan juga hoaks.
Seluruh pelosok wilayah sudah terjangkau media sosial, yang sebagian besarnya tak terjangkau oleh para jurnalis. Maka, informasi di media sosial menjadi salah satu sumber utama informasi bagian media massa. Para jurnalis menjadikan informasi, lalu memverifikasinya.
ADVERTISEMENT
Disiplin verifikasi adalah kerja wajib jurnalis, dan hanya ini yang membedakan media massa dengan media sosial. Tanpa verifikasi, maka pekerjaan jurnalis sepertinya tak diperlukan lagi. Karena fungsi menyebarkan informasi bisa dilakukan siapa saja.
Dalam perkembangannya, media massa ikut membesarkan dirinya melalui media sosial, membuat akun di berbagai platform untuk mendukung kerja-kerja para jurnalis.
Pada sisi lain, kebebasan arus informasi ikut dimanfaatkan oleh para penguasa, politisi dari atas sampai ke tingkat bawah untuk kampanye. Mereka memanfaatkan media massa dan sosial sebagai alat untuk berkomunikasi politik, menyampaikan pemikiran-pemikirannya kepada rakyat, begitu sebaliknya. Media menyediakan ruang, karena tugasnya.
Pada dasarnya media mempunyai implikasi yang luas dalam mempengaruhi perilaku politik. Pada satu sisi media dapat menjadi perpanjangan tangan penguasa ketika regulasi tentang pemberitaan berada dalam cengkeraman negara yang bertindak sebagai ‘polisi’. Di sisi lain, media dituntut untuk menjadi sumber informasi, sarana sosialisasi, pendidikan dan sosialisasi politik bagi masyarakat.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks politik, persaingan kekuasaan antar-politisi kadang menguntungkan media dan masyarakat, tapi juga kerap merugikannya pada sisi lain. Tak dipungkiri banyak politisi yang dibesarkan media massa. Media massa juga punya kepentingan untuk mendukung siapa saja. Walaupun itu kerap dilakukan dengan sembunyi-sembunyi di Indonesia. Kenyataanya, tak sedikit politisi mempunyai media massa, maupun menguasainya.
Media sosial memegang peranan tersendiri, membangun jaringan dan bisnisnya dalam campur tangan urusan negara. Para pemilik akun dengan follower terbanyak diperhitungkan, dilibatkan dalam urusan-urusan kampanye mempengaruhi massa. Negara ikut memanfaatkannya, hingga buzzer media sosial dikenal luas. Menjadi sebuah profesi.
Dok. Visi Teliti Saksama.
Siapa pun kemudian bisa merancang informasi, memakai akun palsu atau asli untuk kemudian menebar kebenaran, kebencian, hoaks sampai tudingan penghinaan kepada negara. Di sini kemudian negara hadir melalui Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Eletronik.
ADVERTISEMENT
Undang-Undang ini tak hanya bisa menjerat para pemilik media sosial, tapi juga pemilik media massa yang perilakunya tak sesuai dengan UU Pers maupun aturan dari Dewan Pers.
Kenapa begitu? Karena tak sedikit media massa yang mengklaim dirinya bekerja sesuai UU Pers tak menjalankan fungsinya dengan baik. Banyak media dimaksud, khusus diciptakan untuk mendukung sebuah kelompok, membenarkan yang salah, mencari keuntungan dengan jalan dilarang.
Tak sedikit media yang kemudian bermasalah hukum dalam pemberitaan. Ketika terusik, maka bagi mereka yang dirugikan akan bicara soal pengekangan kebebasan pers oleh pemerintah.
Anggota Dewan Pers, Jamaul Insan, dalam sebuah diskusi di Banda Aceh pada akhir September lalu. mengungkapkan, dalam tiga tahun terakhir pihaknya banyak menerima pengaduan terkait pemberitaan karena tidak ada konfirmasi dan lemah verifikasi.
ADVERTISEMENT
Data Dewan Pers, pada tahun 2016 terdapat 641 pengaduan, 2017 sebanyak 626, dan tahun 2018 agak sedikit menurun, yakni 558 pengaduan. Sebagian besar kasus yang ditangani atau dimediasi berakhir dengan keputusan bahwa terjadi pelanggaran Kode Etik Jurnalistik (KEJ) oleh media dan jurnalis.
Kenyataan lainnya, tak sedikit media yang bekerja dengan baik taat aturan, mendapat teror dari para pihak yang merasa dirugikan. Bahkan banyak pekerja jurnalis yang merasa terancam karenanya, dalam beberapa kasus sampai pada kekerasan fisik dan kematian. Sejak lama, selalu menjadi catatan buruk kebebasan pers di Indonesia.
Terlepas dari polemik itu, Negara menyakini semua undang-undang dan aturan lainnya yang dibuat untuk mengurusi media, bertujuan baik. Kendati, banyak penilaian dari pekerja media, aktivis dan masyarakat, bahwa sebagian aturan tersebut akan mengekang kebebasan media dan berekspresi.
ADVERTISEMENT
Sebagian politisi yang belum berkuasa, mendukung pilihan kedua. Saat berkuasa, lingkaran berputar membalikkan posisi, berubah dan terus menerus seperti itu.
Lebih penting media atau negara? Menilai ucapan Jeferson saat ini, membingungkan, di saat orang-orang tak terlalu peduli pada media massa, lebih memilih media sosial untuk mengetahui informasi. Terserah benar atau tidak. Hoaks berkembang di mana-mana, kebenaran menjadi keliru dan sebaliknya bagi orang-orang yang belum paham alias awam.
Perkembangan zaman telah mengubah seluruh pola arus informasi. Bagi saya—kendati mustahil—jika harus memilih antara media atau negara, maka akan memilih yang pertama. Itu pun dengan catatan, tanpa media sosial, dan itu pun mustahil. []