Problematik Qanun Jinayat Aceh: Sumpah Zina Berbeda Dicambuk Pun Beda (2)

Konten Media Partner
19 Januari 2022 9:50 WIB
ยท
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Pejabat di Kabupaten Aceh Timur, Aceh, berinisial TS dijatuhi hukuman cambuk 15 kali karena dalam persidangan terbukti melakukan ikhtilat (bermesraan dengan pasangan belum menikah). Pasangan tidak sahnya, perempuan berinisial RJ, dijatuhi hukuman lebih berat: 100 kali cambuk karena mengaku melakukan zina.
Ilustrasi hukuman cambuk di Aceh. Foto: acehkini
Hukuman cambuk terhadap mereka dilakukan di halaman kantor Dinas Syariat Islam Aceh Timur, Idi, pada Kamis (13/1). Kasus ini mencuat di tengah masyarakat, menganggap ada kejanggalan: sama-sama 'berbuat' tapi hukuman cambuknya bisa berbeda
ADVERTISEMENT
Dosen Hukum Pidana Islam Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Banda Aceh, Amrullah, menilai perbedaan hukuman antara TS dan RJ adalah konsekuensi penerapan Qanun Jinayat dan Qanun Hukum Acara Jinayat.
"Hakim menerapkan hukum itu, karena pandangan hakim dalam proses pembuktian tetap berdasarkan barang bukti yang diajukan oleh jaksa penuntut umum," kata Amrullah.
Jika RJ dalam persidangan bersumpah telah melakukan zina sehingga menjadi bahan pertimbangan sebagaimana disampaikan Anas Rudiansyah, lantas mengapa sumpah tersebut tidak menjadi bukti untuk pasangannya TS?
Menurut Amrullah, dalam Qanun Jinayat, pengakuan seseorang atas dirinya tidak bisa dijadikan alat bukti untuk orang lain. "Bersumpah itu menjadi alat bukti masing-masing. Sumpah perempuan tidak bisa membuktikan si laki-laki yang melakukan karena sumpah kembali kepada personal," ujarnya.
ADVERTISEMENT
Pendapat serupa juga dikatakan Khairil Akbar. "Pengakuan seseorang sudah berzina, itu tidak serta pasangannya juga harus dihukum zina," katanya.
Ilustrasi hukuman cambuk di Aceh. Foto: Suparta/acehkini

Delik Zina hanya Pintu Taubat, Bukan Menjerat Orang

Dosen Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala, Khairil Akbar, berpendapat delik zina dalam Qanun Jinayat bukanlah pasal menjerat orang, melainkan dirumuskan sebagai pintu bagi orang-orang yang ingin bertaubat. "Kalau memang dia mengaku atas kesadaran sendiri, itu adalah pintu atau jalan yang dibuat oleh qanun agar orang bertaubat," kata Khairil. "Taubat sejatinya tidak mesti cambuk."
Ia khawatir kadang para terdakwa pelanggaran syariat Islam di Aceh tidak mengerti hukum pidana Islam. "Sehingga tidak tahu hak dia, ketika pertanyaan itu dijawab dengan jujur jatuhnya ke pengakuan," ujar Khairil.
ADVERTISEMENT
Karena itu, ketika ada seseorang ditangkap polisi syariat karena ikhtilath, menurutnya, pertanyaannya jangan diarahkan ke zina. Khairil juga menilai polisi syariat salah kaprah seandainya merazia orang berzina. "Itu bukan tujuannya."
Khairil bercerita pernah ada kejadian di Kota Langsa bahwa korban pemerkosaan dihukum cambuk karena delik zina. Saat ditelusuri, ternyata penyidik dalam pemeriksaan menanyakan apakah ia pernah berzina. Ia pun dijerat pasal zina hanya karena menjawab pernah.
"Niatnya bukan lagi melindungi, tapi mencari kesalahan orang. Ini berbahayanya Qanun Jinayat," ujar Khairil.
Terlebih, kata dia, ada perbedaan tafsir kata zina antara sebagian masyarakat dan qanun. Sebagian orang beranggapan bahwa melihat sesuatu yang haram saja sudah termasuk zina mata. Sementara qanun terbatas untuk orang yang berhubungan badan di luar nikah. "Pemahaman masyarakat kita yang enggak sampai ke sana itu bisa membuat mereka jadi korban di situ." []
ADVERTISEMENT