Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten Media Partner
Qanun Keuangan Syariah Tak Mempan Kekang Bank Digital di Aceh (1)
24 Januari 2023 9:13 WIB
·
waktu baca 6 menitADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Aturan tersebut tertuang dalam Qanun Aceh Nomor 11 Tahun 2018 tentang Lembaga Keuangan Syariah (LKS) yang berlaku efektif sejak Januari 2021 lalu. Persoalannya, di era digital seperti sekarang ini, bank digital bisa saja menjaring nasabah dari Sabang hingga Merauke lewat 'operasi senyap di udara.'
Tengoklah, Asrul Siddiq, warga Kota Banda Aceh yang sukses membuat akun bank digital medio Juli 2021. Saat itu, ia baru kembali ke Indonesia dari Australia. Boleh dibilang, proses Asrul berbank 'tak syariah' seperti membalikkan telapak tangan. Ia hanya mendaftar, lalu tersambung dengan panggilan video call petugas untuk proses verifikasi.
Beberapa menit berselang, rekening baru bank digital pun tercipta. Kartu debit untuk Asrul pun dikirim dari Jakarta ke alamatnya di Banda Aceh lewat jasa pengiriman. "Beberapa hari kemudian, sampai kartu debitnya," katanya kepada acehkini, Kamis (12/1).
ADVERTISEMENT
Asrul tahu betul soal aturan Qanun LKS. Toh, beleid itu sudah melewati tahap sosialisasi sejak pengesahannya nyaris lima tahun lalu. Bahkan, penerapan Qanun LKS ditandai dengan hengkangnya sejumlah kantor bank konvensional dari Aceh.
Nasabah yang masih berbank 'tak syariah' pun 'dipaksa' ikut aturan. Pilihannya, menjadi nasabah bank syariah atawa jadi nasabah bank konvensional di luar wilayah Aceh. "Situasi ini serba susah. Saya pikir, saya harus buat bank digital," imbuh Asrul.
Asrul lebih mudah bertransaksi. Kini, ia bisa menggunakan kartu debit dan layanan bank digital untuk belanja atau mengisi BBM. Kartu itu pula yang jadi senjata untuk menarik uang tunai di beberapa mesin ATM bank syariah di Aceh. "Secara aturan, memang saya melanggar Qanun," terang dia mengakui.
ADVERTISEMENT
acehkini mencoba mengikuti jejak Asrul. Benar saja, mudah sekali menjadi nasabah bank digital saat ini, mengunduh aplikasi di telepon seluler, mengisi data pribadi, serta mengunggah KTP.
Dalam beberapa menit, rekening bank digital pun terbit. Yang memudahkan, fitur transaksi, mulai dari belanja hingga transfer nyaris tanpa biaya administrasi. Belum lagi, tawaran suku bunga tinggi untuk produk simpanan atau deposito.
Menanggapi hal itu, Ketua Dewan Syariah Aceh M Shabri Abdul Majid mengakui era digital memungkinkan warga Aceh mengakses lembaga keuangan digital nonsyariah, meski Qanun LKS berkata lain.
Bagi Shabri, inilah tantangan bagi Qanun LKS. Karenanya, ia menilai penting menambah pemahaman masyarakat terkait riba dan tujuan pembentukan Qanun LKS. "Nanti masyarakat dengan sendirinya mengerti kalau mereka tahu dosa riba," jelasnya.
ADVERTISEMENT
Apalagi, Shabri melanjutkan bank digital tidak bisa dilarang seperti halnya bank nonsyariah yang angkat kaki dari Aceh. "Kalau perusahaan itu (bank digital) kantornya tidak ada di Aceh secara fisik, kan kami tidak bisa melarang," tuturnya.
Selain tidak bisa menertibkan bank digital di Aceh, sambung Shabri, nasabah juga tak bisa dicegah. "Tidak mungkin kan pemerintah membuat razia HP, 'kamu pakai bank orang nggak?" sebutnya.
Ketua Prodi Hukum Ekonomi Syariah Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Chairul Fahmi punya pendapat lain. Menurut dia, makna Qanun LKS tidak semata untuk bank yang berkantor di Aceh. Tetapi juga siapa pun yang bertransaksi keuangan di Aceh. "Tidak ada perbedaan lembaga keuangan, baik manual maupun berbasis online (daring), jika mereka beroperasi di Aceh, maka harus berdasarkan prinsip syariah," kata Chairul.
ADVERTISEMENT
Memang, jika mengacu pada Qanun LKS, tidak ada aturan baku terkait sistem bank, baik manual atau digital. Tetapi, itu juga berarti bank digital nonsyariah bisa dilarang beroperasi.
Apabila bank digital nonsyariah beroperasi di Aceh, Chairul menilai lembaga keuangan itu tidak memahami atau patuh terhadap Qanun LKS. Ini berarti, lembaga keuangan terkait bisa saja dikenakan denda peringatan, pembekuan kegiatan usaha, pemberhentian direksi, hingga pencabutan izin usaha.
Permasalahannya, Qanun tak jelas menyebut eksekutor sanksi bagi mereka yang melanggar. Sanksi itu bisa ditegakkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) selaku wasit industri keuangan di Indonesia. "Di sini, ketimpangan di Qanun terkait dengan lembaga penegakannya," ungkapnya.
Hanya, Kepala OJK Aceh Yusri menerangkan larangan bank konvensional beroperasi ditegakkan oleh pemda setempat sebagai pemilik Qanun. "Kalau OJK tidak bisa karena (Qanun) bukan UU," imbuhnya.
ADVERTISEMENT
Revisi Qanun LKS
Yusri mengatakan tidak ada bank digital di Aceh. Tetapi, jangkauan layanan bank digital memang bisa sampai ke Aceh. Menurutnya, kehadiran Qanun LKS sebenarnya mengatur masyarakatnya untuk tak menggunakan layanan transaksi keuangan konvensional.
"Jadi, kesadaran orangnya. Kalau banknya tidak bisa dibatasi, digital. Kalau dia berkantor di Aceh, itu bisa dilarang dengan Qanun," katanya.
Hal serupa juga berlaku untuk pinjaman online (pinjol) dan perdagangan saham yang dilakukan secara digital. "Karena itu tidak terbatas, semua orang yang mengakses aplikasinya dilayani," lanjutnya.
Ketua Badan Legislasi DPR Aceh Mawardi alias Teungku Adek menilai perlu kajian ulang terhadap Qanun, seiring dengan perkembangan zaman. Terutama, berkaitan dengan sistem keuangan digital yang bergeliat.
Dengan demikian, Qanun bisa menjadi aturan yang memberi kemudahan bagi warga Aceh. Usulan Mawardi, ruang lingkup Qanun bisa diperluas. "Jadi, masyarakat tidak terjebak dalam riba, juga tidak terjebak dalam kesulitan bertransaksi," imbuh dia.
Maklum, penerapan Qanun juga kerap dikeluhkan kalangan pengusaha kepada anggota dewan, terutama di sektor pariwisata. Mereka menemui persoalan saat transaksi ke luar daerah.
ADVERTISEMENT
Kemudian juga, wisatawan mancanegara kesulitan menarik uang tunai di Aceh. "Sangat terasa (sulit) itu pebisnis dan orang luar berkunjung ke Aceh," tutur politikus Partai Aceh, partai besutan eks Gerakan Aceh Merdeka, itu.
Chairul Fahmi justru mempertanyakan pasal atau aturan yang perlu penyempurnaan. Menurut dia, bukan Qanun yang menjadi masalah, melainkan bank syariah di Aceh yang belum memberi layanan sesuai harapan.
"Ini yang kemudian berimbas kepada Qanun. Orang-orang menganggap Qanun menyebabkan layanan bank di Aceh tidak rahmatan lil alamin," kata Chairul.
Pendapat berbeda disampaikan Shabri Abdul Majid. Ia malah menduga mereka yang mendorong revisi Qanun belum baca isi seluruhnya. Sebab, ia menilai inti dari Qanun lebih baik dibandingkan aturan nasional. Misalnya, soal pembiayaan UMKM hingga 40 persen, lebih tinggi dari aturan nasional yang sebesar 20 persen.
ADVERTISEMENT
Pun demikian, bukan berarti Shabri antirevisi. Ia mengisyaratkan sepakat Qanun direvisi jika dimaksudkan untuk menguatkan lembaga keuangan syariah. "Kalau revisi Qanun untuk mengundang kembali bank konvensional, saya pikir sangat memalukan," ujarnya. []
Note: Liputan ini bagian dari fellowship ‘Banking Journalist Academy’ yang diselenggarakan oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia dan Permata Bank