Konten Media Partner

Rencong, Bismillah dan Muasal yang Misteri (2)

14 Oktober 2021 18:28 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Awal mula rencong, senjata tradisional khas Aceh tak tercatat pasti. Siapa pembuat pertama dan kapan keberadaannya masih misteri. Sebagian besar pendapat meyakini rencong telah ada sejak abad ke-13, seiring masuknya pengaruh Islam. Lalu menjadi salah satu senjata yang ditakuti.
Rencong diyakini mewakili bentuk kalimat Bismillah (Koleksi Tarmizi A Hamid). Foto: Suparta/acehkini
zoom-in-whitePerbesar
Rencong diyakini mewakili bentuk kalimat Bismillah (Koleksi Tarmizi A Hamid). Foto: Suparta/acehkini
Informasi awal mula rencong sangat terbatas, belum ada data tertulis kapan pertama kali dibuat, digunakan dan siapa penciptanya. “Keberadaan muasal rencong sangat terbatas, tapi kemudian banyak tercatat dalam perang rakyat Aceh melawan Belanda,” jelas Tarmizi A Hamid, Pemerhati Sejarah dan Budaya Aceh, awal September 2021 lalu.
ADVERTISEMENT
Rusdy Sufi dalam bukunya ‘Aceh Tanah Rencong’ (2008) menulis, senjata ini diyakini berasal dari sikin (pisau) yang kerap digunakan sebagai alat potong biasa dan praktis digunakan dalam rumah tangga. Tapi, dalam perkembanganya berubah bentuk sesuai dengan kegunaannya sebagai senjata.
Rencong dalam kehidupan masyarakat Aceh masa dulu, awalnya masih dalam bentuk kasar dan sangat sederhana. Dalam perkembangannya secara perlahan mencapai kesempurnaan, seperti rencong yang ada sampai saat ini. Pembuatnya adalah pande beuso (pandai besi) yang ahli di bidangnya. Selain mempunyai keahlian menciptakan bentuk indah, juga harus dirancang untuk membahayakan musuh jika digunakan saat menikam atau menyerang. Dalam pembuatan rencong, terkandung ajaran Islam sebagai agama yang dianut masyarakat Aceh.
Senjata itu berevolusi dengan ragam bentuk dan fungsi sesuai keinginan, memasang perhiasan, bahkan mengukir gagang dan bilahnya dengan simbol, tulisan dan gambar. Sebagiannya menjadi senjata magis yang hanya boleh digunakan pada tempat-tempat tertentu saja, seperti kala perang.
Rencong di pinggang warga Aceh masa lalu. Dok. KITLV
Rencong atau jenis senjata belati yang mirip dengannya diyakini telah ada jauh sebelum Islam masuk ke Aceh. Mubin Sheppard, ahli di bidang budaya rumpun Melayu, mencatat bahwa senjata tikam abad ke-1 yang berasal dari daerah Dong Song di Teluk Tonkin, Vietnam merupakan cikal bakal dari keris yang berasal dari Pulau Jawa.
ADVERTISEMENT
Keris dan rencong, sama-sama sebagai senjata tikam. Perbedaannya terletak pada mata pisau, keris berombak dan terasah pada kedua sisinya, sementara rencong tidak berombak dan terasah pada satu sisi. (Barbara Leigh dalam buku Tangan-tangan Trampil, Seni Kerajinan Aceh, 1989).
Setelah Islam berkembang di Aceh pada abad ke-13, rencong diagungkan karena bentuknya mewakili kalimat Bismillah. Gagangnya yang melekung kemudian menebal pada sikunya berbentuk akasara Arab “Ba”, bujuran gagangnya berbentuk aksana “Sin”, lalu bentuk lancip yang menurun ke bawah pangkal besi dekat gagangnya berbentuk aksama “Mim”, kemudian lajur besi dari pangkal gagang hingga dekat ujung senjata itu dibuat menyerupai aksara “Lam”, terakhir ujungnya dibuat runcing dengan dataran sebelah atas mendatar dan bagian bawah sedikit melekuk ke atas menyerupai aksara “Ha”.
ADVERTISEMENT
T Syamsuddin dan M Nur Abbas dalam bukunya ‘Reuncong’ (1981) menyebut keberadaan rencong berkaitan erat dengan Kesultanan Samudera Pasai, yang tercatat sebagai salah satu kerajaan Islam tertua di Nusantara pada abad ke-13.
Samudera Pasai didirikan Meurah Silu pada 1267 Masehi menyatukan Kerajaan Pase dan Kerajaan Peurlak, setelah Islam menjadi agama dominan penduduknya. Meurah Silu yang bergelar Sultan Malik As-Saleh atau Malikul Saleh atau Malikussaleh, mempimpin sampai 1297 M. Selanjutnya diteruskan keturunannya.
Dalam catatan penjelajah asal Venezia (Italia), Marcopolo, yang pernah mengunjungi Samudera Pasai pada 1292 M, diterima langsung oleh Sultan Malikussaleh. Kerajaan itu digambarkan sebagai salah satu pusat perdagangan yang maju di wilayah Selat Malaka, menjalin hubungan dengan Champa, India, Tiongkok, Majapahit dan Malaka, bahkan sangat menghormati Kubilai Khan, pengusas Tiongkok kala itu.
ADVERTISEMENT
Lonceng Cakradonya di Museum Aceh, salah satu peninggalan Kerajaan Samudera Pasai. Foto: Suparta/acehkini
Sultan Malikussaleh disebut berperan penting dalam penyebaran Islam. Penduduk di sekitar pusat kerajaan umumya sudah memeluk Islam, sementara di wilayah pedalaman sebagiannya masih menyembah berhala. Kisah perjalanannya keliling dunia tertulis dalam Travel of Marcopolo.
Tentang Samudera Pasai, juga digambarkan Pengembara Muslim, Ibnu Batutah dalam Tuhfat al-Nahza dan Travel of Ibnu Battuta. Beliau singgah di Samudera Pasai pada 1345, saat itu dipimpin oleh Sultan Malik Az-Zahir II. Kekayaan alam negeri itu adalah kapur barus, pinang, cengkeh dan timah, banyak dikunjungi para pedagang dari Tiongkok, Arab, Persia dan Siam. Kerajaan telah memiliki mata uang dirham emas sebagai uang resmi dalam menjalankan perdagangan.
Sultan Malik Az-Zahir sering terlibat dalam perang agama melawan penyembah berhala. Rakyat senang berperang demi membela agama, dan bersesia ikut misi penyerangan secara sukarela. Dalam catatan Ibnu Batutah, tak dilukiskan senjata apa yang digunakan para penduduknya.
Makam Sultan Malikussaleh, pendiri Kerajaan Samudera Pasai, Aceh Utara. Foto: Zulkarnaini Muchtar
Kekuasaan Samudera Pasai meliputi wilayah Aceh, sempat terlibat perang dengan Majapahit sekitar tahun 1350 dan mengalami kemunduran. Samudera Pasai bangkit lagi, sampai munculnya Kerajaan Malaka pada 1405, yang membuat perdagangan merosot di wilayah tersebut. Portugis kemudian mengusai Malaka pada 1511, dan ikut menginvansi Pasai di masa pemimpin terakhirnya, Sultan Zainal Abidin yang memerintah pada periode (1513-1524).
ADVERTISEMENT
Salah satu bukti arkeologis Kesultanan Samudera Pasai adalah keberadaan makam-makam para sultan dan pembesar istana, termasuk makam Sultan Malikussaleh, di bekas pusat kerajaan, Desa Beuringin, Kecamatan Samudera, Aceh Utara. Saat ini, lokasi tersebut menjadi situs cagar budaya penting bagi peradaban Aceh dan Indonesia.
Jelang keruntuhan Samudera Pasai, Kerajaan Aceh Darussalam yang berpusat di Banda Aceh (sekarang) semakin kuat di bawah Sultan Ali Mughayat Syah (1514-1528). Sultan pertama ini berhasil membebaskan Pasai dari kekuasaan Portugis. Selanjutnya, Samudera Pasai berada di bawah kekuasaan Kerajaan Aceh Darussalam.
Di masa Sultan Ali Mughayat Syah, rencong disebut telah digunakan sebagai senjata dalam perang. Saat itu, Kerajaan Aceh Darussalam terus-menerus terlibat konflik dengan Portugis di semenanjung Malaka. (T Syamsuddin dan M Nur Abbas, 1981) []
ADVERTISEMENT