Rencong dan Meriam Bikinan Turki Melawan Portugis (3)

Konten Media Partner
15 Oktober 2021 9:03 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Keberadaan rencong diyakini telah ada sejak abad ke-13, terus berkembang sebagai senjata yang dibawa dalam perang mengusir Portugis di Selat Malaka. Ahli-ahli senjata dari Turki ambil andil dalam mengajarkan pandai besi membuat meriam, dan senjata tradisional yang indah dan mumpuni.
Meriam peninggalan Aceh dalam perang melawan Portugis dan Belanda. Foto: Suparta/acehkini
Rencong semakin berkembang di Aceh saat Sultan Alauddin Riayat Syah al-Qahhar (1537-1568) berkuasa, seiring dibangunnya pabrik senjata, dan perlengkapan militer lainnya, serta galangan kapal untuk meningkatkan kekuatan armada perang.
ADVERTISEMENT
Barbara Leigh dalam buku Tangan-tangan Trampil, Seni Kerajinan Aceh (1989) mencatat, anak dari Sultan Ali Mughayat Syah ini, berhasil membangun hubungan baik dengan Kesultanan Turki Usmani (Ottoman) yang dipimpin oleh Sultan Selim II.
Hubungan baik secara tak resmi telah berlangsung sejak awal Alauddin al-Qahhar berkuasa. Sultan pernah merekrut sejumlah prajurit Islam dari luar negeri; Turki, Abisinia (Ethiopia) dan Gujarat (India) untuk membantu dalam perang melawan Portugis.
Pada tahun 1563 atau 1564, Sultan Alauddin al-Qahhar mengirimkan beberapa utusan yang dipimpin Husain kepada penguasa Turki Usmani, Sultan Suleiman, untuk memohon bantuan secara resmi. Turki saat itu adalah kerajaan Islam terbesar dengan pangaruh kuat di seluruh dunia. Delegasi turut membawa sejumlah hadiah emas dan rempah-rempah untuk dipersembahkan kepada Sultan Suleiman, yang di dalam surat disebut Khalifah Islam.
ADVERTISEMENT
Kesultanan Turki berhasil diyakinkan untuk memerangi Portugis dan bersedia memberikan bantuan militer. Turki dijanjikan akan mendapatkan keuntungan dalam perdagangan rempah, jika Portugis tidak lagi berkuasa di Malaka. Sultan Suleiman mangkat pada 1566, dan kesepakatan diteruskan putranya, Sultan Selim II.
Bendara perang prajurit Kesultanan Aceh dalam perang. Foto: Suparta/acehkini
Pada September 1567, Sultan Selim II melakukan ekspedisi besar-besaran ke Aceh dipimpin oleh Laksamana Kurduglu Hizir Reis. Bantuan yang dikirimkan berupa dua kapal perang, sejumlah meriam, 500 prajurit dan ahli militer yang mampu membuat kapal, meriam dan ragam senjata tajam. Dalam catatan sejarah, peristiwa ini dikenal dengan Ekspedisi Usmaniyah ke Aceh.
Para ahli senjata dari Turki kemudian melatih orang-orang Aceh untuk membuat senjata, hingga mampu memproduksi meriam, dan senjata tajam lainnya. Sejumlah versi meyakini, rencong dan pedang, telah diproduksi besar-besaran pada saat itu dengan ragam bentuk yang lebih sempurna dan indah sebagai perlengkapan perang.
ADVERTISEMENT
Ragam senjata perang itulah yang digunakan untuk mengusir pengaruh Portugis di Malaka. Konflik terus menerus terjadi, hingga puluhan tahun.
Kerja sama dengan Turki terus berlangsung di masa-masa sultan selanjutnya. Pada masa Sultan Iskandar Muda (1607-1636), hubungan dengan Turki agak renggang karena sultan lebih fokus membangun dalam negeri setelah kekalahan pendahulunya dalam beberapa perang di Malaka. Setelah rakyat dalam negeri Aceh benar-benar makmur, maka hubungan militer dengan Turki dibuka kembali. (HM Zainuddin dalam buku Tarich Aceh dan Nusantara, 1961)
Rencong peninggalan Kesultanan Aceh. (koleksi Museum Aceh) Foto: Suparta/acehkini
Rencong makin populer digunakan oleh penduduk Aceh sebagai senjata, perhiasan dan perkakas di masa Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Di bawah Iskandar Muda, Kerajaan Aceh Darussalam mencapai puncak kejayaannya, menjadi pusat perdagangan di selat Malaka dan pusat pendidikan Islam di Asia Tenggara. []
ADVERTISEMENT