Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten Media Partner
Rencong di Pinggang Warga Usai Merdeka (23)
29 Januari 2022 8:49 WIB
·
waktu baca 3 menitADVERTISEMENT
“Rencong kiri kanan, dompet bisa hilang.” Sebuah anekdot yang kerap menggambarkan warga Aceh jika bepergian ke luar kota atau wilayahnya. Kiasan ini masih sering terdengar hingga kini, kendati rencong telah hilang sebagai senjata pendamping.
ADVERTISEMENT
Setelah Indonesia merdeka, rencong selalu hadir dalam setiap upacara adat dan upacara perkawinan, menjadi identitas budaya. Hal ini terus berlangsung sampai sekarang. Sementara kebiasaan membawa rencong saat bepergian bagi warga Aceh menjadi perilaku selama beberapa dekade, sampai pemberotakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) meletus di Aceh.
Pemberontakan DI/TII dideklarasikan oleh Gubernur Aceh, Tgk Daud Beureueh. Bermula dari kekecewaan Pemerintah Aceh yang merasa dikhianati Pemerintah Indonesia di bawah Presiden Soekarno, dengan sejumlah tindakan politik. Di antaranya pembubaran Divisi X TNI di Aceh, dan pencabutan status Provinsi Aceh hingga dileburkan dalam wilayah Sumatera Utara, pada 23 Januari 1951.
Tgk Daud Beureueh kemudian memberontak pada 21 September 1953, setelah kongres ulama di Titeu, salah satu kecamatan di Pidie. Di sana, dia menyatakan Aceh menjadi bagian dari Negara Islam Indonesia, mengikuti jejak Kartosoewirjo di Jawa Barat. Perlawanan bersenjata dimulai. Bersama Beureueh, sejumlah pasukan TNI bergabung menjadi Tentara Islam Indonesia (TII).
ADVERTISEMENT
DI/TII Aceh berhasil dipadamkan lewat sebuah perundingan bermartabat. Pada 9 Mei 1962, Tgk Daud Beureueh bersedia turun gunung, beserta seluruh pasukan setianya. Pemerintah Aceh mengembalikan status Aceh seperti semula, bahkan berstatus istimewa.
Sejarawan Aceh, Tgk Badruzzaman Ismail, masih ingat ketika kecilnya -sebelum DI/TII meletus- berlatih silat di tempat pengajian kerap menggunakan rencong sebagai alat.
Diajarkan cara menangkis dan menikam memakai senjata itu, tujuannya betul-betul untuk keamanan diri. “Kala muda, saya kerap membawa rencong saat bepergian. Senjata itu semata-mata disiapkan untuk keamanan diri terhadap berbagai kemungkinan di perjalanan. Selain itu, orang Aceh juga punya kebiasaan menyimpan benda pusaka itu di rumahnya,” katanya dalam sebuah wawancara kepada penulis, Agustus 2021.
ADVERTISEMENT
Waktu itu, rencong lebih sebagai alat keamanan karena anak-anak muda pergi belajar ke dayah atau pesantren di malam hari. Gampong-gampong di Aceh masih belum ada listrik, mereka membawa suar dari daun kelapa yang dibakar. “Bawa rencong itu kan, siapa tahu ada pencuri,” kata Tgk Badruzzaman.
Menurut Badruzzaman, tradisi itu adalah warisan perang puluhan tahun dengan Belanda. Bahkan setelah merdeka, generasi muda di Aceh ditanam dalam jiwanya di meunasah-meunasah dan tempat pengajian untuk membawa rencong. “Karena sudah membudaya, kemana pergi kalau orang Aceh tidak bawa rencong disebut ‘hana kreh’ (tidak berani).”
Pada umumnya membawa rencong kemana-mana masih membudaya sampai tahun 1959. Baru tidak sering lagi digunakan masyarakat saat gerakan DI/TII di Aceh akan berakhir, karena waktu itu ada kecurigaan aparat negara bahwa orang yang membawa rencong adalah yang berperang bersama DI/TII.
ADVERTISEMENT
Karenanya, warga Aceh tak lagi membawa rencong saat bepergian. “Waktu DI/TII saya sudah sekolah menengah, sudah simpan semua rencong karena dilarang dibawa ke mana-mana,” kisah Badruzzaman.
Saat itu ada istilah rencong peungaba atau rencong yang dibawa untuk kharisma, juga ada yang menyebut kalau tidak dibawa artinya bukan orang Aceh. Tetapi, semua anak Aceh dulu patuh, tidak menggunakan sembarangan, ini juga diajarkan turun-temurun kepada generasi muda. []