Rencong, Senjata Tikam Identitas Aceh (1)

Konten Media Partner
12 Oktober 2021 9:57 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Dalam sejarah Aceh, ada sebuah senjata tradisional yang tak dapat dilepaskan dari kehidupan masyarakatnya sejak dulu, rencong. Benda pusaka itu adalah identitas, mewakili semangat kepahlawanan.
Design: Edi IP/acehkini
Ragam senjata khas yang pernah digunakan pejuang Aceh saat perang, tertata rapi di ruang pamer lantai tiga Museum Aceh. Semuanya ditaruh di dalam beberapa kotak kaca yang dibuat khusus, dipisah-pisah sesuai jenis, dari rencong, peudeng (pedang) sampai senapan.
ADVERTISEMENT
Sementara meriam kecil (lila) diletakkan di lantai, perisai ditaruh di dinding, juga terlihat satu tombak yang menyatu dengan sebuah lukisan besar tentang perang Aceh.
Medio Agustus 2021 lalu, kami diberikan izin oleh Kepala Museum Aceh, Mudha Farsyah untuk mengakses ruangan itu guna riset dan dokumentasi. “Senjata-senjata koleksi museum terutama rencong dan pedang sangat banyak di museum, sebagian besarnya tersimpan di gudang. Hanya sebagian kecil di ruang pamer,” jelasnya.
Senjata-senjata warisan perang di Museum Aceh terawat rapi, umumnya berasal dari abad ke-17 sampai abad ke-19. Sebagiannya telah dilakukan digitalisai, untuk dipublikasi kepada khayalak umum. Saban tahun, juga digelar pameran yang biasanya bertepatan dengan Hari Ulang Tahun (HUT) Museum Aceh, jatuh pada setiap 31 Juli. Tahun ini karena pandemi Covid-19, acara digelar virtual.
ADVERTISEMENT
Di antara ragam senjata Aceh, rencong sebagai senjata khas paling populer. Keberadaan benda budaya itu tak terpisahkan dari kehidupan sosial masyarakat, dipergunakan sebagai senjata, sebagai perkakas, dan sebagai perhiasan dalam berbagai upacara adat.
Koleksi rencong di Museum Aceh. Foto: Suparta/acehkini
C. Snock Hurgronje (1906) dalam bukunya 'The Achenese' mencatat, rencong dan bungkoh ranub atau kain yang dilipat, hampir tidak dapat dipisahkan dengan orang Aceh saat bepergian ke luar daerah. Di dalam kain yang dilipat tersebut, mereka menyimpan seluruh peralatan untuk mengunyah daun sirih, yang berada dalam kotak kecil berornamen.
Para pejabat atau mereka yang sedang melakukan perjalanan, biasanya juga membawa bekal tambahan berupa pedang Aceh (sikin panyang), senjata dalam pertempuran yang memiliki lebar sama dari pangkal sampai ujung dan ditempatkan dalam sarung. Sementara gliwang (kelewang) kerap dibawa oleh pengawal raja untuk dipamerkan, atau dibawa dalam misi ekspedisi perdagangan atau saat berjalan di gampong-gampong kala malam hari.
ADVERTISEMENT
Sebagai tambahan dari bekal dan senjata, sebagian masyarakat di wilayah Aceh dulunya juga membawa sepasang tumbak (tombak) atau lembing, demikian juga senjata api bagi yang memilikinya.
Orang Aceh dengan senjata tradisonal. Dok. KITLV
Dalam sejarah, Aceh mencatat kelengkapan persenjataan paling beragam. Pedang dan senjata tikam (rencong) bukan saja sebagai persenjataan perang belaka, tetapi juga dipakai sebagai perlengkapan dalam upacara-upacara kebesaran tertentu. Namun di antara persenjataan yang ada, hanya rencong yang diakui sebagai lambang untuk mewakili daerah Aceh. (Barbara Leigh, 1989).
Sebagai identitas, keberadaan rencong selalu terlihat dalam lambang-lambang daerah di Aceh. Pemerintah Aceh misalnya, memunculkan gambar rencong kembar dalam logo daerahnya; Pancacita atau lima cita meliputi keadlian, kepahlawanan, kemakmuran, kerukunan dan kesejahteraan. Rencong mewakili semangat kepahlawanan.
Kini, rencong dikenal luas sebagai senjata khas dari Aceh. Kendati bukan lagi sebagai senjata perang, benda pusaka ini menjadi kebanggaan dan penjaga semangat yang selalu disertakan dalam berbagai upacara adat, upacara perkawinan, kesenian, bahkan menjadi cenderamata. []
Museum Aceh. Foto: Suparta/acehkini
Note: Dilarang mengutip seluruh maupun sebagian isi tulisan ini, dan foto-foto tanpa izin redaksi.
ADVERTISEMENT