Ricuh Konser 'Base Jam' Mencederai Pandangan Dunia Terhadap Aceh

Konten Media Partner
8 Juli 2019 22:43 WIB
Penampilan grup musik Base Jam sebelum dihentikan sekelompok massa, di Taman Ratu Safiatuddin, Banda Aceh. Foto: Suparta/acehkini
zoom-in-whitePerbesar
Penampilan grup musik Base Jam sebelum dihentikan sekelompok massa, di Taman Ratu Safiatuddin, Banda Aceh. Foto: Suparta/acehkini
ADVERTISEMENT
Penampilan grup musik Base Jam dibubarkan sekelompok massa ketika tampil pada penutupan Aceh Culinary Festival 2019 di Taman Sultanah Safiatuddin, Banda Aceh, Aceh, Minggu malam (7/7).
ADVERTISEMENT
Antropolog Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry, Banda Aceh, Reza Idria, menyayangkan pembubaran penampilan Base Jam. Apalagi grup musik itu datang memenuhi undangan resmi dari panitia Aceh Culinary Festival dan bagian dari program Pemerintah Aceh.
"Sangat disayangkan ketika aktivitas mereka bisa dihentikan tanpa perlindungan dari kepolisian dan aparatur pemerintah lainnya. Jika ada yang berhak membubarkan satu kegiatan di ranah publik maka itu adalah polisi," kata Reza kepada acehkini, Senin malam (8/7).
Antropolog Aceh, Reza Idria.
Reza menambahkan, pembubaran paksa kegiatan yang memiliki izin dapat mencederai pandangan terhadap Aceh dan karakter penduduknya di mata dunia. Selain itu, pembubaran juga tidak sesuai dengan cara-cara yang makruf di kalangan masyarakat Aceh dalam menyelesaikan persoalan.
"Saya harap siapa pun bisa menahan diri, menaati hukum dan mengutamakan dialog jika terjadi perbedaan pandangan," tutur dia.
ADVERTISEMENT
Dengan adanya pembubaran paksa tersebut, Reza menilai itu merupakan sebuah bukti bahwa kekuatan kepemimpinan dan penegakan hukum di Aceh sangat lemah.
"Di atas segalanya, peristiwa Minggu malam semakin menegaskan bahwa kepemimpinan dan penegakan hukum di Aceh lemah," ujarnya.
Sementara itu, Akademisi UIN Ar-Raniry, DR Samsul Bahri, mengatakan yang menjadi perhatiannya dalam peristiwa pembubaran penampilan grup band Base Jam oleh sekelompok massa tersebut adalah kondisi saling dorong menjurus kekerasan fisik.
Menurutnya, syariat Islam itu sangat agung dan tidak boleh direpresentasikan dalam bentuk kekerasan dalam upaya penerapannya. “Termasuk dalam hal pembubaran konser dimaksud,” katanya.
Samsul berharap untuk kedepannya semua hal harus dilaksanakan berdasarkan regulasi yang ada secara tertib. Jika memang konser dilarang, maka para pihak tidak perlu mengundangnya. Sepengetahuannya, sebelum acara keramaian harus mengantongi izin dari polisi maupun rekomendasi dari Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU).
ADVERTISEMENT
“Jika pemerintah dan ulama di Banda Aceh komit tidak boleh ada konser, maka jangan berikan izin dan rekomendasi sejak awal. Untuk apa diizinkan, lalu nanti ada pihak-pihak yang membubarkannya dengan cara-cara kurang elegan,” jelas Samsul.
DR Samsul Bahri
Sebelumnya, konser grup musik Base Jam pada malam penutupan Aceh Culinary Festival 2019 di Taman Sultanah Safiatuddin, Banda Aceh, dibubarkan sekelompok massa, Minggu (7/7).
Pantauan acehkini di lokasi, band yang populer di tahun 1990-an itu mengawali konsernya dengan membawakan lagu daerah Aceh berjudul 'Bungong Jeumpa'. Lalu sekelompok massa mulai mendesak Base Jam menghentikan penampilannya saat grup musik itu menyanyikan lagu andalan mereka.
Sekelompok massa itu memaksa naik ke panggung, namun dapat dicegah petugas keamanan. Kemudian sejumlah pejabat yang hadir memilih untuk pulang. Base Jam sempat menyanyikan dua lagu sebelumnya akhirnya terpaksa dihentikan atas desakan sekelompok massa itu saat menyanyikan lagu ketiganya sekitar pukul 23.30 WIB.
ADVERTISEMENT
Para personel Base Jam langsung mengemas peralatan musik mereka, lalu turun dari panggung dan menuju mobil untuk meninggalkan lokasi acara. []
acehkini